Seorang berilmu membaca banyak buku dan ingin terus belajar
Seorang religius hanya membaca satu Buku (yakni kitab suci) dan mengklaim telah memahami segala sesuatu.
Pernyataan
yang menyindir orang religius itu saya baca di dalam sebuah komentar di
salah satu akun FB seorang mantan pendeta Kristen yang agaknya telah
menjadi penganut Scientisme.
Apakah itu Scientisme?
Scientisme
adalah 'anak kandung' humanisme, yaitu filsafat yang mengagungkan
potensi manusia yang nyaris tanpa batas, dengan penekanan pada
ke-aplikasi-an metode ilmiah (logika, pengujian, pengukuran, pembuktian)
pada berbagai (bahkan semua) hal, termasuk agama (lihat definisi lain
di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Scientism).
Dalam
persepektif scientisme, segala hal yang tidak logis, tidak teruji,
tidak dapat diukur, dan yang tidak dapat dibuktikan adalah: omong
kosong, delusi, kebodohan (apabila tetap dipercayai)... Dapat
dibayangkan, bagaimana seorang penganut scientisme memandang Alkitab
yang penuh dengan hal-hal yang tidak logis dan yang tidak/susah
dibuktikan, seperti: penciptaan alam semesta hanya dalam tempo 7 hari,
tanah yang ditiup lalu menjadi manusia yang hidup, ular yang dapat
berbicara, manusia yang dapat berjalan di atas air, kapak besi yang
dapat terapung di air, dll...dll...
Sebetulnya tidak ada yang
salah dengan ke-ilmiah-an, bahkan kita pun tahu ada banyak ilmuwan yang
masih menjadi penganut agama Kristen (maupun agama lain) yang saleh.
Sekolah-sekolah Kristen pun tidak ragu untuk mengajarkan Sains di dalam
kurikulumnya, bahkan yang namanya Sekolah BPK Penabur itu merupakan
langganan juara Sains tingkat nasional bahkan internasional.
Menjadi
problem kalau ke-ilmiah-an manusia yang hebat itu dianggap sebagai
SATU-SATUNYA pola atau cara berpikir. Tak terhindarkan mereka akan
memandang agama sebagai sumber pembodohan manusia bahkan racun/candu
masyarakat yang menimbulkan delusi massal. Mereka 'menuduh' agama
sebagai sebuah 'cara gampang' (alias cara nge-les) untuk menjelaskan
sesuatu yang 'belum terjelaskan' oleh pemikiran manusia, membuat manusia
menjadi malas berpikir, malas belajar, dan akhirnya benar-benar membuat
manusia menjadi mahluk bodoh yang terus diperdaya oleh dogmatisme para
rohaniawan.
Hal ini menjadi tantangan yang sungguh sangat real
dan relevan bagi gereja masa kini, karena memang perkembangan peradaban
manusia saat ini sedang berada di puncak-puncaknya, seolah-olah segala
hal mampu dijawab dan diatasi oleh otak manusia. Konsep keTuhanan
perlahan-lahan luntur, dan aktivisme keagamaan bisa menjadi sesuatu yang
irrelevan dengan perkembangan jaman.
Para teolog sebetulnya
telah berusaha untuk memperkecil gap antara sains dan agama, dengan
membuat berbagai pendekatan teologi, seperti:
1. Pendekatan
metode kritis, baik dengan melakukan penelitian teks, penelitian
sejarah, dan sebagainya (yang ini jelas ilmiah), bahkan sampai melakukan
pemilahan/pemisahan mitos-mitos (misalnya demitologisasi ala Bultmann),
yaitu dengan membuang bagian-bagian yang dianggap 'mitos' dan hanya
mengambil inti pesan keagamaan (kerygma) di dalamnya. Pendekatan ini
mungkin berhasil memberi kesan 'pintar dan ilmiah' pada beberapa aspek
teologi Kristen. Namun di sisi lain, pendekatan ini membuat para teolog
pintar itu bak sedang mengupas bawang, alias get nothing, tidak mendapat
nilai tambah apapun pada pertumbuhan spiritualitas, bahkan membuat
kekristenan menjadi sangat relatif, sangat serupa dengan dunia...makin
abu-abu dan cenderung permisif dengan 'gelap'.
2. Pendekatan
penafsiran alegoris yang memberi makna tertentu pada berbagai hal yang
disebut 'mitos', misalnya dalam 2 Raja-Raja 6:5-7, yang bisa ditafsirkan
sbb:
- mata kapak yang terlepas dari tangkainya dan tenggelam,
dimaknai sebagai: manusia yang terpisah dari Tuhan dan terbenam di
dalam dosa
- batang kayu yang dilemparkan, dimaknai sebagai: Tuhan
Yesus yang bersedia masuk ke dalam dunia yang berdosa untuk mengangkat
manusia dari dosa, dan
- kapak yang timbul/terapung, dimaknai sebagai: manusia yang telah mengalami pembaharuan hidup dan menang atas kuasa dosa
Penafsiran
alegoris memang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai hal secara
lebih segar dan tampak relevan. Namun di sisi lain pendekatan ini dapat
memunculkan kekacauan hermeunetika, membuat cara menafsir yang
'semau-gue' yang menimbulkan kegagalan kita dalam memahami Firman Tuhan
yang sebenarnya.
3. Pendekatan literal yang menerima teks Alkitab
secara apa adanya dengan penekanan pada doktrin 'ke-tanpa-salah-an
Alkitab', sebuah posisi ekstrem kanan yang secara frontal berhadapan
dengan scientisme maupun teologi modern, dan sering di-cap fundamental
dan radikal, bahkan serupa dengan dogmatisme abad pertengahan. Namun di
banyak tempat, pendekatan literal ini justru menguat dan diminati karena
'memberikan kepastian keberimanan yang kokoh' di tengah situasi jaman
yang tidak menentu saat ini.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai warga jemaat GKI?
Biasanya
GKI mengambil jalan tengah yang menjauh dari kegaduhan yang tidak perlu
dan kontra produktif. 'Gitu aja kok repot', begitu istilah populer Gus
Dur yang sering dengan tepat menggambarkan diri kita. Iyalah, ngapain
juga repot, toh masalah beginian tidak akan merubah jalan keselamatan
kan? Sekali selamat, tetap selamat, begitulah keyakinan iman GKI. Tapi
tentu kita harus berkata dan bersikap sesuatu yang dapat memperlengkapi
diri kita saat kita membentur atau bersinggungan dengan scientisme ini.
Pertama:
mencampuradukkan sains dan agama jelas merupakan sebuah kesalahan fatal
dan sekaligus menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir. Sains bukan
agama, agama bukan sains. Di dalam agama memang ada bau-bau sains,
misalnya: tentang matahari yang beredar mengitari bumi, bahkan yang
pernah berhenti beredar(baca Yosua 10:12-14). Tetapi hal ini janganlah
lantas harus diteropong melalui 'kacamata kuda' sains, untuk membuktikan
kesalahan isi Alkitab (karena faktanya yang beredar itu kan bumi, bukan
matahari). Janganlah karena mengandung kesalahan secara ilmiah lantas
Alkitab harus 'dimuseumkan' karena isinya sudah terbukti salah. Mari
tempatkan Alkitab sebagai Firman Tuhan yang menjadi pedoman hidup umat
percaya, yaitu untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki
kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (baca 2 Timotius 3:16), dan
bukannya untuk belajar sains!
Kedua: Alkitab selalu berbicara
dalam bahasa yang dapat dipahami manusia dalam konteksnya masing-masing,
karena kalau Tuhan membuka segenap rahasia diriNya dan ciptaanNya di
dalam Alkitab, bisa dibayangkan betapa Alkitab akan menjadi buku yang
tidak akan pernah dibaca, dipahami, bahkan dipercaya oleh manusia!
Mengapa? Karena kemampuan berpikir manusia itu terbatas. Tuhan Yesus pun
pernah mengingatkan hal ini, bahwa untuk hal-hal duniawi saja manusia
sering sulit untuk percaya, apalagi untuk hal-hal surgawi (baca Yohanes
3:12). Lucu sekali saat saya berbicara dengan seorang penganut
scientisme, mereka tidak pernah mau mengaku bahwa otak manusia itu pasti
ada batasnya. Mereka nge-les sedemikian rupa, pakai
sidetracks/pengalihan macam-macam untuk menghindar berbicara mengenai
hal tersebut (karena memang mereka 'beriman' akan ketidakterbatasan otak
manusia). Dan, ternyata manusia sendiri sebetulnya sering (dan senang)
memakai ungkapan yang sebetulnya kita tahu hal itu tidak tepat, seperti
masih mengatakan: 'matahari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk
barat', dan bukannya 'bumi be-rotasi menghadap matahari atau
membelakangi matahari'. Hal itu terjadi karena memang adanya
keterbatasan dalam bahasa manusia, sesuatu yang sangat dimaklumi Tuhan,
tetapi - anehnya - tidak dimaklumi oleh penganut scientisme.
Ketiga:
mungkin yang ditunggu-tunggu adalah: bagaimana kita dapat menjelaskan
berbagai kisah Alkitab yang 'tidak logis' yang 'tidak terbuktikan' dan
yang 'tidak dapat diuji kebenarannya', terutama kepada penganut
scientisme? Saya jawab secara singkat saja: mereka tidak membutuhkan
penjelasan apapun karena mereka sudah jauh lebih tahu ketimbang kita,
dan mereka sudah memiliki sikap sendiri. Kita bisa saja mencoba
menjelaskan melalui pendekatan metode kritis, penafsiran alegoris,
literal, dan lain sebagainya. Itu tidak akan mempan! Yang mereka
butuhkan hanyalah: sentuhan kasih Tuhan yang bisa mereka dapatkan
melalui sentuhan kasih kita! Dan jangan lupa: doakan mereka! Apabila
mereka adalah terhitung sebagai umat yang Tuhan pilih untuk
diselamatkan, pasti suatu hari kelak mereka akan melihat
ke-Maha-Kuasa-an Tuhan yang melampaui kemampuan otak mereka, dan mulut
mereka pun akan mengaku: 'Ya Tuhanku dan Allahku!' (Yohanes 20:28).
Salam berdaya!
TKS - 01/12/12
Membangkitkan dan mengakselerasi GKI sebagai Gereja Reformed yang Modern dan Relevan (Revives and accelerates GKI as a Modern and Relevant Reformed Church)
Minggu, 09 Desember 2012
Pohon Natal tanpa Lampu Natal
Bagian
ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah
menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang
mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke
Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam
kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan.
Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan
mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami:
militiachristi2010@gmail.com
A Christmas Tree without Light
(Sebuah perziarahan dalam mencari makna kehidupan dan kematian)
Tentu kita semua sudah tahu tentang 7 hari penciptaan seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian.
Hari pertama Tuhan menciptakan terang. Terang itu bukanlah sembarang terang, karena terang itu ada TANPA adanya benda penerang (karena benda-benda penerang baru tercipta pada hari ke-4), bahkan terang itu sanggup mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan (yang sudah tercipta lebih dahulu, yaitu pada hari ke-3). Saya pernah membaca tulisan seorang skeptik tentang hal ini, yaitu: bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan tercipta lebih dahulu ketimbang benda penerang? Ya mati dong... Dia lupa bahwa di hari pertama sudah ada terang. Kalau sekarang ini manusia sudah bisa menciptakan terang matahari buatan yang sanggup menumbuhkan tanaman, apalagi Tuhan - Sang Pencipta - Ia pasti sanggup menciptakan terang yang bukan berasal dari benda-benda penerang seperti yang manusia kenal saat ini yang sanggup menumbuhkan tanaman! Terang itu adalah Terang Ilahi, Divine Light, yang menjadi sebuah awal dari terciptanya alam semesta dan segenap penghuni bumi. Terserahlah orang mau menghubungkannya dengan teori Big Bang-nya Hawking, bagi saya Terang itu merupakan sebuah terobosan yang Tuhan lakukan untuk membuat dari yang kacau dan gelap itu menjadi sesuatu keberadaan yang 'sungguh amat baik', yakni segenap ciptaanNya (Kej 1:31).
Setelah 7 hari penciptaan selesai, Tuhan melanjutkannya dengan menciptakan suatu keluarga Allah yaitu dalam diri manusia debu tanah (adamah) dan perempuan (Kej 2:7,23) sebagai pasangan yang sepadan (Kej 2:18). Apakah mereka ini 'ciptaan baru' yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan pada hari ke-6 (Kej 1:27), atau merupakan awal dari mereka semua itu? Ini tentu mengundang banyak opini dan perdebatan. Namun bagi saya, pikiran utamanya adalah: Tuhan menganggap keluarga sebagai hal yang penting. Keluarga menjadi sebuah terobosan di tengah persoalan kesendirian manusia. Saat ini, ada begitu banyak orang yang sendiri dan kesepian... Keluarga dan dukungan keluarga-lah solusinya! Keluarga diharapkan dapat berperan secara lebih optimal di jaman yang penuh persoalan dan ketidakpedulian ini.
Namun dalam perjalanan hidupnya, keluarga Allah ini mengalami jatuh ke dalam dosa, sehingga menimbulkan 'produk baru' yang bernama: kematian (Kej 2:16-17). Kematian adalah upah dosa, sebuah kutuk yang menjalar bagaikan kanker ke seluruh umat manusia. Namun syukur kepada Tuhan, bahwa 'keturunan perempuan' sudah mengalahkan Iblis yang mengikat manusia dalam dosa (Kej 3:15). Tuhan Yesus adalah Sang Terang - Devine Light - yang menerobos kacau dan gelap-nya dosa dan mengangkat manusia (yang dipilih untuk percaya kepadaNya) untuk kembali menjadi ciptaan yang 'sungguh amat baik'. Apakah manusia lantas terbebas dari kematian? Jelas tidak, mana ada manusia yang tidak bisa mati?! Namun kematian di dalam Kristus tidak lagi dipandang sebagai kutuk dan upah dosa, tetapi menjadi sebuah jalan untuk menerima anugerah keselamatan, yakni kehidupan yang kekal.
Lantas apa hubungan ulasan tersebut dengan 'Pohon Natal tanpa Lampu Natal' dan 'perziarahan'?
Ini sharing pribadi, yaitu di Natal tahun 2011 yang lalu. Karena berbagai kesibukan saya, akhirnya menjelang tanggal 25 Desember pohon
Natal belum terpasang di rumah. Waktu itu sudah tanggal 24 Desember siang. Apakah Natal tahun itu akan menjadi Natal tanpa pohon Natal? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk tetap memasang pohon Natal sekalipun hanya untuk seminggu. Saat semua daun sudah terpasang, hiasan-hiasan bola dan bintang juga sudah digantung, tibalah saatnya untuk menyalakan lampu Natal. 'Klik'... Dan kami terdiam saat menyadari bahwa semua lampu Natal padam... Mungkin ada kabel yang putus di suatu tempat, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Jadilah pohon Natal yang tanpa lampu Natal...
Natal tahun 2011. Mama saya - yang saat itu sudah sakit kanker parah - mendadak berkeinginan untuk merayakan Natal bersama saya sekeluarga di Jakarta. Saya merasa sangat bersyukur karena saya masih berkesempatan untuk merayakan Natal bersama mama saya di tahun itu, yang adalah Natal terakhir bagi mama saya. Setelah mengikuti Perayaan Natal di tanggal 25 Desember, saya baru menyadari betapa mama terlihat begitu lelah. Dan sepulangnya ke kota asalnya, kondisi fisik mama saya terus menurun, dan 3 bulan kemudian mama berpulang ke surga. Saya sempat berpikir: apakah pohon Natal tanpa lampu Natal adalah merupakan sebuah pertanda kematian dari orang yang saya kasihi? Atau hanya kebetulan acak belaka?
Mengalami sendiri situasi kematian ternyata bukan hal yang mudah. Saya bersyukur karena di jam-jam awal masa kedukaan, saya di cover oleh Pdt Dianawati dan Pdt Frans yang jauh-jauh datang untuk memberi support bagi saya sekeluarga. Dan di saat-saat seperti inilah - hingga berbulan-bulan sesudahnya - saya menjalani perziarahan ke dalam misteri kehidupan dan kematian, yang saya tahu perziarahan ini pun diikuti oleh banyak orang yang bergumul dengan hal yang sama.
Ada beberapa hal yang akhirnya saya temukan dalam perziarahan saya (yang masih berlanjut hingga kini).
Yang pertama adalah: pentingnya ikatan keluarga. Dalam masa-masa sulit, justru ikatan keluarga harus semakin diperteguh. Kami sekeluarga kini merasakan kualitas hubungan yang semakin baik satu sama lain, sekalipun kami tinggal saling berjauhan, dan inilah yang menjadi sumber kekuatan dikala kelemahan datang menghampiri. Keluarga-lah yang pertama-tama harus saling menguatkan, setelah itu barulah orang lain (saudara seiman, tim perlawatan khusus, pendeta, dsb). Keluarga yang justru terpecah saat kesulitan/duka datang akan sangat sulit untuk melakukan recovery, dan ini jelas membutuhkan sebuah kerelaan dari masing-masing anggota keluarga untuk dapat lebih saling menahan diri dan berkorban.
Kedua adalah: meninggalkan warisan. Warisan disini bukanlah warisan materi, namun lebih kepada nilai-nilai yang bisa kita tinggalkan kepada orang lain saat kita kembali ke sorga. Pepatah mengatakan: sesuatu akan terasa begitu berharga saat kita kehilangannya. Saat mama saya berpulang, barulah saya dengan jelas melihat betapa luar biasanya dia! Perhatian, dukungan, rasa kehilangan, cerita-cerita yang baik... Membuat saya berpikir: kalau giliran saya yang mati nanti, apakah saya pun akan meninggalkan warisan nilai-nilai yang sebaik yang diwariskan mama saya? Misteri kematian seharusnyalah membuat manusia berusaha dan terus berusaha untuk meninggalkan warisan yang semakin baik, dan bukankah hal itu membuat dunia menjadi tempat yang semakin baik untuk dihuni manusia?
Pohon Natal tanpa lampu Natal... Saya pikir hal yang baik apabila Natal dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Namun itu bukanlah yang terpenting! Yang terpenting adalah: kita seharusnya yang menjadi lampu-lampunya, yang tidak terpadamkan dan yang bersinar terus bagi sekitar kita! Kalau Divine Light itu telah membuat terobosan bagi dunia yang kacau dan gelap, maka kita sebagai umatNya pun seharusnyalah memancarkan terang yang menerangi dan mempercantik dunia. Semoga hal itulah yang bisa menjadi warisan hidup kita semua.
(TKS - 29/11/2012)
A Christmas Tree without Light
(Sebuah perziarahan dalam mencari makna kehidupan dan kematian)
Tentu kita semua sudah tahu tentang 7 hari penciptaan seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian.
Hari pertama Tuhan menciptakan terang. Terang itu bukanlah sembarang terang, karena terang itu ada TANPA adanya benda penerang (karena benda-benda penerang baru tercipta pada hari ke-4), bahkan terang itu sanggup mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan (yang sudah tercipta lebih dahulu, yaitu pada hari ke-3). Saya pernah membaca tulisan seorang skeptik tentang hal ini, yaitu: bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan tercipta lebih dahulu ketimbang benda penerang? Ya mati dong... Dia lupa bahwa di hari pertama sudah ada terang. Kalau sekarang ini manusia sudah bisa menciptakan terang matahari buatan yang sanggup menumbuhkan tanaman, apalagi Tuhan - Sang Pencipta - Ia pasti sanggup menciptakan terang yang bukan berasal dari benda-benda penerang seperti yang manusia kenal saat ini yang sanggup menumbuhkan tanaman! Terang itu adalah Terang Ilahi, Divine Light, yang menjadi sebuah awal dari terciptanya alam semesta dan segenap penghuni bumi. Terserahlah orang mau menghubungkannya dengan teori Big Bang-nya Hawking, bagi saya Terang itu merupakan sebuah terobosan yang Tuhan lakukan untuk membuat dari yang kacau dan gelap itu menjadi sesuatu keberadaan yang 'sungguh amat baik', yakni segenap ciptaanNya (Kej 1:31).
Setelah 7 hari penciptaan selesai, Tuhan melanjutkannya dengan menciptakan suatu keluarga Allah yaitu dalam diri manusia debu tanah (adamah) dan perempuan (Kej 2:7,23) sebagai pasangan yang sepadan (Kej 2:18). Apakah mereka ini 'ciptaan baru' yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan pada hari ke-6 (Kej 1:27), atau merupakan awal dari mereka semua itu? Ini tentu mengundang banyak opini dan perdebatan. Namun bagi saya, pikiran utamanya adalah: Tuhan menganggap keluarga sebagai hal yang penting. Keluarga menjadi sebuah terobosan di tengah persoalan kesendirian manusia. Saat ini, ada begitu banyak orang yang sendiri dan kesepian... Keluarga dan dukungan keluarga-lah solusinya! Keluarga diharapkan dapat berperan secara lebih optimal di jaman yang penuh persoalan dan ketidakpedulian ini.
Namun dalam perjalanan hidupnya, keluarga Allah ini mengalami jatuh ke dalam dosa, sehingga menimbulkan 'produk baru' yang bernama: kematian (Kej 2:16-17). Kematian adalah upah dosa, sebuah kutuk yang menjalar bagaikan kanker ke seluruh umat manusia. Namun syukur kepada Tuhan, bahwa 'keturunan perempuan' sudah mengalahkan Iblis yang mengikat manusia dalam dosa (Kej 3:15). Tuhan Yesus adalah Sang Terang - Devine Light - yang menerobos kacau dan gelap-nya dosa dan mengangkat manusia (yang dipilih untuk percaya kepadaNya) untuk kembali menjadi ciptaan yang 'sungguh amat baik'. Apakah manusia lantas terbebas dari kematian? Jelas tidak, mana ada manusia yang tidak bisa mati?! Namun kematian di dalam Kristus tidak lagi dipandang sebagai kutuk dan upah dosa, tetapi menjadi sebuah jalan untuk menerima anugerah keselamatan, yakni kehidupan yang kekal.
Lantas apa hubungan ulasan tersebut dengan 'Pohon Natal tanpa Lampu Natal' dan 'perziarahan'?
Ini sharing pribadi, yaitu di Natal tahun 2011 yang lalu. Karena berbagai kesibukan saya, akhirnya menjelang tanggal 25 Desember pohon
Natal belum terpasang di rumah. Waktu itu sudah tanggal 24 Desember siang. Apakah Natal tahun itu akan menjadi Natal tanpa pohon Natal? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk tetap memasang pohon Natal sekalipun hanya untuk seminggu. Saat semua daun sudah terpasang, hiasan-hiasan bola dan bintang juga sudah digantung, tibalah saatnya untuk menyalakan lampu Natal. 'Klik'... Dan kami terdiam saat menyadari bahwa semua lampu Natal padam... Mungkin ada kabel yang putus di suatu tempat, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Jadilah pohon Natal yang tanpa lampu Natal...
Natal tahun 2011. Mama saya - yang saat itu sudah sakit kanker parah - mendadak berkeinginan untuk merayakan Natal bersama saya sekeluarga di Jakarta. Saya merasa sangat bersyukur karena saya masih berkesempatan untuk merayakan Natal bersama mama saya di tahun itu, yang adalah Natal terakhir bagi mama saya. Setelah mengikuti Perayaan Natal di tanggal 25 Desember, saya baru menyadari betapa mama terlihat begitu lelah. Dan sepulangnya ke kota asalnya, kondisi fisik mama saya terus menurun, dan 3 bulan kemudian mama berpulang ke surga. Saya sempat berpikir: apakah pohon Natal tanpa lampu Natal adalah merupakan sebuah pertanda kematian dari orang yang saya kasihi? Atau hanya kebetulan acak belaka?
Mengalami sendiri situasi kematian ternyata bukan hal yang mudah. Saya bersyukur karena di jam-jam awal masa kedukaan, saya di cover oleh Pdt Dianawati dan Pdt Frans yang jauh-jauh datang untuk memberi support bagi saya sekeluarga. Dan di saat-saat seperti inilah - hingga berbulan-bulan sesudahnya - saya menjalani perziarahan ke dalam misteri kehidupan dan kematian, yang saya tahu perziarahan ini pun diikuti oleh banyak orang yang bergumul dengan hal yang sama.
Ada beberapa hal yang akhirnya saya temukan dalam perziarahan saya (yang masih berlanjut hingga kini).
Yang pertama adalah: pentingnya ikatan keluarga. Dalam masa-masa sulit, justru ikatan keluarga harus semakin diperteguh. Kami sekeluarga kini merasakan kualitas hubungan yang semakin baik satu sama lain, sekalipun kami tinggal saling berjauhan, dan inilah yang menjadi sumber kekuatan dikala kelemahan datang menghampiri. Keluarga-lah yang pertama-tama harus saling menguatkan, setelah itu barulah orang lain (saudara seiman, tim perlawatan khusus, pendeta, dsb). Keluarga yang justru terpecah saat kesulitan/duka datang akan sangat sulit untuk melakukan recovery, dan ini jelas membutuhkan sebuah kerelaan dari masing-masing anggota keluarga untuk dapat lebih saling menahan diri dan berkorban.
Kedua adalah: meninggalkan warisan. Warisan disini bukanlah warisan materi, namun lebih kepada nilai-nilai yang bisa kita tinggalkan kepada orang lain saat kita kembali ke sorga. Pepatah mengatakan: sesuatu akan terasa begitu berharga saat kita kehilangannya. Saat mama saya berpulang, barulah saya dengan jelas melihat betapa luar biasanya dia! Perhatian, dukungan, rasa kehilangan, cerita-cerita yang baik... Membuat saya berpikir: kalau giliran saya yang mati nanti, apakah saya pun akan meninggalkan warisan nilai-nilai yang sebaik yang diwariskan mama saya? Misteri kematian seharusnyalah membuat manusia berusaha dan terus berusaha untuk meninggalkan warisan yang semakin baik, dan bukankah hal itu membuat dunia menjadi tempat yang semakin baik untuk dihuni manusia?
Pohon Natal tanpa lampu Natal... Saya pikir hal yang baik apabila Natal dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Namun itu bukanlah yang terpenting! Yang terpenting adalah: kita seharusnya yang menjadi lampu-lampunya, yang tidak terpadamkan dan yang bersinar terus bagi sekitar kita! Kalau Divine Light itu telah membuat terobosan bagi dunia yang kacau dan gelap, maka kita sebagai umatNya pun seharusnyalah memancarkan terang yang menerangi dan mempercantik dunia. Semoga hal itulah yang bisa menjadi warisan hidup kita semua.
(TKS - 29/11/2012)
Selasa, 13 November 2012
CSS: Khotbah 3
Person
Hal yang terakhir dari Kuadran Kotbah adalah: si pengkhotbah.
Mengapa hal pengkhotbah ini perlu saya bahas disini? Karena mimbar gereja seharusnyalah dilayani oleh gembala asli dan bukannya gembala upahan!
Disini kita berbicara mengenai kredibilitas dan reputasi seorang pengkhotbah, dan ini penting untuk menjadi perhatian kita semua.
Mengapa?
Karena menguasai content dan mengemas context itu dapat dipelajari dan dilatih oleh siapapun, namun hal person... Ini sebetulnya yang akan membedakan secara jelas antara kotbah dan seminar, antara penggembalaan dan 'sekedar training'!
Memang pengkhotbah hanyalah alat di tangan Tuhan untuk menguraikan Firman Tuhan kepada umat, maksudnya: Firman Tuhan tidaklah menjadi kurang wibawa dan otoritasnya saat disampaikan oleh seorang pendosa (lagian siapa sih yang tidak berdosa?).
Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa pengkhotbah itu boleh siapa saja yang merasa terpanggil!
Berbicara mengenai kredibilitas dan reputasi pengkhotbah, kita akan berbicara mengenai dua hal, yaitu: tujuan dan profile
Tujuan
Saya yakin semua orang digerakkan oleh suatu tujuan dalam memilih atau melakukan sesuatu. Sekarang, apa tujuan seseorang memilih dan menjadi seorang pengkhotbah (atau pendeta)? Disini saya tidak berbicara mengenai 'panggilan Tuhan' karena semua orang yang 'berani' menjadi pengkhotbah pastilah mengklaim telah memiliki special call dari Tuhan! Tapi, dibalik 'klaim panggilan' itu saya ingin kita jujur terhadap diri kita sendiri bahwa pastilah ada tujuan yang yang lebih realistis bahkan manusiawi. Itu bukanlah hal yang salah atau memalukan, bahkan sekalipun tujuan tersebut bersifat 'sangat kedagingan' seperti: untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, untuk aktualisasi diri, bahkan untuk menegakkan ajaran gereja yang kalau perlu sampai harus memecah gereja! Yang menjadi masalah adalah: apakah bagaimana tujuan pribadi itu mampu ditundukkan di bawah tujuan Allah? Apakah itu 'tujuan Allah'? Dalam kaitan dengan topik ini, saya dengan yakin menyatakan bahwa 'tujuan Allah' bagi para pengkhotbah/pemberita Injil adalah PMBA: pergi, memuridkan-baptis, ajar (Amanat Agung, Matius 28:19-20a). Apakah PMBA itu masih menjadi prioritas Saudara? Ataukah PMBA itu hanya menjadi sebuah tempelan atau alat bagi pencapaian tujuan bahkan nafsu/obsesi pribadi Saudara?
Contohnya tentang 'pergi': kemana kita pergi? Apakah kita hanya ingin pergi ke tempat-tempat yang menguntungkan kita, yang basah, bahkan yang 'amplop'nya besar-besar, sehingga kita tidak mau melayani umat marjinal yang terkadang malah kita yang harus keluar duit pribadi?
Contoh lain tentang 'memuridkan-baptis': apakah kita lebih senang 'memuridkan murid' alias curi domba gereja lain (terutama domba yang gemuk) ketimbang membimbing seorang yang belum percaya untuk menjadi murid Kristus?
Contoh lain lagi tentang 'ajar': apakah kita lebih senang mengajarkan hal-hal yang ringan, menghibur, memotivasi, menjanjikan/membangkitkan harapan palsu, ketimbang mengajarkan ajaran yang benar dan alkitabiah sekalipun keras, sulit dimengerti, bahkan tidak menarik?
Yang lain silakan dilanjutkan sendiri, namun biarlah apapun tujuan 'kedagingan' yang normal kita miliki sebagai manusia TETAP TUNDUK dibawah tujuan Allah itu.
Profile
Penting bagi seorang pengkhotbah untuk memiliki sebuah profile yang tidak melulu sebagai ahli kotbah. Profile itu adalah sebuah kelebihan yang menjadi nilai tambah dari seorang pengkhotbah, bisa berbentuk gelar akademis (master/doktor), dosen seminari, penulis buku/jurnal/artikel, pengarang lagu, pemusik, pembawa acara radio/TV rohani, pelayanan luar (penginjilan, sosial, kemasyarakatan), dan lain sebagainya yang masih berdekatan dengan pelayanan. Bahkan hobi tertentu bisa menjadi profile, seperti bercocok tanam atau travelling, asalkan dapat memberi nilai tambah terhadap pelayanan yang dilakukan. Bukan hal baru penginjilan dilakukan melalui kegiatan pertanian, atau mengasah spiritualitas melalui kedekatan dengan alam. Intilnya, profile adalah sesuatu yang membuat wawasan kita makin luas, sehingga membuat para pengkhotbah 'bernilai lebih' karena pengalamannya yang banyak. Bagaimanapun juga pengalaman adalah guru yang terbaik, dan mendengarkan orang yang berpengalaman adalah sama dengan belajar pada guru yang terbaik. Jangan kungkung diri kita di dalam mimbar. Keluarlah, buat profile yang dapat memperluas wawasan Saudara, sehingga Saudara lebih mampu membawakan khotbah yang lebih berisi, mendarat, dan relevan. Itu tentu selanjutnya dapat membuat khotbah Saudara menjadi khotbah yang selalu ditunggu dan dicari.
Hal yang terakhir dari Kuadran Kotbah adalah: si pengkhotbah.
Mengapa hal pengkhotbah ini perlu saya bahas disini? Karena mimbar gereja seharusnyalah dilayani oleh gembala asli dan bukannya gembala upahan!
Disini kita berbicara mengenai kredibilitas dan reputasi seorang pengkhotbah, dan ini penting untuk menjadi perhatian kita semua.
Mengapa?
Karena menguasai content dan mengemas context itu dapat dipelajari dan dilatih oleh siapapun, namun hal person... Ini sebetulnya yang akan membedakan secara jelas antara kotbah dan seminar, antara penggembalaan dan 'sekedar training'!
Memang pengkhotbah hanyalah alat di tangan Tuhan untuk menguraikan Firman Tuhan kepada umat, maksudnya: Firman Tuhan tidaklah menjadi kurang wibawa dan otoritasnya saat disampaikan oleh seorang pendosa (lagian siapa sih yang tidak berdosa?).
Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa pengkhotbah itu boleh siapa saja yang merasa terpanggil!
Berbicara mengenai kredibilitas dan reputasi pengkhotbah, kita akan berbicara mengenai dua hal, yaitu: tujuan dan profile
Tujuan
Saya yakin semua orang digerakkan oleh suatu tujuan dalam memilih atau melakukan sesuatu. Sekarang, apa tujuan seseorang memilih dan menjadi seorang pengkhotbah (atau pendeta)? Disini saya tidak berbicara mengenai 'panggilan Tuhan' karena semua orang yang 'berani' menjadi pengkhotbah pastilah mengklaim telah memiliki special call dari Tuhan! Tapi, dibalik 'klaim panggilan' itu saya ingin kita jujur terhadap diri kita sendiri bahwa pastilah ada tujuan yang yang lebih realistis bahkan manusiawi. Itu bukanlah hal yang salah atau memalukan, bahkan sekalipun tujuan tersebut bersifat 'sangat kedagingan' seperti: untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, untuk aktualisasi diri, bahkan untuk menegakkan ajaran gereja yang kalau perlu sampai harus memecah gereja! Yang menjadi masalah adalah: apakah bagaimana tujuan pribadi itu mampu ditundukkan di bawah tujuan Allah? Apakah itu 'tujuan Allah'? Dalam kaitan dengan topik ini, saya dengan yakin menyatakan bahwa 'tujuan Allah' bagi para pengkhotbah/pemberita Injil adalah PMBA: pergi, memuridkan-baptis, ajar (Amanat Agung, Matius 28:19-20a). Apakah PMBA itu masih menjadi prioritas Saudara? Ataukah PMBA itu hanya menjadi sebuah tempelan atau alat bagi pencapaian tujuan bahkan nafsu/obsesi pribadi Saudara?
Contohnya tentang 'pergi': kemana kita pergi? Apakah kita hanya ingin pergi ke tempat-tempat yang menguntungkan kita, yang basah, bahkan yang 'amplop'nya besar-besar, sehingga kita tidak mau melayani umat marjinal yang terkadang malah kita yang harus keluar duit pribadi?
Contoh lain tentang 'memuridkan-baptis': apakah kita lebih senang 'memuridkan murid' alias curi domba gereja lain (terutama domba yang gemuk) ketimbang membimbing seorang yang belum percaya untuk menjadi murid Kristus?
Contoh lain lagi tentang 'ajar': apakah kita lebih senang mengajarkan hal-hal yang ringan, menghibur, memotivasi, menjanjikan/membangkitkan harapan palsu, ketimbang mengajarkan ajaran yang benar dan alkitabiah sekalipun keras, sulit dimengerti, bahkan tidak menarik?
Yang lain silakan dilanjutkan sendiri, namun biarlah apapun tujuan 'kedagingan' yang normal kita miliki sebagai manusia TETAP TUNDUK dibawah tujuan Allah itu.
Profile
Penting bagi seorang pengkhotbah untuk memiliki sebuah profile yang tidak melulu sebagai ahli kotbah. Profile itu adalah sebuah kelebihan yang menjadi nilai tambah dari seorang pengkhotbah, bisa berbentuk gelar akademis (master/doktor), dosen seminari, penulis buku/jurnal/artikel, pengarang lagu, pemusik, pembawa acara radio/TV rohani, pelayanan luar (penginjilan, sosial, kemasyarakatan), dan lain sebagainya yang masih berdekatan dengan pelayanan. Bahkan hobi tertentu bisa menjadi profile, seperti bercocok tanam atau travelling, asalkan dapat memberi nilai tambah terhadap pelayanan yang dilakukan. Bukan hal baru penginjilan dilakukan melalui kegiatan pertanian, atau mengasah spiritualitas melalui kedekatan dengan alam. Intilnya, profile adalah sesuatu yang membuat wawasan kita makin luas, sehingga membuat para pengkhotbah 'bernilai lebih' karena pengalamannya yang banyak. Bagaimanapun juga pengalaman adalah guru yang terbaik, dan mendengarkan orang yang berpengalaman adalah sama dengan belajar pada guru yang terbaik. Jangan kungkung diri kita di dalam mimbar. Keluarlah, buat profile yang dapat memperluas wawasan Saudara, sehingga Saudara lebih mampu membawakan khotbah yang lebih berisi, mendarat, dan relevan. Itu tentu selanjutnya dapat membuat khotbah Saudara menjadi khotbah yang selalu ditunggu dan dicari.
Kamis, 01 November 2012
GKI Banjarnegara
Alamat: JL. Let.Jend. Suprapto no 47 Banjarnegara 53415
Email: gkibanjarnegara@yahoo.com
Umat: sekitar 200 orang yang beribadah di Kebaktian Umum
Visi: Menjadi kawan sekerja Allah yang dibangun di atas dasar yang kuat untuk bertumbuh dan berbuah
Misi:
- Mendorong anggota jemaatgiat bergereja
- Membangun gedung GKI Banjarnegara
- Mendukung Yayasan Debora sebagai wujud
Pengabaran Injil
Ibadah:
- Minggu pk. 06.00: Kebaktian Umum 1
- Minggu pk. 08.00: Kebaktian ASM
- Minggu pk. 08.00: Kebaktian Umum 2
CSS: Khotbah 2
Context
Kalau ajaran/teologi lokal adalah isi dari khotbah, maka context adalah kemasannya. Pengertian simpelnya: bagaimana ajaran yang rumit itu dibahasakan sehingga mudah dimengerti dan inspiratif untuk diikuti oleh jemaat.
Sebuah content yang baik akan terlihat buruk oleh context yang buruk, sebaliknya sebuah content yang buruk akan terlihat begitu meyakinkan oleh context yang baik (sekalipun ngaco isinya).
Gereja-gereja muda dan modern ternyata lebih berhasil dalam menciptakan sebuah context khotbah yang baik. Sebaliknya gereja-gereja mainstream - yang biasanya sudah tua dan tradisional - sering gagap dalam menciptakan context khotbah yang lebih up to date, seraya berharap bahwa jemaat akan lebih mencari suara Tuhan ketimbang di-entertain (ini hanya alasan saja untuk menutupi kelemahan mereka yang memang lemah mengemas khotbah yang lebih baik!)
Seorang marketer sangatlah memahami bahwa kemasan produk merupakan salah satu penentu laku tidaknya produk yang dijualnya. Bahkan suatu kemasan dapat menjadi sebuah leverage (pengungkit) untuk mendongkrak harga jual, gengsi, bahkan rasa/feel. Sama-sama tas, kulit namun tas bermerek akan berharga lebih mahal, lebih membanggakan saat dipakai, bahkan terlihat lebih serasi dengan penampilan, ketimbang tas sejenis namun tidak ada merek.
Kita tidak sedang ingin me-marketing-kan kotbah disini, namun pemahaman marketing ini dipaparkan untuk sekedar memberi gambaran mengenai betapa pentingnya context kotbah itu!
Saya disini hanya akan memberi beberapa masukan untuk menciptakan context kotbah agar dapat lebih dibahasakan secara lebih jelas, menarik, dan inspiratif. Saya beri singkatan supaya gampang diingat, yaitu STAR (supaya kotbah di gereja Anda bisa benar-benar menjadi bintang)
Siapkan skenario
Kotbah mustinya ada sistematikanya, paling tidak terdiri dari:
1. eksposisi/ulasan atas Firman Tuhan yang dibaca dan
2. bagaimana implikasinya dalam hidup kekinian dan keseharian umat.
Poin ke-1 adalah poin yang diajarkan di seminari-seminari tentang bagaimana kita memahami, memaknai, dan mengomunikasikannya kepada umat, tersedia banyak kelas homiletika yang dapat membahas tuntas hal tersebut, paling tidak dalam 2 - 3 sks, jadi saya tidak akan membahas disini.
Namun poin ke-2, nah ini yang sering luput dari perhatian seminari. Akibatnya jebolan seminari seringkali menjadi seorang 'alien di atas mimbar' yang berbahasa 'dewa' kepada umatnya, dengan menyampaikan kotbah yang terlalu dogmatis dan terlalu 'tinggi', tidak bisa mendarat dalam realitas keseharian umat. Kegagalan mendaratkan/merelevankan Firman Tuhan ini seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama, dan bukannya memaklumi bahwa sepantasnyalah 'gelap dan terang tidak dapat bersatu' alias wacana teologis di atas mimbar akan tertinggal disana saat jemaat kembali ke dunia nyata! Herannya, pengkhotbah dari mereka yang berlatar belakang sekular tampaknya lebih mampu mendaratkan/merelevankan Firman Tuhan ini! Mungkin karena mereka sudah memiliki pengalaman berada di dunia nyata (misal bekerja di kantor/perusahaan) sehingga nyambung-nya bisa lebih kena ketimbang mereka yang belajar di bangku-bangku seminari.
Itulah sebabnya jebolan seminari janganlah melulu membaca jurnal teologi. Menonton TV, membaca koran/buku/majalah Politik-Ekonomi-Bisnis, bahkan mengikuti perkumpulan non-gerejawi seharusnya tetap perlu dilakukan untuk memperluas wawasan maupun network.
Tapi ijinkan saya menyarankan satu skenario untuk meningkatkan kualitas context kotbah ini, terutama untuk poin ke-2 ini, yang saya sebut saja sebagai Kotbah Tiga Babak:
TAyangan sederhana
Saat ini gereja banyak yang sudah diperlengkapi dengan perangkat multimedia yang canggih seperti LCD projector atau monitor layar lebar, jelas bukan sebuah investasi yang murah demi lebih lancarnya pelaksanaan ibadah. Apabila gereja Anda sudah memiliki perangkat seperti itu: syukurilah dan gunakanlah untuk mendukung penyampaian kotbah! Namun apabila gereja Anda belum memilikinya: jangan sedih dan tetap pergunakan apa yang ada!
Intinya adalah: kotbah perlu didukung oleh sebuah 'tayangan sederhana' yang 'cukup pas' untuk mendukung penyampaian kotbah, dan tidak menjadi 'pengalih perhatian'.
Tayangan yang rumit dan kompleks memang terlihat berkualitas dan memukau. Namun hati-hati, karena umat bisa akan lebih memperhatikan tayangannya ketimbang kotbahnya!
Siapkan saja satu kata sederhana atau gambar sederhana untuk memudahkan umat memahami dan mengikuti kotbah Anda.
Saya beri contoh yang sangat sederhana, misalnya saat Anda sedang menguraikan tentang Hukum Kasih. Tidak perlu Anda memenuhi layar monitor dengan kutipan ayat dan gambar, cukup Anda tayangkan gambar satu panah vertikal di tayangan pertama (kasih kepada Tuhan) dan satu panah horizontal di tayangan kedua (kasih kepada sesama). Apabila gereja Anda belum memiliki proyektor atau layar monitor, guntingan karton atau styrofoam pun sudah cukup untuk mendukung kotbah Anda! Buat tayangan sesimpel mungkin, sehingga tayangan tetaplah berfungsi sebagai 'alat bantu' dan bukannya 'fokus utama'.
Ringkaskan
Di akhir kotbah, berilah sebuah ringkasan dalam 'satu buah kalimat yang habis dibaca dalam satu tarikan nafas'. Jangan bebani jemaat dengan sebuah kesimpulan panjang, cukuplah sesuatu yang singkat dan menjadi esensi dari kotbah itu sendiri.
Banyak gereja yang mengakhiri kotbah dengan doa, saat hening, maupun persembahan pujian. Namun sebenarnya umat lebih membutuhkan sebuah 'buntalan' yang dapat dibawa pulang, yaitu inti sari kotbah itu sendiri.
Kenapa musti 'habis dibaca dalam satu tarikan nafas'? Ini jangan dimaknai secara harafiah, karena maksud sebenarnya adalah: harus sesingkat-singkatnya sehingga mudah untuk diingat dan dibawa pulang. Sebuah ringkasan kotbah yang terlalu panjang juga berkemungkinan besar tidak akan dibaca oleh umat. Jadi, buatlah kesimpulan yang sesingkat mungkin, bisa ditayangkan di layar multimedia, maupun sekedar dikatakan.
Kalau ajaran/teologi lokal adalah isi dari khotbah, maka context adalah kemasannya. Pengertian simpelnya: bagaimana ajaran yang rumit itu dibahasakan sehingga mudah dimengerti dan inspiratif untuk diikuti oleh jemaat.
Sebuah content yang baik akan terlihat buruk oleh context yang buruk, sebaliknya sebuah content yang buruk akan terlihat begitu meyakinkan oleh context yang baik (sekalipun ngaco isinya).
Gereja-gereja muda dan modern ternyata lebih berhasil dalam menciptakan sebuah context khotbah yang baik. Sebaliknya gereja-gereja mainstream - yang biasanya sudah tua dan tradisional - sering gagap dalam menciptakan context khotbah yang lebih up to date, seraya berharap bahwa jemaat akan lebih mencari suara Tuhan ketimbang di-entertain (ini hanya alasan saja untuk menutupi kelemahan mereka yang memang lemah mengemas khotbah yang lebih baik!)
Seorang marketer sangatlah memahami bahwa kemasan produk merupakan salah satu penentu laku tidaknya produk yang dijualnya. Bahkan suatu kemasan dapat menjadi sebuah leverage (pengungkit) untuk mendongkrak harga jual, gengsi, bahkan rasa/feel. Sama-sama tas, kulit namun tas bermerek akan berharga lebih mahal, lebih membanggakan saat dipakai, bahkan terlihat lebih serasi dengan penampilan, ketimbang tas sejenis namun tidak ada merek.
Kita tidak sedang ingin me-marketing-kan kotbah disini, namun pemahaman marketing ini dipaparkan untuk sekedar memberi gambaran mengenai betapa pentingnya context kotbah itu!
Saya disini hanya akan memberi beberapa masukan untuk menciptakan context kotbah agar dapat lebih dibahasakan secara lebih jelas, menarik, dan inspiratif. Saya beri singkatan supaya gampang diingat, yaitu STAR (supaya kotbah di gereja Anda bisa benar-benar menjadi bintang)
Siapkan skenario
Kotbah mustinya ada sistematikanya, paling tidak terdiri dari:
1. eksposisi/ulasan atas Firman Tuhan yang dibaca dan
2. bagaimana implikasinya dalam hidup kekinian dan keseharian umat.
Poin ke-1 adalah poin yang diajarkan di seminari-seminari tentang bagaimana kita memahami, memaknai, dan mengomunikasikannya kepada umat, tersedia banyak kelas homiletika yang dapat membahas tuntas hal tersebut, paling tidak dalam 2 - 3 sks, jadi saya tidak akan membahas disini.
Namun poin ke-2, nah ini yang sering luput dari perhatian seminari. Akibatnya jebolan seminari seringkali menjadi seorang 'alien di atas mimbar' yang berbahasa 'dewa' kepada umatnya, dengan menyampaikan kotbah yang terlalu dogmatis dan terlalu 'tinggi', tidak bisa mendarat dalam realitas keseharian umat. Kegagalan mendaratkan/merelevankan Firman Tuhan ini seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama, dan bukannya memaklumi bahwa sepantasnyalah 'gelap dan terang tidak dapat bersatu' alias wacana teologis di atas mimbar akan tertinggal disana saat jemaat kembali ke dunia nyata! Herannya, pengkhotbah dari mereka yang berlatar belakang sekular tampaknya lebih mampu mendaratkan/merelevankan Firman Tuhan ini! Mungkin karena mereka sudah memiliki pengalaman berada di dunia nyata (misal bekerja di kantor/perusahaan) sehingga nyambung-nya bisa lebih kena ketimbang mereka yang belajar di bangku-bangku seminari.
Itulah sebabnya jebolan seminari janganlah melulu membaca jurnal teologi. Menonton TV, membaca koran/buku/majalah Politik-Ekonomi-Bisnis, bahkan mengikuti perkumpulan non-gerejawi seharusnya tetap perlu dilakukan untuk memperluas wawasan maupun network.
Tapi ijinkan saya menyarankan satu skenario untuk meningkatkan kualitas context kotbah ini, terutama untuk poin ke-2 ini, yang saya sebut saja sebagai Kotbah Tiga Babak:
- Babak 1: Paparkan kondisi real yang related dengan ulasan Firman Tuhan dan jelaskan bahwa hal itu sangat relevan dan perlu menjadi perhatian kita bersama
- Babak 2: Tunjukan 'si Tantangan', yaitu dia/sesuatu/keadaan yang bisa menyebabkan 'kondisi yang relevan' itu bisa mengalami gangguan atau hambatan, dan bagaimana 'tantangan' ini menjadi sebuah 'keprihatinan' yang perlu diatasi oleh kita
- Babak 3: Beri Solusi untuk mengatasi si Tantangan, yaitu Tuhan Yesus melalui kebenaran-kebenaran alkitabiah yang membuat kita mampu menjalani kehidupan dalam 'kondisi yang relevan' itu.
TAyangan sederhana
Saat ini gereja banyak yang sudah diperlengkapi dengan perangkat multimedia yang canggih seperti LCD projector atau monitor layar lebar, jelas bukan sebuah investasi yang murah demi lebih lancarnya pelaksanaan ibadah. Apabila gereja Anda sudah memiliki perangkat seperti itu: syukurilah dan gunakanlah untuk mendukung penyampaian kotbah! Namun apabila gereja Anda belum memilikinya: jangan sedih dan tetap pergunakan apa yang ada!
Intinya adalah: kotbah perlu didukung oleh sebuah 'tayangan sederhana' yang 'cukup pas' untuk mendukung penyampaian kotbah, dan tidak menjadi 'pengalih perhatian'.
Tayangan yang rumit dan kompleks memang terlihat berkualitas dan memukau. Namun hati-hati, karena umat bisa akan lebih memperhatikan tayangannya ketimbang kotbahnya!
Siapkan saja satu kata sederhana atau gambar sederhana untuk memudahkan umat memahami dan mengikuti kotbah Anda.
Saya beri contoh yang sangat sederhana, misalnya saat Anda sedang menguraikan tentang Hukum Kasih. Tidak perlu Anda memenuhi layar monitor dengan kutipan ayat dan gambar, cukup Anda tayangkan gambar satu panah vertikal di tayangan pertama (kasih kepada Tuhan) dan satu panah horizontal di tayangan kedua (kasih kepada sesama). Apabila gereja Anda belum memiliki proyektor atau layar monitor, guntingan karton atau styrofoam pun sudah cukup untuk mendukung kotbah Anda! Buat tayangan sesimpel mungkin, sehingga tayangan tetaplah berfungsi sebagai 'alat bantu' dan bukannya 'fokus utama'.
Ringkaskan
Di akhir kotbah, berilah sebuah ringkasan dalam 'satu buah kalimat yang habis dibaca dalam satu tarikan nafas'. Jangan bebani jemaat dengan sebuah kesimpulan panjang, cukuplah sesuatu yang singkat dan menjadi esensi dari kotbah itu sendiri.
Banyak gereja yang mengakhiri kotbah dengan doa, saat hening, maupun persembahan pujian. Namun sebenarnya umat lebih membutuhkan sebuah 'buntalan' yang dapat dibawa pulang, yaitu inti sari kotbah itu sendiri.
Kenapa musti 'habis dibaca dalam satu tarikan nafas'? Ini jangan dimaknai secara harafiah, karena maksud sebenarnya adalah: harus sesingkat-singkatnya sehingga mudah untuk diingat dan dibawa pulang. Sebuah ringkasan kotbah yang terlalu panjang juga berkemungkinan besar tidak akan dibaca oleh umat. Jadi, buatlah kesimpulan yang sesingkat mungkin, bisa ditayangkan di layar multimedia, maupun sekedar dikatakan.
Minggu, 28 Oktober 2012
CSS: Khotbah 1
Content
Di depan sudah dijelaskan bahwa khotbah adalah penguraian Firman Tuhan. Sebuah khotbah yang baik tidak mengikat jemaat kepada khotbah itu sendiri (maksudnya membuat jemaat merasa cukup hanya dengan mendengarkan khotbah), namun harus terus memotivasi dan mendorong jemaat untuk langsung, tekun, dan teratur membaca Alkitab. Selain itu, sebuah khotbah yang baik seharusnyalah memiliki bahasa yang tidak hanya sederhana (mudah dipahami oleh umat awam) dan aplikatif (nggak teoriiii melulu), namun juga memiliki muatan teologi yang sesuai teologi gereja setempat.
Bagian yang terakhir (yaitu 'sesuai teologi gereja setempat') menjadi isu yang ingin saya angkat dalam bagian ini. Mengapa? Karena teologi merupakan salah satu jati diri sebuah gereja, sehingga saat kita mulai memikirkan untuk mencapai apa yang 'disana' (yaitu visi), maka kita perlu memahami titik berangkat kita, termasuk pemahaman atas 'siapa diri kita', dan bagaimana 'kita' memberdayakan diri kita sendiri untuk bergerak mencapai visi.
Bukan rahasia kalau masalah teologi sering menjadi salah satu penghambat pelayanan gereja, yaitu saat para teolog suatu gereja memutuskan untuk 'mengembangkan teologi gereja setempat' sedemikian rupa sehingga 'melayang terlalu jauh dari landasannya' yaitu apa yang disebut di atas sebagai jati diri gereja. Akibatnya adalah keributan terus-menerus yang menghabiskan waktu dan melemahkan gereja dalam menjalankan panggilannya. Kita tentu setuju bahwa tiap gereja memiliki sejarah perkembangan dan teologi yang memperkembangankannya. Nah, saat masa lalu berganti dengan masa kini, dengan berbagai perkembangan dan perubahannya, apakah warisan sejarah dan teologi masa lalu itu boleh dianggap sebagai barang kuno/usang bahkan tidak relevan lagi dengan kekinian, sehingga sah digusur oleh sesuatu yang dianggap lebih mutakhir dan relevan? Kalaupun tidak 'digusur', tetapi ditambahkan 'bumbu yang begitu banyak' sehingga natur aslinya menjadi berubah atau berbeda.
Saya ingin mengajak kita semua untuk: menghargai sejarah dan menghormati apa yang telah ditorehkan dalam sejarah, termasuk bagaimana sebuah gereja dibentuk oleh konsep teologi tertentu. Tentulah tidak ada orang yang mau dianggap 'tidak menghargai' dan 'tidak menghormati', boleh-boleh saja menyangkal demikian. Namun indikatornya jelas dan mudah, yaitu: sejauh mana kita telah berusaha untuk mempelajari konsep teologi gereja kita 'yang asli' sebelum kita 'berani' mengubah atau menambahinya dengan teologi yang Anda anggap lebih relevan, kontekstual, dan up to date! Silakan dijawab sendiri! Mari bicara tentang GKI (dan gereja Saudara masing-masing). Kalau GKI telah ditanam sebagai sebuah gereja Reformasi yang bercorak Calvinis, maka hargailah teologi GKI yang bercorak Calvinis, dan jangan 'menghakimi' bahwa Calvinisme - dengan ciri khasnya: ajaran mengenai Predestinasi - itu sudah tidak relevan dengan globalisasi masa kini yang berkaitan secara tidak langsung dengan munculnya pluralisme agama. Bukan rahasia lagi bahwa banyak teolog GKI yang mulai meninggalkan Calvinisme dan memasukkan teologi-teologi impor ke dalam GKI yang akhirnya membuat teologi GKI menjadi tidak jelas, dan nyaris tidak memiliki warna yang khas lagi. Pastilah ada yang berkomentar demikian: apa yang salah dengan teologi warna-warni yang nggak perlu 'khas'? Kan jadi bagus, indah, dan lengkap, dimana kekayaan teologi yang berbagai macam itu dikombinasi menjadi teologi bersama (ekumenis) yang bisa diterima semua pihak dan aliran. Nanti dulu Saudara, itu bukanlah pokok persoalannya! Pokok persoalannya adalah: sudahkah kita memahami teologi khas kita sebelum kita 'rela menduakan'nya dengan pemahaman lain yang seringkali berbeda perspektifnya.
Ambil contoh mengenai predestinasi yang sangat khas Calvinis. Ajaran predestinasi ini sering menjadi 'sasaran tembak', dengan menonjolkan wajah arogan umat Calvinis yang sepertinya merasa benar dan selamat sendiri, sedang yang lain adalah umat yang terkutuk dan calon penghuni Kerajaan Neraka! Itulah yang menyebabkan Teologia Calvinistik sering dianggap eksklusif, sombong, dll... sehingga harus digusur... Demi perikehidupan dunia yang lebih baik dan bersahabat... Sebetulnya tidak demikian! Seorang penganut Calvinisme yang sejati tidak akan menghakimi saudaranya yang penganut Arminianisme atau Katolikismen, pun terhadap mereka yang beragama lain, sebagai 'calon penghuni kerajaan neraka'. Mengapa?
Pertama, karena Calvinisme percaya bahwa teologi tidak menyelamatkan, hanya Tuhan yang menyelamatkan, dan penyelamatan Tuhan itu 100% ditentukan oleh Allah tanpa sedikitpun kontribusi manusia.
Kedua, ajaran Predestinasi TIDAKLAH MUNGKIN membuat seorang Calvinis Sejati menjadi eksklusif dan sombong! Mungkin seorang Calvinis Palsu yang hanya setengah bahkan seperempat memahami teologi ini bisa menjadi eksklusif dan sombong, seperti pepatah mengatakan: 'tong kosong nyaring bunyinya'! Seorang Calvinis Sejati justru niscayanya menjadi seorang yang inklusif dan rendah hati. Mengapa?
Paparan di atas hanya ingin menunjukkan perlunya kita mempelajari Calvinisme dengan lebih sungguh-sungguh, sebelum kita menggusurnya dengan teologi lain. Calvinisme masih relevan kok, dan yang paling penting telah teruji ke-alkitabiah-annya. Saya - sebagai umat GKI - mengajak jemaat GKI dan para teolognya untuk kembali belajar, memahami, dan memegang Calvinisme, sebagai sebuah akar dan jati diri gereja yang perlu terus dipelihara, dan membuat jemaat GKI memiliki kejelasan tentang ajarannya sendiri. Sekalipun tidak menyelamatkan, namun biarlah Teologi GKI menjadi sebuah alat bantu bagi umat untuk memahami suara Tuhan, kebermaknaan hidup, dan panggilan sebagai Umat Pilihan Allah! Dan ini akan terwujud apabila pesan mimbar GKI dengan setia menguraikan Firman Tuhan sesuai prinsip dan muatan Teologi Calvinis, yaitu teologi lokal (dan asli) GKI!
Di depan sudah dijelaskan bahwa khotbah adalah penguraian Firman Tuhan. Sebuah khotbah yang baik tidak mengikat jemaat kepada khotbah itu sendiri (maksudnya membuat jemaat merasa cukup hanya dengan mendengarkan khotbah), namun harus terus memotivasi dan mendorong jemaat untuk langsung, tekun, dan teratur membaca Alkitab. Selain itu, sebuah khotbah yang baik seharusnyalah memiliki bahasa yang tidak hanya sederhana (mudah dipahami oleh umat awam) dan aplikatif (nggak teoriiii melulu), namun juga memiliki muatan teologi yang sesuai teologi gereja setempat.
Bagian yang terakhir (yaitu 'sesuai teologi gereja setempat') menjadi isu yang ingin saya angkat dalam bagian ini. Mengapa? Karena teologi merupakan salah satu jati diri sebuah gereja, sehingga saat kita mulai memikirkan untuk mencapai apa yang 'disana' (yaitu visi), maka kita perlu memahami titik berangkat kita, termasuk pemahaman atas 'siapa diri kita', dan bagaimana 'kita' memberdayakan diri kita sendiri untuk bergerak mencapai visi.
Bukan rahasia kalau masalah teologi sering menjadi salah satu penghambat pelayanan gereja, yaitu saat para teolog suatu gereja memutuskan untuk 'mengembangkan teologi gereja setempat' sedemikian rupa sehingga 'melayang terlalu jauh dari landasannya' yaitu apa yang disebut di atas sebagai jati diri gereja. Akibatnya adalah keributan terus-menerus yang menghabiskan waktu dan melemahkan gereja dalam menjalankan panggilannya. Kita tentu setuju bahwa tiap gereja memiliki sejarah perkembangan dan teologi yang memperkembangankannya. Nah, saat masa lalu berganti dengan masa kini, dengan berbagai perkembangan dan perubahannya, apakah warisan sejarah dan teologi masa lalu itu boleh dianggap sebagai barang kuno/usang bahkan tidak relevan lagi dengan kekinian, sehingga sah digusur oleh sesuatu yang dianggap lebih mutakhir dan relevan? Kalaupun tidak 'digusur', tetapi ditambahkan 'bumbu yang begitu banyak' sehingga natur aslinya menjadi berubah atau berbeda.
Saya ingin mengajak kita semua untuk: menghargai sejarah dan menghormati apa yang telah ditorehkan dalam sejarah, termasuk bagaimana sebuah gereja dibentuk oleh konsep teologi tertentu. Tentulah tidak ada orang yang mau dianggap 'tidak menghargai' dan 'tidak menghormati', boleh-boleh saja menyangkal demikian. Namun indikatornya jelas dan mudah, yaitu: sejauh mana kita telah berusaha untuk mempelajari konsep teologi gereja kita 'yang asli' sebelum kita 'berani' mengubah atau menambahinya dengan teologi yang Anda anggap lebih relevan, kontekstual, dan up to date! Silakan dijawab sendiri! Mari bicara tentang GKI (dan gereja Saudara masing-masing). Kalau GKI telah ditanam sebagai sebuah gereja Reformasi yang bercorak Calvinis, maka hargailah teologi GKI yang bercorak Calvinis, dan jangan 'menghakimi' bahwa Calvinisme - dengan ciri khasnya: ajaran mengenai Predestinasi - itu sudah tidak relevan dengan globalisasi masa kini yang berkaitan secara tidak langsung dengan munculnya pluralisme agama. Bukan rahasia lagi bahwa banyak teolog GKI yang mulai meninggalkan Calvinisme dan memasukkan teologi-teologi impor ke dalam GKI yang akhirnya membuat teologi GKI menjadi tidak jelas, dan nyaris tidak memiliki warna yang khas lagi. Pastilah ada yang berkomentar demikian: apa yang salah dengan teologi warna-warni yang nggak perlu 'khas'? Kan jadi bagus, indah, dan lengkap, dimana kekayaan teologi yang berbagai macam itu dikombinasi menjadi teologi bersama (ekumenis) yang bisa diterima semua pihak dan aliran. Nanti dulu Saudara, itu bukanlah pokok persoalannya! Pokok persoalannya adalah: sudahkah kita memahami teologi khas kita sebelum kita 'rela menduakan'nya dengan pemahaman lain yang seringkali berbeda perspektifnya.
Ambil contoh mengenai predestinasi yang sangat khas Calvinis. Ajaran predestinasi ini sering menjadi 'sasaran tembak', dengan menonjolkan wajah arogan umat Calvinis yang sepertinya merasa benar dan selamat sendiri, sedang yang lain adalah umat yang terkutuk dan calon penghuni Kerajaan Neraka! Itulah yang menyebabkan Teologia Calvinistik sering dianggap eksklusif, sombong, dll... sehingga harus digusur... Demi perikehidupan dunia yang lebih baik dan bersahabat... Sebetulnya tidak demikian! Seorang penganut Calvinisme yang sejati tidak akan menghakimi saudaranya yang penganut Arminianisme atau Katolikismen, pun terhadap mereka yang beragama lain, sebagai 'calon penghuni kerajaan neraka'. Mengapa?
Pertama, karena Calvinisme percaya bahwa teologi tidak menyelamatkan, hanya Tuhan yang menyelamatkan, dan penyelamatan Tuhan itu 100% ditentukan oleh Allah tanpa sedikitpun kontribusi manusia.
Kedua, ajaran Predestinasi TIDAKLAH MUNGKIN membuat seorang Calvinis Sejati menjadi eksklusif dan sombong! Mungkin seorang Calvinis Palsu yang hanya setengah bahkan seperempat memahami teologi ini bisa menjadi eksklusif dan sombong, seperti pepatah mengatakan: 'tong kosong nyaring bunyinya'! Seorang Calvinis Sejati justru niscayanya menjadi seorang yang inklusif dan rendah hati. Mengapa?
- Karena kita sebetulnya TIDAK PERNAH TAHU siapa sebetulnya orang yang dipilih dan orang yang ditolak. Mungkinkah sedikit orang yang dipilih? Ya mungkin! Mungkinkah banyak bahkan semua orang dipilih? Ya mungkin! Kan yang tahu dan yang memilih itu Sang Pemberi Keselamatan itu sendiri, bukan kita! Jangan-jangan kita yang selama hidup aktif melayani Tuhan, menjadi penatua, menjadi pendeta, bahkan menjadi penjala ribuan manusia untuk Tuhan, menjelang ajal menjemput justru berbalik menyangkal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Jurus'lamat kita! Sebaliknya mereka yang kita cap 'kafir' justru menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Jurus'lamat mereka sebelum nyawa terlepas dari tubuh jasmani ini! Kita tidak akan pernah bisa tahu hal itu sebelum kita meninggal di dalam iman yang sejati kepada Tuhan Yesus! Jadi seorang Calvinis Sejati pastilah orang yang rendah hati dan selalu berharap kepada Tuhan agar diberi kesempatan dan anugerah untuk tetap setia mengikuti dan mempercayaiNya sampai akhir hidupnya.
- Ketidaktahuan ini juga membuat seorang Calvinis Sejati membuka dirinya terhadap dunia, menjadi garam dan terang bagi dunia. Mengapa? Karena kita TIDAK PERNAH TAHU siapa saja orang yang akan kita menangkan jiwanya. Siapa mereka? Tidak tahu! Umat pilihan Tuhan 'terserak' dimana-mana, sehingga berita Injil harus dikumandangkan dan disebarkan SELUAS-LUASNYA, baik melalui perkataan maupun perbuatan, menjadi sebuah undangan terbuka bagi 'mereka yang terserak' untuk percaya dan menjadi murid Tuhan Yesus.
Paparan di atas hanya ingin menunjukkan perlunya kita mempelajari Calvinisme dengan lebih sungguh-sungguh, sebelum kita menggusurnya dengan teologi lain. Calvinisme masih relevan kok, dan yang paling penting telah teruji ke-alkitabiah-annya. Saya - sebagai umat GKI - mengajak jemaat GKI dan para teolognya untuk kembali belajar, memahami, dan memegang Calvinisme, sebagai sebuah akar dan jati diri gereja yang perlu terus dipelihara, dan membuat jemaat GKI memiliki kejelasan tentang ajarannya sendiri. Sekalipun tidak menyelamatkan, namun biarlah Teologi GKI menjadi sebuah alat bantu bagi umat untuk memahami suara Tuhan, kebermaknaan hidup, dan panggilan sebagai Umat Pilihan Allah! Dan ini akan terwujud apabila pesan mimbar GKI dengan setia menguraikan Firman Tuhan sesuai prinsip dan muatan Teologi Calvinis, yaitu teologi lokal (dan asli) GKI!
Jumat, 26 Oktober 2012
CSS: Visi 3
Ulasan visi ini memang lumayan panjang, karena memang sengaja tidak
saya potong mengingat pentingnya setiap materi tulisan yang ada.
Nah, memasuki pembahasan 4 kuadran CSS di bab-bab berikut, saya akan mencoba untuk mempersingkatnya dengan cukup membahas pokok pikirannya saja.
Namun ada 2 hal mendasar yang ingin saya sampaikan terlebih dahulu:
1. Kunci sukses sebuah gereja ditentukan oleh kegemaran umatnya dalam mendengar Firman Tuhan dan berdoa (baik secara pribadi, kelompok kecil, maupun dalam sebuah ibadah minggu)
2. Keempat kuadran CSS berlaku untuk apapun visi yang ditetapkan, yang berbeda hanyalah penekanannya saja
Tentu visi yang besar membutuhkan perhatian pada keseluruhan kuadran, sedangkan visi yang terbatas, mungkin dapat dicapai cukup dengan mengoptimalkan satu atau dua kuadran.
Berikut ini penjelasannya:
Pertama: Kunci rahasia sukses, yaitu Membaca Firman Tuhan dan Berdoa
Saya langsung beri contoh saja, yaitu seorang penginjil asal Tiongkok yang melayani sekitar tahun 1920-an hingga 1940-an, yang bernama John Sung. Ia dipersiapkan Tuhan untuk melakukan pelayanan-pelayan misi yang besar BUKAN saat dia bertumbuh di dalam lingkungan keluarga pendeta, BUKAN saat dia berhasil meraih gelar doktor ilmu kimia hanya dalam waktu 5 tahun (artinya: memiliki otak yang jenius), BUKAN saat dia memutuskan untuk kuliah di sebuah seminari yang prestisius di AS, TETAPI saat dia membaca Alkitab lengkap selama 40 kali saat dia dimasukkan ke dalam RS Jiwa karena dianggap gila oleh rekan-rekannya! Membaca Firman Tuhan adalah sebuah kunci rahasia sukses dari pencapaian visi gereja. Saat jemaat memiliki kegemaran membaca Firman Tuhan, disanalah karya besar Tuhan akan dinyatakan, dan berlaku pula sebaliknya...
Ini bukanlah berarti bahwa Tuhan menjadi tergantung pada manusia. Saya percaya bahwa karya Tuhan tetap besar dimana pun dan kapan pun. Namun karya besar itu akan lebih tampak dan terwujudkan oleh dan melalui orang-orang yang sungguh-sungguh mencari suara dan kehendak Tuhan. Itu sudah pasti!
Melalui kunci inilah sebetulnya kita dapat dengan mudah membedakan mana gereja yang bertumbuh dan gereja bonsai, mana gereja yang akan bertumbuh dan mana gereja yang akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Itu semua ditentukan oleh bagaimana tingkat kegemaran umatnya untuk belajar Firman Tuhan dan berdoa. Gereja yang bertumbuh tidaklah dimulai dari rumusan visi atau program pelayanan yang hebat-hebat, TIDAK! Bahkan pelayanan yang terlalu hebat seringkali membuat umatnya lebih senang ber-aktivisme dan merasa cukup mendengar khotbah pendetanya ketimbang membaca Alkitab!
Loh, mendengar khotbah kan sama dengan mendengar Firman Tuhan kan?
Saya jawab: tidak! Mengapa? Karena khotbah hanya merupakan penguraian dari Firman Tuhan, bukan Firman Tuhan itu sendiri, yaitu Alkitab! Jadi mendengar banyak khotbah yang hebat-hebat dan menggugah - bahkan penuh kuasa/urapan - tidak akan pernah cukup tanpa pembacaan Alkitab secara langsung, tekun dan teratur. Langsung artinya: ya langsung baca Alkitabnya (bukan melalui buku-buku rohani yang sering 'menyunat' Firman Tuhan disana-sini untuk membenarkan tesisnya) , tekun artinya: baca tiap hari dan renungkan bagian-bagiannya siang dan malam, dan teratur artinya: berurutan dari Kejadian sampai dengan Wahyu, jangan loncat sana loncat sini. Dewasa ini ada begitu banyak khotbah di mimbar-mimbar gereja yang tidak menguraikan Firman Tuhan, namun malah menguraikan pikiran, pendapat, maupun filsafat pribadi si pengkhotbah! Indikatornya gampang, yaitu: berapa banyak khotbah itu berbicara tentang Kristus dan salib Kristus ketimbang berbicara tentang diri sendiri atau orang atau peristiwa tertentu. Hati-hati Saudara, saat khotbah tidak atau sedikit berbicara mengenai Kristus dan salib Kristus, bahkan berbicara tentang sesuatu yang bertolak belakang (misal tentang kesuksesan duniawi atau penyangkalan atas keselamatan yang hanya dimungkinkan melalui Kristus) maka khotbah itu bukanlah khotbah yang menguraikan Firman Tuhan, dan sudah pasti bukan Firman Tuhan itu sendiri! Itu hanyalah firman si pendeta yang ingin meruntuhkan kegemaran umatnya untuk membaca Firman Tuhan bahkan meruntuhkan kebenaran Firman Tuhan! Firman Tuhan adalah Alkitab, jemaat harus lebih gemar membaca Alkitab ketimbang mendengarkan khotbah, jangan terbalik!
Namun jangan salah mengerti juga, seolah-olah terkesan kalau membaca Alkitab di rumah saja sudah cukup, tidak perlu lagi mendengarkan khotbah di dalam Ibadah Minggu di gereja. Banyak saudara yang akhirnya berpandangan seperti itu, namun saya katakan bahwa pandangan itu pun keliru. Mengapa? Karena, pertama: sudah barang tentu bukan pandangan yang Alkitabiah (baca...), kedua: kita membutuhkan penguraian Firman Tuhan oleh mereka yang sudah belajar Firman Tuhan (yaitu para pendeta/teolog) agar kita tidak salah memahami Firman Tuhan! Keengganan untuk belajar dari orang lain, bahkan merasa dirinya sudah terlalu pintar untuk diajari, merupakan sebuah benih kebodohan yang bisa menuai penyesatan. Bagaimanapun juga kita membutuhkan perspektif dari ahlinya, yaitu para pendeta/teolog, yang tentu harus juga kita uji kompetensinya sebagai pendeta/teolog, agar jangan sampai kita digembalakan oleh 'serigala' bahkan 'iblis yang menyamar sebagai malaikat terang'!
Kedua, tentang pemakaian keempat kuadran CSS
Untuk hal ini saya tidak akan menjelaskan terlalu banyak lagi, namun perlu saya garis bawahi bahwa: apapun visinya, misi yang perlu dilakukan tidak akan jauh-jauh dari keempat kuadran tersebut. Perhatikan dan gunakanlah SEMUA kuadran, jangan sepotong-sepotong. Loh, masa visi beda misi harus sama? Bukan begitu, Saudara, pasti misi itu sifatnya customized, tergantung apa visinya. Bagaimanapun, visi memiliki jumlah pengunjung ibadah yang meningkat 2 kali lipat dalam 5 tahun akan berbeda misinya dengan visi jemaat yang menyelesaikan pembacaan 66 kitab dalam Alkitab dalam setahun, dan jelas pasti berbeda misinya saat visinya adalah musik ibadah yang dibawakan secara orkestrasi penuh.
Ketiga contoh visi di atas pasti akan dicapai melalui misi yang berbeda-beda, namun melalui konsep CSS, kami percaya bahwa apapun visinya, misi tidak akan jauh-jauh dari ke-4 kuadran, yaitu: menyangkut Firman Tuhan, Doa, Kualitas Ibadah, dan Partisipasi Umat. Yang membedakan misi dari visi yang satu dan lainnya adalah: penekanannya! Diharapkan Saudara dapat menetapkan sendiri apa 'penekanannya' untuk visi gereja Saudara.
Untuk itu, marilah kita mulai membahas ke-4 Kuadran CSS satu demi satu.
Nah, memasuki pembahasan 4 kuadran CSS di bab-bab berikut, saya akan mencoba untuk mempersingkatnya dengan cukup membahas pokok pikirannya saja.
Namun ada 2 hal mendasar yang ingin saya sampaikan terlebih dahulu:
1. Kunci sukses sebuah gereja ditentukan oleh kegemaran umatnya dalam mendengar Firman Tuhan dan berdoa (baik secara pribadi, kelompok kecil, maupun dalam sebuah ibadah minggu)
2. Keempat kuadran CSS berlaku untuk apapun visi yang ditetapkan, yang berbeda hanyalah penekanannya saja
Tentu visi yang besar membutuhkan perhatian pada keseluruhan kuadran, sedangkan visi yang terbatas, mungkin dapat dicapai cukup dengan mengoptimalkan satu atau dua kuadran.
Berikut ini penjelasannya:
Pertama: Kunci rahasia sukses, yaitu Membaca Firman Tuhan dan Berdoa
Saya langsung beri contoh saja, yaitu seorang penginjil asal Tiongkok yang melayani sekitar tahun 1920-an hingga 1940-an, yang bernama John Sung. Ia dipersiapkan Tuhan untuk melakukan pelayanan-pelayan misi yang besar BUKAN saat dia bertumbuh di dalam lingkungan keluarga pendeta, BUKAN saat dia berhasil meraih gelar doktor ilmu kimia hanya dalam waktu 5 tahun (artinya: memiliki otak yang jenius), BUKAN saat dia memutuskan untuk kuliah di sebuah seminari yang prestisius di AS, TETAPI saat dia membaca Alkitab lengkap selama 40 kali saat dia dimasukkan ke dalam RS Jiwa karena dianggap gila oleh rekan-rekannya! Membaca Firman Tuhan adalah sebuah kunci rahasia sukses dari pencapaian visi gereja. Saat jemaat memiliki kegemaran membaca Firman Tuhan, disanalah karya besar Tuhan akan dinyatakan, dan berlaku pula sebaliknya...
Ini bukanlah berarti bahwa Tuhan menjadi tergantung pada manusia. Saya percaya bahwa karya Tuhan tetap besar dimana pun dan kapan pun. Namun karya besar itu akan lebih tampak dan terwujudkan oleh dan melalui orang-orang yang sungguh-sungguh mencari suara dan kehendak Tuhan. Itu sudah pasti!
Melalui kunci inilah sebetulnya kita dapat dengan mudah membedakan mana gereja yang bertumbuh dan gereja bonsai, mana gereja yang akan bertumbuh dan mana gereja yang akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Itu semua ditentukan oleh bagaimana tingkat kegemaran umatnya untuk belajar Firman Tuhan dan berdoa. Gereja yang bertumbuh tidaklah dimulai dari rumusan visi atau program pelayanan yang hebat-hebat, TIDAK! Bahkan pelayanan yang terlalu hebat seringkali membuat umatnya lebih senang ber-aktivisme dan merasa cukup mendengar khotbah pendetanya ketimbang membaca Alkitab!
Loh, mendengar khotbah kan sama dengan mendengar Firman Tuhan kan?
Saya jawab: tidak! Mengapa? Karena khotbah hanya merupakan penguraian dari Firman Tuhan, bukan Firman Tuhan itu sendiri, yaitu Alkitab! Jadi mendengar banyak khotbah yang hebat-hebat dan menggugah - bahkan penuh kuasa/urapan - tidak akan pernah cukup tanpa pembacaan Alkitab secara langsung, tekun dan teratur. Langsung artinya: ya langsung baca Alkitabnya (bukan melalui buku-buku rohani yang sering 'menyunat' Firman Tuhan disana-sini untuk membenarkan tesisnya) , tekun artinya: baca tiap hari dan renungkan bagian-bagiannya siang dan malam, dan teratur artinya: berurutan dari Kejadian sampai dengan Wahyu, jangan loncat sana loncat sini. Dewasa ini ada begitu banyak khotbah di mimbar-mimbar gereja yang tidak menguraikan Firman Tuhan, namun malah menguraikan pikiran, pendapat, maupun filsafat pribadi si pengkhotbah! Indikatornya gampang, yaitu: berapa banyak khotbah itu berbicara tentang Kristus dan salib Kristus ketimbang berbicara tentang diri sendiri atau orang atau peristiwa tertentu. Hati-hati Saudara, saat khotbah tidak atau sedikit berbicara mengenai Kristus dan salib Kristus, bahkan berbicara tentang sesuatu yang bertolak belakang (misal tentang kesuksesan duniawi atau penyangkalan atas keselamatan yang hanya dimungkinkan melalui Kristus) maka khotbah itu bukanlah khotbah yang menguraikan Firman Tuhan, dan sudah pasti bukan Firman Tuhan itu sendiri! Itu hanyalah firman si pendeta yang ingin meruntuhkan kegemaran umatnya untuk membaca Firman Tuhan bahkan meruntuhkan kebenaran Firman Tuhan! Firman Tuhan adalah Alkitab, jemaat harus lebih gemar membaca Alkitab ketimbang mendengarkan khotbah, jangan terbalik!
Namun jangan salah mengerti juga, seolah-olah terkesan kalau membaca Alkitab di rumah saja sudah cukup, tidak perlu lagi mendengarkan khotbah di dalam Ibadah Minggu di gereja. Banyak saudara yang akhirnya berpandangan seperti itu, namun saya katakan bahwa pandangan itu pun keliru. Mengapa? Karena, pertama: sudah barang tentu bukan pandangan yang Alkitabiah (baca...), kedua: kita membutuhkan penguraian Firman Tuhan oleh mereka yang sudah belajar Firman Tuhan (yaitu para pendeta/teolog) agar kita tidak salah memahami Firman Tuhan! Keengganan untuk belajar dari orang lain, bahkan merasa dirinya sudah terlalu pintar untuk diajari, merupakan sebuah benih kebodohan yang bisa menuai penyesatan. Bagaimanapun juga kita membutuhkan perspektif dari ahlinya, yaitu para pendeta/teolog, yang tentu harus juga kita uji kompetensinya sebagai pendeta/teolog, agar jangan sampai kita digembalakan oleh 'serigala' bahkan 'iblis yang menyamar sebagai malaikat terang'!
Kedua, tentang pemakaian keempat kuadran CSS
Untuk hal ini saya tidak akan menjelaskan terlalu banyak lagi, namun perlu saya garis bawahi bahwa: apapun visinya, misi yang perlu dilakukan tidak akan jauh-jauh dari keempat kuadran tersebut. Perhatikan dan gunakanlah SEMUA kuadran, jangan sepotong-sepotong. Loh, masa visi beda misi harus sama? Bukan begitu, Saudara, pasti misi itu sifatnya customized, tergantung apa visinya. Bagaimanapun, visi memiliki jumlah pengunjung ibadah yang meningkat 2 kali lipat dalam 5 tahun akan berbeda misinya dengan visi jemaat yang menyelesaikan pembacaan 66 kitab dalam Alkitab dalam setahun, dan jelas pasti berbeda misinya saat visinya adalah musik ibadah yang dibawakan secara orkestrasi penuh.
Ketiga contoh visi di atas pasti akan dicapai melalui misi yang berbeda-beda, namun melalui konsep CSS, kami percaya bahwa apapun visinya, misi tidak akan jauh-jauh dari ke-4 kuadran, yaitu: menyangkut Firman Tuhan, Doa, Kualitas Ibadah, dan Partisipasi Umat. Yang membedakan misi dari visi yang satu dan lainnya adalah: penekanannya! Diharapkan Saudara dapat menetapkan sendiri apa 'penekanannya' untuk visi gereja Saudara.
Untuk itu, marilah kita mulai membahas ke-4 Kuadran CSS satu demi satu.
CSS: Visi 2
Apa visi yang bisa saya buat?
Merumuskan visi merupakan pokok bahasan dari 'seminar satu hari' bahkan lebih! Saya berkali-kali mengikuti seminar dan training yang topiknya adalah: bagaimana cara merumuskan visi. Ada begitu banyak teknik dan metode yang dapat digunakan untuk merumuskan visi. Gereja saya saja merumuskan visinya setelah menjalani proses yang memakan waktu berbulan-bulan.
Lucunya, sekalipun sudah canggih membuat visi, dengan menggunakan bermacam-macam metode dan melibatkan banyak orang, tetap saja visi seringkali berhenti sebagai pajangan yang sekedar membuat orang kagum sesaat, selebihnya... Ya nggak ada lebihnya lagi ketimbang sebuah kalimat bisu!
Karena itulah saya nggak mau bicara mengenai cara membuat visi, namun lebih kepada: 'apa yang bisa menjadi visi'.
Yang pertama, (tentu saja) hal-hal yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Contoh yang kualitatif: ibadah yang diminati oleh generasi muda, ibadah dengan liturgi yang fleksibel, atau ibadah yang membuat sorga turun ke bumi.
Sedangkan yang kuantitatif contohnyai: ibadah yang setiap minggunya dihadiri oleh 1000 orang, atau ibadah yang melibatkan 20% dari umat sebagai pelayan ibadah, atau ibadah yang meningkat dari 3 kali pelaksanaan menjadi 5 kali.
Silakan saja buat sekreatif dan seluas mungkin. Yang penting visi itu berbicara mengenai sesuatu yang lebih berkembang/maju/baik di masa depan.
Namun ada sedikit saran dari para ahli pembuat visi, bahwa sebuah visi yang baik setidaknya memiliki 5 syarat, yaitu SMART:
1. Specific: fokus, terarah pada satu atau dua hal saja
2. Measurable: dapat diukur, bagi visi yang sifatnya kuantitatif jelas nggak ada problem (karena jelas ada angkanya), yang problem adalah visi yang kualitatif (misalnya seperti contoh di atas mengenai 'ibadah yang membuat sorga turun ke bumi'), musti ada penjelasan-penjelasan tambahan yang membuat visi itu lebih terukur, misalnya: musik dibuat 100% orkestrasi, atau ada Paduan Suara yang melayani setiap ibadah, dan lain sebagainya.
3. Attainable: boleh menantang, namun harus dapat dijangkau dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada, yaitu: SDM (kemauan dan kemampuan umat) dan ketersediaan dana/fasilitas
4. Realistic: visi yang menantang dan dapat dijangkau juga perlu realistis, karena ada faktor x yang seringkali menjadi 'penghalang' seperti: budaya gereja setempat (misalnya: nggak mungkin gereja konservatif dibikin karismatik, atau sebaliknya), faktor kepemimpinan yang kaku atau sulit berubah, maupun kondisi lingkungan yang seringkali menjadi penghambat kegiatan gereja
5. Timebound: ada batasan waktu yang jelas, alias deadline, yang bisa di break ke dalam beberapa tahapan.
Yang kedua: visi seharusnyalah merepresentasikan context gereja setempat, yaitu: kondisi, problem/pergumulan, maupun cita-cita/harapan jemaat. Salah satu contoh perumusan visi yang baik adalah seperti yang dilakukan oleh gereja saya, yaitu GKI Nurdin, dimana perumusan visi dilakukan dengan sistem bottom-up, dimulai dari menjaring ide-ide dari umat, mengkristalkannya menjadi beberapa pilihan, lalu melemparkan pilihan-pilihan tersebut kembali ke umat untuk memilih satu visi yang paling cocok bagi mereka.
Cara bottom-up ini dapat menghasilkan sebuah rumusan visi yang baik apabila umat memang telah memiliki rasa concern dan self belonging yang relatif merata. Tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada atau hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari umat (misal hanya dimiliki oleh para aktivisnya saja) maka niscaya proses bottom up itu hanyalah menjadi proses 3B: basa-basi bisu, yang akhirnya akan berhenti dalam sebuah statement visi bisu yang tidak visioner, bahkan tidak berdampak apa-apa terhadap kemajuan gereja.
Mungkin perlu kita memperhatikan cara Yohanes Calvin mengorganisasikan gerejanya di Jenewa yang kini dikenal sebagai presbiterial sinodal, dimana gereja memilih orang-orang pilihan untuk memimpin gereja, yaitu mereka yang memang concern dan dipercaya umat untuk memimpin gereja (yaitu para pendeta dan penatua). Ditangan merekalah seharusnya context gereja ditetapkan (jangan di open-pen kepada khalayak umat yang belum tentu concern dan berminat). Setelah beberapa pilihan visi terbentuk, bolehlah kini umat dilibatkan untuk memilih satu visi yang paling mendekati harapan umat (biasanya ditentukan melalui suara terbanyak).
Intinya, visi haruslah sesuai - atau paling tidak mendekati - context jemaat, sehingga visi tersebut mendapat dukungan umat dan memang benar-benar dapat menjadi arahan untuk masa depan gereja yang lebih baik.
Merumuskan visi merupakan pokok bahasan dari 'seminar satu hari' bahkan lebih! Saya berkali-kali mengikuti seminar dan training yang topiknya adalah: bagaimana cara merumuskan visi. Ada begitu banyak teknik dan metode yang dapat digunakan untuk merumuskan visi. Gereja saya saja merumuskan visinya setelah menjalani proses yang memakan waktu berbulan-bulan.
Lucunya, sekalipun sudah canggih membuat visi, dengan menggunakan bermacam-macam metode dan melibatkan banyak orang, tetap saja visi seringkali berhenti sebagai pajangan yang sekedar membuat orang kagum sesaat, selebihnya... Ya nggak ada lebihnya lagi ketimbang sebuah kalimat bisu!
Karena itulah saya nggak mau bicara mengenai cara membuat visi, namun lebih kepada: 'apa yang bisa menjadi visi'.
Yang pertama, (tentu saja) hal-hal yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Contoh yang kualitatif: ibadah yang diminati oleh generasi muda, ibadah dengan liturgi yang fleksibel, atau ibadah yang membuat sorga turun ke bumi.
Sedangkan yang kuantitatif contohnyai: ibadah yang setiap minggunya dihadiri oleh 1000 orang, atau ibadah yang melibatkan 20% dari umat sebagai pelayan ibadah, atau ibadah yang meningkat dari 3 kali pelaksanaan menjadi 5 kali.
Silakan saja buat sekreatif dan seluas mungkin. Yang penting visi itu berbicara mengenai sesuatu yang lebih berkembang/maju/baik di masa depan.
Namun ada sedikit saran dari para ahli pembuat visi, bahwa sebuah visi yang baik setidaknya memiliki 5 syarat, yaitu SMART:
1. Specific: fokus, terarah pada satu atau dua hal saja
2. Measurable: dapat diukur, bagi visi yang sifatnya kuantitatif jelas nggak ada problem (karena jelas ada angkanya), yang problem adalah visi yang kualitatif (misalnya seperti contoh di atas mengenai 'ibadah yang membuat sorga turun ke bumi'), musti ada penjelasan-penjelasan tambahan yang membuat visi itu lebih terukur, misalnya: musik dibuat 100% orkestrasi, atau ada Paduan Suara yang melayani setiap ibadah, dan lain sebagainya.
3. Attainable: boleh menantang, namun harus dapat dijangkau dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada, yaitu: SDM (kemauan dan kemampuan umat) dan ketersediaan dana/fasilitas
4. Realistic: visi yang menantang dan dapat dijangkau juga perlu realistis, karena ada faktor x yang seringkali menjadi 'penghalang' seperti: budaya gereja setempat (misalnya: nggak mungkin gereja konservatif dibikin karismatik, atau sebaliknya), faktor kepemimpinan yang kaku atau sulit berubah, maupun kondisi lingkungan yang seringkali menjadi penghambat kegiatan gereja
5. Timebound: ada batasan waktu yang jelas, alias deadline, yang bisa di break ke dalam beberapa tahapan.
Yang kedua: visi seharusnyalah merepresentasikan context gereja setempat, yaitu: kondisi, problem/pergumulan, maupun cita-cita/harapan jemaat. Salah satu contoh perumusan visi yang baik adalah seperti yang dilakukan oleh gereja saya, yaitu GKI Nurdin, dimana perumusan visi dilakukan dengan sistem bottom-up, dimulai dari menjaring ide-ide dari umat, mengkristalkannya menjadi beberapa pilihan, lalu melemparkan pilihan-pilihan tersebut kembali ke umat untuk memilih satu visi yang paling cocok bagi mereka.
Cara bottom-up ini dapat menghasilkan sebuah rumusan visi yang baik apabila umat memang telah memiliki rasa concern dan self belonging yang relatif merata. Tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada atau hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari umat (misal hanya dimiliki oleh para aktivisnya saja) maka niscaya proses bottom up itu hanyalah menjadi proses 3B: basa-basi bisu, yang akhirnya akan berhenti dalam sebuah statement visi bisu yang tidak visioner, bahkan tidak berdampak apa-apa terhadap kemajuan gereja.
Mungkin perlu kita memperhatikan cara Yohanes Calvin mengorganisasikan gerejanya di Jenewa yang kini dikenal sebagai presbiterial sinodal, dimana gereja memilih orang-orang pilihan untuk memimpin gereja, yaitu mereka yang memang concern dan dipercaya umat untuk memimpin gereja (yaitu para pendeta dan penatua). Ditangan merekalah seharusnya context gereja ditetapkan (jangan di open-pen kepada khalayak umat yang belum tentu concern dan berminat). Setelah beberapa pilihan visi terbentuk, bolehlah kini umat dilibatkan untuk memilih satu visi yang paling mendekati harapan umat (biasanya ditentukan melalui suara terbanyak).
Intinya, visi haruslah sesuai - atau paling tidak mendekati - context jemaat, sehingga visi tersebut mendapat dukungan umat dan memang benar-benar dapat menjadi arahan untuk masa depan gereja yang lebih baik.
Kamis, 25 Oktober 2012
CSS: Visi 1
Barusan saya katakan bahwa kotak tengah, alias visi, merupakan penentu jalannya CSS. Sebuah gereja yang well-formed peribadahannya mungkin sudah tidak memerlukan konsep macam-macam untuk memperbaikinya, wong sudah bagus! Atau sebuah gereja yang sudah nyaman dengan keadaannya sekarang, sekalipun sama sekali nggak mengenal bahkan mengalami ibadah yang sukses - jelaslah tidak membutuhkan CSS!
Tapi bagi yang mau mengetahui CSS ini lebih lanjut, saya ingin sharing sedikit mengenai 3 hal:
Apa itu ibadah yang sukses
Dari awal saya sudah cukup banyak memakai kata 'sukses' yang terkait dengan ibadah. Mungkin sudah ada yang merasa terganggu dengan istilah itu, dan menduga bahwa saya sebenar-benarnya adalah penganut teologia kemakmuran (sekalipun bilangnya 'nggak'). Sekarang sudah tiba saatnya bagi saya untuk menjelaskan makna 'sukses' itu. Bagaimana pun juga, pengertian sukses bagi masing-masing orang berbeda-beda. Sukses menurut saya belum tentu sukses menurut Anda. Si A mungkin bilang bahwa sukses related dengan materi, sedang si B berpendapat bahwa sukses adalah memiliki rasa cukup: cukup makan, cukup mobil, cukup rumah, cukup deposito, cukup saham... (Itu sih sama saja!). Apapun pendapat kita mengenai sukses, satu hal yang sama adalah: sukses musti ada batasannya, dimana batasan inilah yang menentukan 'makna sukses'.
Lalu, apakah batasan dan makna sukses bagi sebuah ibadah yang dikatakan 'sukses'? Menurut saya, batasan dari sebuah ibadah yang sukses adalah: ibadah yang memiliki visi dan usaha untuk merealisasikannya. Visi bolehlah segala macam, usaha bolehlah segala cara. Tetapi saat sebuah jemaat berani membuat sebuah visi dan merumuskan usaha-usaha untuk mencapainya di dalam peribadahannya (sebagai main activity gereja), dan bukan hanya sekedar menjalankan kegiatan rutin mingguan, itulah ibadah yang sukses! Saya ingin berbagi inspirasi akan ibadah yang sukses melalui CSS, karena: kotak tengah CSS adalah visi, sedang ke-4 kotak CSS disekitarnya adalah usaha. Ibadah yang memiliki visi adalah ibadah yang sudah 50% sukses, dan ibadah yang diusahakan untuk mencapai visi adalah ibadah yang 100% sukses, tidak peduli apakah visi itu tercapai atau tidak, yang penting sudah berusaha! Loh kok begitu? Kalau visi nggak tercapai artinya gagal dong! Di gereja tidak seperti itu, Saudara. Dalam perusahaan sekular bolehlah kita berpandangan seperti itu, namun di gereja berlaku rumusan: manusia menanam (visi) + manusia menyiram (usaha) + Allah memberi pertumbuhan (perkenanNya) = gereja yang sukses (baca: Kor...)
Masalahnya sekarang adalah: siapa yang paling berkompeten membuat visi ibadah, dan seperti apa?
Siapa yang membuat visi?
Masalah 'menetapkan visi' menjadi sebuah masalah besar dalam pembuatan visi, masalah 'menjual visi' merupakan masalah yang jauh lebih besar lagi, sedangkan masalah 'siapa yang seharusnya membuat visi' adalah masalah yang terbesar. Saya bisa membuat 3 buku yang tebal-tebal untuk membahas ketiga hal tersebut, namun dengan jawaban yang tetap 'nggantung'. Mengapa? Karena jawaban dari ketiga pertanyaan 'berat' itu adalah diri kita sendiri, yaitu: seberapa besar kita memiliki self belonging atau rasa memiliki terhadap gereja kita. Dan masalah 'rasa memiliki' ini jelaslah berhubungan dengan masalah 'hati' yang seringkali sulit untuk 'diubahkan' atau 'ditransformasikan', bahkan cenderung fleksibel tergantung waktu dan kondisi. Begitu cepatnya hati seseorang berubah dari 'strong engaged' menjadi 'extremely dis-engaged' karena masalah-masalah yang begitu simpel dan terkadang kekanak-kanakan, seperti karena terlewat disebut namanya dalam doa syafaat atau karena tidak disalami oleh pendeta. Betul?
Masalah 'rasa memiliki' ini jelaslah memerlukan pembahasan lebih lanjut di bagian lain, namun untuk sementara ini cukuplah kita memahami bahwa seorang yang memiliki 'rasa memiliki' akan sangat mudah untuk memikirkan hal-hal yang perlu ditingkatkan dalam pelayanan gereja (baca: merumuskan visi). Sebaliknya seorang yang tidak punya 'rasa memiliki' maka berkecenderungan berperilaku sebagai 'nasabah' ketimbang sebagai 'stakeholder'. Apakah itu? Pengertian gampangnya: nasabah adalah pembeli, sedangkan stakeholder adalah pemilik. Dari pengamatan saya, saat ini begitu banyak gereja yang mayoritas dihadiri oleh 'nasabah' ketimbang 'stakeholder', entah gereja yang dihadiri puluhan orang maupun yang dihadiri oleh puluhan ribu orang! Memang lebih enak menjadi 'nasabah' (pastilah ini menunjukkan 'rasa memiliki' yang rendah) ketimbang menjadi 'stakeholder' gereja, sehingga umat berkecenderungan menjadi pasif dan taste-seeker. Istilahnya 6D: datang, duduk, diem, dengar, duit (beri persembahan), datang lagi (kalau dapat sesuatu); dan ditambah 1P: pindah ke gereja lain, kalau keinginan dan harapan kita tidak terpenuhi (alias kalau nggak dapat sesuatu dari gereja tersebut). Menyedihkan sekali kalau bergereja kita itu nggak lebih dari 6D+1P itu! Anda bukan nasabah yang kulturnya 6D+1P itu! Anda adalah stakeholder, pemilik bahkan bagian dari Tubuh Kristus!
Sebagai sama-sama Tubuh Kristus, seharusnyalah kita semua terpanggil untuk mengupayakan tercapainya sebuah tubuh yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik, bukannya malah lari ke tempat lain yang dianggap lebih sehat, lebih 'memberi sesuatu', bahkan lebih 'dekat ke sorga'! Cuma ya itu: bagaimana menumbuhkan rasa memiliki, menyadarkan umat akan keberadaan dirinya sebagai bagian dari Tubuh Kristus, ini yang sulit! Namun, tetap ada way out nya (ini bocoran edisi Busa berikut-berikutnya): rasa memiliki TIDAK dapat dibangun melalui musik yang bagus, khotbah yang menyihir, atau oleh seorang pendeta besar yang setengah dewa sekalipun! Kalau pun bisa dibangun melalui hal-hal itu, Itu bersifat short term! Begitu musiknya jadi kurang nggigit, khotbah gereja tetangga lebih ampuh dan memikat, maupun pendeta besar itu pergi atau meninggal, maka bangunan rasa memiliki itu akan rubuh pelan-pelan! Yang betul adalah: rasa memiliki dibangun secara permanen melalui:
1. Keteladanan berjenjang, dan
2. Edifikasi
Sementara terima dulu ya, nanti ada kesempatannya hal ini dibahas secara lebih mendalam. Jadi, visi dapat dibuat oleh siapa saja, nggak selalu oleh para rohaniawan yang seringkali malah lebih menikmati status aman ketimbang membuat terobosan-terobosan baru yang selalu berisiko gagal.
Alkitab sendiri mencatat betapa banyak 'orang awam' yang membuat terobosan-terobosan dalam kehidupan spiritualitas:
Apa itu ibadah yang sukses
Dari awal saya sudah cukup banyak memakai kata 'sukses' yang terkait dengan ibadah. Mungkin sudah ada yang merasa terganggu dengan istilah itu, dan menduga bahwa saya sebenar-benarnya adalah penganut teologia kemakmuran (sekalipun bilangnya 'nggak'). Sekarang sudah tiba saatnya bagi saya untuk menjelaskan makna 'sukses' itu. Bagaimana pun juga, pengertian sukses bagi masing-masing orang berbeda-beda. Sukses menurut saya belum tentu sukses menurut Anda. Si A mungkin bilang bahwa sukses related dengan materi, sedang si B berpendapat bahwa sukses adalah memiliki rasa cukup: cukup makan, cukup mobil, cukup rumah, cukup deposito, cukup saham... (Itu sih sama saja!). Apapun pendapat kita mengenai sukses, satu hal yang sama adalah: sukses musti ada batasannya, dimana batasan inilah yang menentukan 'makna sukses'.
Lalu, apakah batasan dan makna sukses bagi sebuah ibadah yang dikatakan 'sukses'? Menurut saya, batasan dari sebuah ibadah yang sukses adalah: ibadah yang memiliki visi dan usaha untuk merealisasikannya. Visi bolehlah segala macam, usaha bolehlah segala cara. Tetapi saat sebuah jemaat berani membuat sebuah visi dan merumuskan usaha-usaha untuk mencapainya di dalam peribadahannya (sebagai main activity gereja), dan bukan hanya sekedar menjalankan kegiatan rutin mingguan, itulah ibadah yang sukses! Saya ingin berbagi inspirasi akan ibadah yang sukses melalui CSS, karena: kotak tengah CSS adalah visi, sedang ke-4 kotak CSS disekitarnya adalah usaha. Ibadah yang memiliki visi adalah ibadah yang sudah 50% sukses, dan ibadah yang diusahakan untuk mencapai visi adalah ibadah yang 100% sukses, tidak peduli apakah visi itu tercapai atau tidak, yang penting sudah berusaha! Loh kok begitu? Kalau visi nggak tercapai artinya gagal dong! Di gereja tidak seperti itu, Saudara. Dalam perusahaan sekular bolehlah kita berpandangan seperti itu, namun di gereja berlaku rumusan: manusia menanam (visi) + manusia menyiram (usaha) + Allah memberi pertumbuhan (perkenanNya) = gereja yang sukses (baca: Kor...)
Masalahnya sekarang adalah: siapa yang paling berkompeten membuat visi ibadah, dan seperti apa?
Siapa yang membuat visi?
Masalah 'menetapkan visi' menjadi sebuah masalah besar dalam pembuatan visi, masalah 'menjual visi' merupakan masalah yang jauh lebih besar lagi, sedangkan masalah 'siapa yang seharusnya membuat visi' adalah masalah yang terbesar. Saya bisa membuat 3 buku yang tebal-tebal untuk membahas ketiga hal tersebut, namun dengan jawaban yang tetap 'nggantung'. Mengapa? Karena jawaban dari ketiga pertanyaan 'berat' itu adalah diri kita sendiri, yaitu: seberapa besar kita memiliki self belonging atau rasa memiliki terhadap gereja kita. Dan masalah 'rasa memiliki' ini jelaslah berhubungan dengan masalah 'hati' yang seringkali sulit untuk 'diubahkan' atau 'ditransformasikan', bahkan cenderung fleksibel tergantung waktu dan kondisi. Begitu cepatnya hati seseorang berubah dari 'strong engaged' menjadi 'extremely dis-engaged' karena masalah-masalah yang begitu simpel dan terkadang kekanak-kanakan, seperti karena terlewat disebut namanya dalam doa syafaat atau karena tidak disalami oleh pendeta. Betul?
Masalah 'rasa memiliki' ini jelaslah memerlukan pembahasan lebih lanjut di bagian lain, namun untuk sementara ini cukuplah kita memahami bahwa seorang yang memiliki 'rasa memiliki' akan sangat mudah untuk memikirkan hal-hal yang perlu ditingkatkan dalam pelayanan gereja (baca: merumuskan visi). Sebaliknya seorang yang tidak punya 'rasa memiliki' maka berkecenderungan berperilaku sebagai 'nasabah' ketimbang sebagai 'stakeholder'. Apakah itu? Pengertian gampangnya: nasabah adalah pembeli, sedangkan stakeholder adalah pemilik. Dari pengamatan saya, saat ini begitu banyak gereja yang mayoritas dihadiri oleh 'nasabah' ketimbang 'stakeholder', entah gereja yang dihadiri puluhan orang maupun yang dihadiri oleh puluhan ribu orang! Memang lebih enak menjadi 'nasabah' (pastilah ini menunjukkan 'rasa memiliki' yang rendah) ketimbang menjadi 'stakeholder' gereja, sehingga umat berkecenderungan menjadi pasif dan taste-seeker. Istilahnya 6D: datang, duduk, diem, dengar, duit (beri persembahan), datang lagi (kalau dapat sesuatu); dan ditambah 1P: pindah ke gereja lain, kalau keinginan dan harapan kita tidak terpenuhi (alias kalau nggak dapat sesuatu dari gereja tersebut). Menyedihkan sekali kalau bergereja kita itu nggak lebih dari 6D+1P itu! Anda bukan nasabah yang kulturnya 6D+1P itu! Anda adalah stakeholder, pemilik bahkan bagian dari Tubuh Kristus!
Sebagai sama-sama Tubuh Kristus, seharusnyalah kita semua terpanggil untuk mengupayakan tercapainya sebuah tubuh yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik, bukannya malah lari ke tempat lain yang dianggap lebih sehat, lebih 'memberi sesuatu', bahkan lebih 'dekat ke sorga'! Cuma ya itu: bagaimana menumbuhkan rasa memiliki, menyadarkan umat akan keberadaan dirinya sebagai bagian dari Tubuh Kristus, ini yang sulit! Namun, tetap ada way out nya (ini bocoran edisi Busa berikut-berikutnya): rasa memiliki TIDAK dapat dibangun melalui musik yang bagus, khotbah yang menyihir, atau oleh seorang pendeta besar yang setengah dewa sekalipun! Kalau pun bisa dibangun melalui hal-hal itu, Itu bersifat short term! Begitu musiknya jadi kurang nggigit, khotbah gereja tetangga lebih ampuh dan memikat, maupun pendeta besar itu pergi atau meninggal, maka bangunan rasa memiliki itu akan rubuh pelan-pelan! Yang betul adalah: rasa memiliki dibangun secara permanen melalui:
1. Keteladanan berjenjang, dan
2. Edifikasi
Sementara terima dulu ya, nanti ada kesempatannya hal ini dibahas secara lebih mendalam. Jadi, visi dapat dibuat oleh siapa saja, nggak selalu oleh para rohaniawan yang seringkali malah lebih menikmati status aman ketimbang membuat terobosan-terobosan baru yang selalu berisiko gagal.
Alkitab sendiri mencatat betapa banyak 'orang awam' yang membuat terobosan-terobosan dalam kehidupan spiritualitas:
- Tuhan Yesus sendiri bukanlah berasal dari golongan imam atau nabi, Dia dibesarkan oleh keluarga pengusaha kayu, yang dalam keberadaanNya sekaligus sebagai Anak Allah membuat revolusi paling dahsyat dalam cara umat manusia beriman
- Murid-murid Yesus juga sebagian besar berasal dari kalangan sekular, namun mereka mampu mendirikan sebuah organisasi spiritualitas yang akhirnya menjadi organisasi terbesar di dunia yang bernama gereja.
- Bapak gereja seperti Agustinus dan Yohanes Calvin juga bukanlah berasal dari kalangan rohaniawan, namun mereka mampu memberi warna kekristenan yang terus menjadi pegangan gereja masa kini.
- Bahkan cikal bakal GKI Jawa Barat pun bukanlah berasal dari penginjilan para rohaniawan Kristen, namun dari pertobatan seorang Ang Boeng Swi yang akhirnya membuahkan sebuah sinode wilayah yang besar dalam percaturan gereja-gereja di Indonesia.
- bertahan di gereja Anda sekalipun teman-teman Anda yang lain 'lari' ke tempat lain yang tampak luarnya lebih 'hijau', 'segar', dan 'basah'?
- memikirkan apa yang bisa Anda lakukan untuk memperbaiki kinerja gereja Anda, baik secara kualitas maupun kuantitas?
- membuat komitmen pribadi untuk melakukan sesuatu yang bisa Anda lakukan sendiri, dan bukannya mengharapkan orang lain yang melakukan?
- menahan mulut untuk menanyakan 'why', dan membuka mulut lebar-lebar untuk menanyakan 'how can I ...'
CSS: Pengantar tentang CSS
Keren ya namanya: Church Success Square, disingkat CSS.
Ini bukanlah topik tentang gereja sukses seperti yang dianut oleh para guru sukses ataupun teolog/pengkhotbah kemakmuran. Dijauhkanlah saya dari memegang teologi yang Tidak-Alkitabiah seperti itu!! (Mengapa saya 'hakimi' sebagai 'Tidak-Alkitabiah? Mudah-mudahan di Busa yang lain saya akan membahasnya, nggak sekarang)
CSS adalah sebuah konsep bergereja yang terutama ditujukan untuk meng-streamline peribadahan agar dapat lebih 'sukses' dalam pelaksanaannya.
Supaya dapat lebih jelas, Saya ingin menjelaskan 2 background munculnya konsep CSS ini:
Pertama: Saat Busa ini ditulis, saya sedang dipercaya Tuhan untuk menjabat sebagai penatua dan Ketua Bidang Kebaktian di sebuah GKI di Jakarta. Sebagai Ketua Bidang Kebaktian, saya merasa prihatin dengan kondisi kebaktian di gereja saya yang terus mengalami kemerosotan jumlah pengunjung ibadah dalam 10 tahun terakhir. Dulu, rata-rata pengunjung kebaktian adalah 800 orang, sekarang tinggal separuhnya... Berbagai cara sudah diupayakan untuk mem-blok penurunan itu dan membalikkan tren-nya, mulai dari memanggil konsultan yaitu pendeta dari gereja seazas yang kami anggap lebih maju, mendatangkan pendeta-pendeta dari luar GKI yang konon khotbahnya lebih menarik dan berisi (ternyata nggak juga sih), menciptakan suasana ibadah yang lebih inspiratif melalui musik, ushering, maupun multimedia yang makin berkualitas... Nggak berhasil juga! Sehingga akhirnya Tuhan memberi petunjuk kepada saya untuk menggarap 4 sektor peribadatan yang saya beri label CSS ini. Apakah CSS telah terbukti menjadi 'obat manjur' bagi 'penyakit' gereja saya, yang mungkin dapat menyembuhkan 'penyakit' gereja Anda juga? Jawabnya: mari bersama-sama kita buktikan, karena memang belum pernah dibuktikan kesaktiannya! Buka rahasia saja, saat saya menulis pengantar CSS ini, saya baru sebulan menemukan, memikirkan, dan memformulasikan konsep ini. Tapi, saya punya keyakinan bahwa CSS ini merupakan sebuah jawaban, lebih bagus ketimbang hanya sekedar mengeluh, bertanya, bahkan menyerah atau apatis.
Kedua Sejak peluncuran buku saya yang pertama mengenai 'Tiga Dimensi Keesaan dalam Pembangunan Jemaat' yang mengerucut pada konsep ACHIEVE (Active - Contemplative Worship, Healing - Inspiring Ministry, Ecclesial Reforming, Value-Added Life, dan Encounter with God) ), muncul sebuah pertanyaan besar: bagaimana cara menerapkannya? Ada sebuah missing link antara teori itu dengan daya aplikatifnya yang secara mudah dan masuk akal dapat diterapkan. Selain itu memang diperlukan adanya sebuah program pendahuluan untuk menciptakan sebuah landasan awal bagi bangunan Pembangunan Jemaat (PJ) yang dicita-citakan. Bagaimanapun juga, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum PJ dapat dipahami sebagai sebuah 'kebutuhan bersama'. Istilahnya: UPSA (untungnya buat saya apa) atau UPKA (untungnya buat kita apa). PJ sebagai sebuah teori yang muncul di lingkungan sosiolog sebagai wujud keprihatinan akan kemerosotan gereja di Barat, memang belum mampu mendongkrak kehidupan bergereja yang lebih bergairah di sana. Hal yang sama jangan sampai terjadi dengan wacana PJ di gereja-gereja Indonesia: sekedar menjadi barang antik, alias pajangan, yang nggak terlalu dibutuhkan, atau - lebih parahnya - hanya sekedar pilihan mata kuliah di seminari untuk sekedar menambah poin kelulusan bagi seorang mahasiswa teologi! Saya menyusun CSS bukan untuk menjadi sebuah barang antik, namun untuk menjadi sebuah pembuka jalan bagi PJ yang penting dan perlu bagi kehidupan bergereja yang sehat dan berguna (dalam bahasa standarnya: vital dan menarik).
Pertanyaannya: apakah CSS sebagai sebuah konsep peribadahan memang berkapasitas dan berkompeten sebagai pembuka jalan - bahkan penyusun landasan - bagi PJ yang cakupannya luas sekali? Di gereja saya, bahkan urusan ibadah dan PJ diurusi oleh dua bidang pelayanan yang berbeda. Jawabnya: bisa dan memang PJ harus dimulai dari peribadahan! Mengapa? Karena jemaat yang ber-PJ adalah jemaat yang (tentunya) beribadah, betul? Bagaimanapun juga, alasan pertama kita datang ke gereja adalah karena ingin beribadah. Dari ibadah inilah jemaat dapat diarahkan untuk naik level ke tingkat spiritualitas berikutnya, yaitu PJ, dimana didalamnya terkandung unsur: hidup ibadah yang holistik (tidak hanya ibadah liturgis belaka), pelayanan kepada sesama, rasa memiliki untuk turut mengembangkan gereja, hingga akhirnya secara personal dan bersama menjadi saksi melalui hidup yang bernilai tambah dan yang 'mengalami Tuhan'. Itulah sebabnya CSS memang related dengan PJ, karena melalui peribadahan yang 'sukses' maka PJ yang membuat gereja menjadi 'sehat' dan 'berguna' adalah sebuah keniscayaan. Semoga terwujud yang demikian!
Pertama: Saat Busa ini ditulis, saya sedang dipercaya Tuhan untuk menjabat sebagai penatua dan Ketua Bidang Kebaktian di sebuah GKI di Jakarta. Sebagai Ketua Bidang Kebaktian, saya merasa prihatin dengan kondisi kebaktian di gereja saya yang terus mengalami kemerosotan jumlah pengunjung ibadah dalam 10 tahun terakhir. Dulu, rata-rata pengunjung kebaktian adalah 800 orang, sekarang tinggal separuhnya... Berbagai cara sudah diupayakan untuk mem-blok penurunan itu dan membalikkan tren-nya, mulai dari memanggil konsultan yaitu pendeta dari gereja seazas yang kami anggap lebih maju, mendatangkan pendeta-pendeta dari luar GKI yang konon khotbahnya lebih menarik dan berisi (ternyata nggak juga sih), menciptakan suasana ibadah yang lebih inspiratif melalui musik, ushering, maupun multimedia yang makin berkualitas... Nggak berhasil juga! Sehingga akhirnya Tuhan memberi petunjuk kepada saya untuk menggarap 4 sektor peribadatan yang saya beri label CSS ini. Apakah CSS telah terbukti menjadi 'obat manjur' bagi 'penyakit' gereja saya, yang mungkin dapat menyembuhkan 'penyakit' gereja Anda juga? Jawabnya: mari bersama-sama kita buktikan, karena memang belum pernah dibuktikan kesaktiannya! Buka rahasia saja, saat saya menulis pengantar CSS ini, saya baru sebulan menemukan, memikirkan, dan memformulasikan konsep ini. Tapi, saya punya keyakinan bahwa CSS ini merupakan sebuah jawaban, lebih bagus ketimbang hanya sekedar mengeluh, bertanya, bahkan menyerah atau apatis.
Kedua Sejak peluncuran buku saya yang pertama mengenai 'Tiga Dimensi Keesaan dalam Pembangunan Jemaat' yang mengerucut pada konsep ACHIEVE (Active - Contemplative Worship, Healing - Inspiring Ministry, Ecclesial Reforming, Value-Added Life, dan Encounter with God) ), muncul sebuah pertanyaan besar: bagaimana cara menerapkannya? Ada sebuah missing link antara teori itu dengan daya aplikatifnya yang secara mudah dan masuk akal dapat diterapkan. Selain itu memang diperlukan adanya sebuah program pendahuluan untuk menciptakan sebuah landasan awal bagi bangunan Pembangunan Jemaat (PJ) yang dicita-citakan. Bagaimanapun juga, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum PJ dapat dipahami sebagai sebuah 'kebutuhan bersama'. Istilahnya: UPSA (untungnya buat saya apa) atau UPKA (untungnya buat kita apa). PJ sebagai sebuah teori yang muncul di lingkungan sosiolog sebagai wujud keprihatinan akan kemerosotan gereja di Barat, memang belum mampu mendongkrak kehidupan bergereja yang lebih bergairah di sana. Hal yang sama jangan sampai terjadi dengan wacana PJ di gereja-gereja Indonesia: sekedar menjadi barang antik, alias pajangan, yang nggak terlalu dibutuhkan, atau - lebih parahnya - hanya sekedar pilihan mata kuliah di seminari untuk sekedar menambah poin kelulusan bagi seorang mahasiswa teologi! Saya menyusun CSS bukan untuk menjadi sebuah barang antik, namun untuk menjadi sebuah pembuka jalan bagi PJ yang penting dan perlu bagi kehidupan bergereja yang sehat dan berguna (dalam bahasa standarnya: vital dan menarik).
Pertanyaannya: apakah CSS sebagai sebuah konsep peribadahan memang berkapasitas dan berkompeten sebagai pembuka jalan - bahkan penyusun landasan - bagi PJ yang cakupannya luas sekali? Di gereja saya, bahkan urusan ibadah dan PJ diurusi oleh dua bidang pelayanan yang berbeda. Jawabnya: bisa dan memang PJ harus dimulai dari peribadahan! Mengapa? Karena jemaat yang ber-PJ adalah jemaat yang (tentunya) beribadah, betul? Bagaimanapun juga, alasan pertama kita datang ke gereja adalah karena ingin beribadah. Dari ibadah inilah jemaat dapat diarahkan untuk naik level ke tingkat spiritualitas berikutnya, yaitu PJ, dimana didalamnya terkandung unsur: hidup ibadah yang holistik (tidak hanya ibadah liturgis belaka), pelayanan kepada sesama, rasa memiliki untuk turut mengembangkan gereja, hingga akhirnya secara personal dan bersama menjadi saksi melalui hidup yang bernilai tambah dan yang 'mengalami Tuhan'. Itulah sebabnya CSS memang related dengan PJ, karena melalui peribadahan yang 'sukses' maka PJ yang membuat gereja menjadi 'sehat' dan 'berguna' adalah sebuah keniscayaan. Semoga terwujud yang demikian!
CSS: Pengantar tentang BUSA
Konon sabun yang busanya banyak nggak selalu berkorelasi positif dengan daya bersihnya. Memang demikian halnya, karena busa hanyalah alat bantu alias pelicin agar proses menyuci dapat lebih mudah dilakukan. Daya bersih mutlak ditentukan oleh zat aktif pembersih yang terkandung di dalam sabun tersebut.
Buku ini adalah BUSA, yaitu Buku Saku.
Mengapa saya membuat Busa?
Ada 3 alasan:
Pertama: karena buku ini memang hanya menjadi alat bantu bagi kita semua dalam memahami secara lebih mudah beberapa aspek bergereja. 'Zat aktif' nya yang menjadi core keberfungsian gereja dapat Anda temukan di Alkitab maupun buku-buku paten yang membahas masalah bergereja.
Kedua: karena sudah seharusnyalah konsep-konsep besar dikemas dalam bentuk yang sederhana, dan bukan sebaliknya: konsep kosong dikemas secara bombastis. Saya banyak belajar tentang 'mengemas secara sederhana' agar yang besar menjadi enteng untuk di 'kunyah'
Ketiga: ini betulnya klise, yaitu masalah keterbatasan waktu dan dana untuk menulis. Sejak saya meluncurkan buku saya yang pertama di tahun 2008 yang lalu, saya ingin sekali menerbitkan buku lagi. Tapi... Kesibukan membuat pemikiran2 tak tersalurkan dan lenyap begitu saja... Sayang sekali. Karena itulah saya memutuskan untuk membuat busa, yang simpel, ringkas, dan 2M: murah dan mudah pembuatannya. Nggak perlu skill khusus, waktu khusus, atau bahkan marketing khusus untuk mewujudkannya. Bahkan saya tidak terlalu dipusingkan dengan masalah pajak, royalti, stok buku yang menumpuk, atau bahkan keinginan untuk melakukan cetak ulang. Bebas saja, bahkan saya bisa membagikannya secara gratis apa yang sudah Tuhan berikan secara gratis juga di dalam pikiran saya, sehingga setiap busa pasti ada edisi on-line nya, yang bisa diakses secara gratis dalam blog pribadi saya: ...
Supaya jangan jadi makin berbusa-busa, saya persilakan Anda untuk lanjut ke bagian selanjutnya...
Jakarta, 29 Mei 2012
Tepat 2 bulan sejak kembalinya ibunda tercinta ke Rumah Sejati di Sorga
Minggu, 29 April 2012
His Singing Angel who makes people sing
Bagian
ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah
menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang
mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke
Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam
kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan.
Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan
mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami:
militiachristi2010@gmail.com
REBECCA KUSUMA
(IE AY HWA)
Lahir: Blabak, 3 September 1942
Wafat: Cikarang, 29 Maret 2012
Pelayanan:
Dia hanyalah seorang wanita yang sederhana
Lahir di sebuah desa kecil yang sederhana
Dibesarkan disebuah keluarga yang sederhana
Mengenyam pendidikan disekolah rakyat yang sederhana, meskipun sempat merasakan bangku kuliah yang tidak pernah ia selesaikan
Menikah dengan seorang pendeta yang sederhana (baca: memiliki gaji yang sangat kecil)
Memulai pelayanan sebagai istri pendeta di sebuah kota kecil yang sederhana
Memiliki 2 anak yang dibesarkan dalam kesederhanaan (sehingga kedua anaknya itu pun menjadi terbiasa untuk hidup sederhana hingga kini)
Tidak banyak menuntut, segenap hati dan hidupnya selalu ditujukan untuk kepentingan orang lain
Sederhana...
Tidak pernah menuntut hadiah berlian atau liburan ke luar negeri
Bahkan tempat meninggalnya pun di sebuah rumah sakit yang 'sederhana' (karena sebetulnya memang hanya direncanakan untuk tempat perobatan sementara untuk perbaikan keadaan umum)
Bahkan keinginannya pun sederhana: tidak mau merepotkan orang lain dan tidak ingin menghabiskan banyak biaya apabila mengalami sakit...
Hingga saat terakhirnya, ia masih memiliki pikiran yang sejelas fajar, semangat untuk sembuh, bahkan bibir yang sangat jarang mengeluh. "Mama siap dan pasrah" begitu ungkapnya beberapa minggu sebelum berpulangnya.
Namun...
Saat ia melatih anggota paduannya bernyanyi
Saat ia tampil di panggung gereja, dan
Saat ia menggerakan anggota paduan suaranya untuk menyanyi
Dia membuat banyak orang bernyanyi dengan cara dan kualitas yang tidak sederhana
Dan saat kami mengingat memori indah bersamanya, dan berduka bersama ratusan sahabat yang menghantarnya pulang ke rumah Bapa di sorga
Kami menyadari bahwa mama bukanlah wanita yang biasa dan sederhana
Dia adalah Malaikat PenyanyiNya yang membuat orang bernyanyi!
Memori ini memang begitu sulit untuk dilupakan, sekalipun siklus hidup manusia memang seharusnyalah demikian...
Thanks Mom, I love you Mom
Kau tetap dihatiku dan menjadi inspirasiku untuk tetap setia.
TETAP SETIA
SELIDIKI AKU, LIHAT HATIKU
APAKAH ’KU SUNGGUH MENGASIHI-MU YESUS
KAU YANG MAHA TAHU DAN MENILAI HIDUPKU
TAK ADA YANG TERSEMBUNYI BAGI-MU
T’LAH KU LIHAT KEBAIKAN-MU
YANG TAK PERNAH HABIS DI HIDUPKU
’KU BERJUANG SAMPAI AKHIRNYA
KAU DAPATI AKU TETAP SETIA
REBECCA KUSUMA
(IE AY HWA)
Lahir: Blabak, 3 September 1942
Wafat: Cikarang, 29 Maret 2012
Pelayanan:
- Anggota PS Eliatha GKI Karangsaru Semarang
- Guru Sekolah Minggu, Organis, dan Dirigen PS GKI Banjarnegara
- Dirigen PS Tabitha GKI Pengampon Cirebon
- Dirigen PS Debora GKI Pakis Raya Jakarta
- Dirigen PS GKI Pos PI Kopo Permai Bandung
- Dirigen PS Gita Rohani GKI Indramayu
- Dirigen PS Hana dan VG Serafim GKI Pengampon Cirebon
- Pelatih PS GKI Pamitran Cirebon
Dia hanyalah seorang wanita yang sederhana
Lahir di sebuah desa kecil yang sederhana
Dibesarkan disebuah keluarga yang sederhana
Mengenyam pendidikan disekolah rakyat yang sederhana, meskipun sempat merasakan bangku kuliah yang tidak pernah ia selesaikan
Menikah dengan seorang pendeta yang sederhana (baca: memiliki gaji yang sangat kecil)
Memulai pelayanan sebagai istri pendeta di sebuah kota kecil yang sederhana
Memiliki 2 anak yang dibesarkan dalam kesederhanaan (sehingga kedua anaknya itu pun menjadi terbiasa untuk hidup sederhana hingga kini)
Tidak banyak menuntut, segenap hati dan hidupnya selalu ditujukan untuk kepentingan orang lain
Sederhana...
Tidak pernah menuntut hadiah berlian atau liburan ke luar negeri
Bahkan tempat meninggalnya pun di sebuah rumah sakit yang 'sederhana' (karena sebetulnya memang hanya direncanakan untuk tempat perobatan sementara untuk perbaikan keadaan umum)
Bahkan keinginannya pun sederhana: tidak mau merepotkan orang lain dan tidak ingin menghabiskan banyak biaya apabila mengalami sakit...
Hingga saat terakhirnya, ia masih memiliki pikiran yang sejelas fajar, semangat untuk sembuh, bahkan bibir yang sangat jarang mengeluh. "Mama siap dan pasrah" begitu ungkapnya beberapa minggu sebelum berpulangnya.
Namun...
Saat ia melatih anggota paduannya bernyanyi
Saat ia tampil di panggung gereja, dan
Saat ia menggerakan anggota paduan suaranya untuk menyanyi
Dia membuat banyak orang bernyanyi dengan cara dan kualitas yang tidak sederhana
Dan saat kami mengingat memori indah bersamanya, dan berduka bersama ratusan sahabat yang menghantarnya pulang ke rumah Bapa di sorga
Kami menyadari bahwa mama bukanlah wanita yang biasa dan sederhana
Dia adalah Malaikat PenyanyiNya yang membuat orang bernyanyi!
Memori ini memang begitu sulit untuk dilupakan, sekalipun siklus hidup manusia memang seharusnyalah demikian...
Thanks Mom, I love you Mom
Kau tetap dihatiku dan menjadi inspirasiku untuk tetap setia.
TETAP SETIA
SELIDIKI AKU, LIHAT HATIKU
APAKAH ’KU SUNGGUH MENGASIHI-MU YESUS
KAU YANG MAHA TAHU DAN MENILAI HIDUPKU
TAK ADA YANG TERSEMBUNYI BAGI-MU
T’LAH KU LIHAT KEBAIKAN-MU
YANG TAK PERNAH HABIS DI HIDUPKU
’KU BERJUANG SAMPAI AKHIRNYA
KAU DAPATI AKU TETAP SETIA
Selasa, 28 Februari 2012
Ramalan
Di tengah-tengah situasi dunia yang makin tidak pasti ini, banyak orang yang lari kepada peramal-peramal untuk menerawang masa depan mereka, mungkin agar mereka dapat lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi masa depan tersebut (dan misteri masa depan selalu menjadi daya tarik keingin-tahuan manusia, ini manusiawi sekali!). Nggak ada yang salah dengan 'mempersiapkan diri', bahkan yang namanya 'planning' adalah step pertama dari apa yang namanya proses managemen. Yang menjadi masalah adalah: mencari peramal.
Jangan mau tertipu Sahabat, karena sebetulnya yang kita perlukan BUKANLAH 'TAHU' (it's not a kind of food loh), namun PERCAYA bahwa TUHAN MAMPU DAN PASTI MEMELIHARA kehidupan kita!
Jangan pedulikan segala macam ramalan karena semuanya itu sebetulnya tidak ada kuasanya dan tidak mungkin berlaku dalam kehidupan manusia (kecuali kalau kita telah mengalami apa yang namanya TER-INTERNALISASI, ini baru bahaya karena kita begitu percayanya pada ramalan sehingga akhirnya segala pemikiran dan gerak kita pun terarah ke sana... alhasil.... yang pasti terjadi!!!)
Percayalah, bahwa yang akan berlaku adalah: kebaikan-kebaikan Tuhan untuk hidup kita, Anda dan saya.
Masalahnya: seberapa besar pikiran dan gerak kita terarah kepada kebaikan-kebaikan Tuhan? Bukannya kebaikan-kebaikan Tuhan menjadi tergantung pada 'pikiran dan gerak manusia', no! karena Tuhan tidak pernah tergantung pada manusia.
Namun, pikiran dan gerak itu akan menentukan perspektif dan tanggapan kita dalam me-respons segala kebaikan-kebaikan Tuhan itu. Jangan sampai kita gagal menyadari, memahami, bahkan merasakan jamahan kebaikan Tuhan dalam kehidupan kita!
Selamat menikmati kebaikan Tuhan, dan...
Salam berdaya!
Jangan mau tertipu Sahabat, karena sebetulnya yang kita perlukan BUKANLAH 'TAHU' (it's not a kind of food loh), namun PERCAYA bahwa TUHAN MAMPU DAN PASTI MEMELIHARA kehidupan kita!
Jangan pedulikan segala macam ramalan karena semuanya itu sebetulnya tidak ada kuasanya dan tidak mungkin berlaku dalam kehidupan manusia (kecuali kalau kita telah mengalami apa yang namanya TER-INTERNALISASI, ini baru bahaya karena kita begitu percayanya pada ramalan sehingga akhirnya segala pemikiran dan gerak kita pun terarah ke sana... alhasil.... yang pasti terjadi!!!)
Percayalah, bahwa yang akan berlaku adalah: kebaikan-kebaikan Tuhan untuk hidup kita, Anda dan saya.
Masalahnya: seberapa besar pikiran dan gerak kita terarah kepada kebaikan-kebaikan Tuhan? Bukannya kebaikan-kebaikan Tuhan menjadi tergantung pada 'pikiran dan gerak manusia', no! karena Tuhan tidak pernah tergantung pada manusia.
Namun, pikiran dan gerak itu akan menentukan perspektif dan tanggapan kita dalam me-respons segala kebaikan-kebaikan Tuhan itu. Jangan sampai kita gagal menyadari, memahami, bahkan merasakan jamahan kebaikan Tuhan dalam kehidupan kita!
Selamat menikmati kebaikan Tuhan, dan...
Salam berdaya!
Langganan:
Postingan (Atom)