Kamis, 01 November 2012

CSS: Khotbah 2

Context

Kalau ajaran/teologi lokal adalah isi dari khotbah, maka context adalah kemasannya. Pengertian simpelnya: bagaimana ajaran yang rumit itu dibahasakan sehingga mudah dimengerti dan inspiratif untuk diikuti oleh jemaat.
Sebuah content yang baik akan terlihat buruk oleh context yang buruk, sebaliknya sebuah content yang buruk akan terlihat begitu meyakinkan oleh context yang baik (sekalipun ngaco isinya).

Gereja-gereja muda dan modern ternyata lebih berhasil dalam menciptakan sebuah context khotbah yang baik. Sebaliknya gereja-gereja mainstream - yang biasanya sudah tua dan tradisional - sering gagap dalam menciptakan context khotbah yang lebih up to date, seraya berharap bahwa jemaat akan lebih mencari suara Tuhan ketimbang di-entertain (ini hanya alasan saja untuk menutupi kelemahan mereka yang memang lemah mengemas khotbah yang lebih baik!)
Seorang marketer sangatlah memahami bahwa kemasan produk merupakan salah satu penentu laku tidaknya produk yang dijualnya. Bahkan suatu kemasan dapat menjadi sebuah leverage (pengungkit) untuk mendongkrak harga jual, gengsi, bahkan rasa/feel. Sama-sama tas, kulit namun tas bermerek akan berharga lebih mahal, lebih membanggakan saat dipakai, bahkan terlihat lebih serasi dengan penampilan, ketimbang tas sejenis namun tidak ada merek.
Kita tidak sedang ingin me-marketing-kan kotbah disini, namun pemahaman marketing ini dipaparkan untuk sekedar memberi gambaran mengenai betapa pentingnya context kotbah itu!
Saya disini hanya akan memberi beberapa masukan untuk menciptakan context kotbah agar dapat lebih dibahasakan secara lebih jelas, menarik, dan inspiratif. Saya beri singkatan supaya gampang diingat, yaitu STAR (supaya kotbah di gereja Anda bisa benar-benar menjadi bintang)

Siapkan skenario
Kotbah mustinya ada sistematikanya, paling tidak terdiri dari:
1. eksposisi/ulasan atas Firman Tuhan yang dibaca dan
2. bagaimana implikasinya dalam hidup kekinian dan keseharian umat.
Poin ke-1 adalah poin yang diajarkan di seminari-seminari tentang bagaimana kita memahami, memaknai, dan mengomunikasikannya kepada umat, tersedia banyak kelas homiletika yang dapat membahas tuntas hal tersebut, paling tidak dalam 2 - 3 sks, jadi saya tidak akan membahas disini.
Namun poin ke-2, nah ini yang sering luput dari perhatian seminari. Akibatnya jebolan seminari seringkali menjadi seorang 'alien di atas mimbar' yang berbahasa 'dewa' kepada umatnya, dengan menyampaikan kotbah yang terlalu dogmatis dan terlalu 'tinggi', tidak bisa mendarat dalam realitas keseharian umat. Kegagalan mendaratkan/merelevankan Firman Tuhan ini seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama, dan bukannya memaklumi bahwa sepantasnyalah 'gelap dan terang tidak dapat bersatu' alias wacana teologis di atas mimbar akan tertinggal disana saat jemaat kembali ke dunia nyata! Herannya, pengkhotbah dari mereka yang berlatar belakang sekular tampaknya lebih mampu mendaratkan/merelevankan Firman Tuhan ini! Mungkin karena mereka sudah memiliki pengalaman berada di dunia nyata (misal bekerja di kantor/perusahaan) sehingga nyambung-nya bisa lebih kena ketimbang mereka yang belajar di bangku-bangku seminari.
Itulah sebabnya jebolan seminari janganlah melulu membaca jurnal teologi. Menonton TV, membaca koran/buku/majalah Politik-Ekonomi-Bisnis, bahkan mengikuti perkumpulan non-gerejawi seharusnya tetap perlu dilakukan untuk memperluas wawasan maupun network.
Tapi ijinkan saya menyarankan satu skenario  untuk meningkatkan kualitas context kotbah ini, terutama untuk poin ke-2 ini, yang saya sebut saja sebagai Kotbah Tiga Babak:
  • Babak 1: Paparkan kondisi real yang related dengan ulasan Firman Tuhan dan jelaskan bahwa hal itu sangat relevan dan perlu menjadi perhatian kita bersama
  • Babak 2: Tunjukan 'si Tantangan', yaitu dia/sesuatu/keadaan yang bisa menyebabkan 'kondisi yang relevan' itu bisa mengalami gangguan atau hambatan, dan bagaimana 'tantangan' ini menjadi sebuah 'keprihatinan' yang perlu diatasi oleh kita
  • Babak 3: Beri Solusi untuk mengatasi si Tantangan, yaitu Tuhan Yesus melalui kebenaran-kebenaran alkitabiah yang membuat kita mampu menjalani kehidupan dalam 'kondisi yang relevan' itu.
Saya pikir, umat akan mendapat alasan untuk mendengarkan sebuah kotbah saat kotbah itu dengan jelas menunjukkan relevansinya dengan kehidupan umat. Kotbah yang tidak (dibuat) relevan... saya yakin tidak akan benar-benar menjadi kebutuhan umat, sehingga aktivitas Ibadah Minggu hanya akan menjadi sebuah kegiatan seremonial dan kebiasaan semata!

TAyangan sederhana
Saat ini gereja banyak yang sudah diperlengkapi dengan perangkat multimedia yang canggih seperti LCD projector atau monitor layar lebar, jelas bukan sebuah investasi yang murah demi lebih lancarnya pelaksanaan ibadah. Apabila gereja Anda sudah memiliki perangkat seperti itu: syukurilah dan gunakanlah untuk mendukung penyampaian kotbah! Namun apabila gereja Anda belum memilikinya: jangan sedih dan tetap pergunakan apa yang ada!
Intinya adalah: kotbah perlu didukung oleh sebuah 'tayangan sederhana' yang 'cukup pas' untuk mendukung penyampaian kotbah, dan tidak menjadi 'pengalih perhatian'.
Tayangan yang rumit dan kompleks memang terlihat berkualitas dan memukau. Namun hati-hati, karena umat bisa akan lebih memperhatikan tayangannya ketimbang kotbahnya!
Siapkan saja satu kata sederhana atau gambar sederhana untuk memudahkan umat memahami dan mengikuti kotbah Anda.
Saya beri contoh yang sangat sederhana, misalnya saat Anda sedang menguraikan tentang Hukum Kasih. Tidak perlu Anda memenuhi layar monitor dengan kutipan ayat dan gambar, cukup Anda tayangkan gambar satu panah vertikal di tayangan pertama (kasih kepada Tuhan) dan satu panah horizontal di tayangan kedua (kasih kepada sesama). Apabila gereja Anda belum memiliki proyektor atau layar monitor, guntingan karton atau styrofoam pun sudah cukup untuk mendukung kotbah Anda! Buat tayangan sesimpel mungkin, sehingga tayangan tetaplah berfungsi sebagai 'alat bantu' dan bukannya 'fokus utama'.

Ringkaskan
Di akhir kotbah, berilah sebuah ringkasan dalam 'satu buah kalimat yang habis dibaca dalam satu tarikan nafas'. Jangan bebani jemaat dengan sebuah kesimpulan panjang, cukuplah sesuatu yang singkat dan menjadi esensi dari kotbah itu sendiri.
Banyak gereja yang mengakhiri kotbah dengan doa, saat hening, maupun persembahan pujian. Namun sebenarnya umat lebih membutuhkan sebuah 'buntalan' yang dapat dibawa pulang, yaitu inti sari kotbah itu sendiri.
Kenapa musti 'habis dibaca dalam satu tarikan nafas'? Ini jangan dimaknai secara harafiah, karena maksud sebenarnya adalah: harus sesingkat-singkatnya sehingga mudah untuk diingat dan dibawa pulang. Sebuah ringkasan kotbah yang terlalu panjang juga berkemungkinan besar tidak akan dibaca oleh umat. Jadi, buatlah kesimpulan yang sesingkat mungkin, bisa ditayangkan di layar multimedia, maupun sekedar dikatakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar