Minggu, 09 Desember 2012

Scientisme vs Agama

Seorang berilmu membaca banyak buku dan ingin terus belajar
Seorang religius hanya membaca satu Buku (yakni kitab suci) dan mengklaim telah memahami segala sesuatu.

Pernyataan yang menyindir orang religius itu saya baca di dalam sebuah komentar di salah satu akun FB seorang mantan pendeta Kristen yang agaknya telah menjadi penganut Scientisme.

Apakah itu Scientisme?
Scientisme adalah 'anak kandung' humanisme, yaitu filsafat yang mengagungkan potensi manusia yang nyaris tanpa batas, dengan penekanan pada ke-aplikasi-an metode ilmiah (logika, pengujian, pengukuran, pembuktian) pada berbagai (bahkan semua) hal, termasuk agama (lihat definisi lain di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Scientism).

Dalam persepektif scientisme, segala hal yang tidak logis, tidak teruji, tidak dapat diukur, dan yang tidak dapat dibuktikan adalah: omong kosong, delusi, kebodohan (apabila tetap dipercayai)... Dapat dibayangkan, bagaimana seorang penganut scientisme memandang Alkitab yang penuh dengan hal-hal yang tidak logis dan yang tidak/susah dibuktikan, seperti: penciptaan alam semesta hanya dalam tempo 7 hari, tanah yang ditiup lalu menjadi manusia yang hidup, ular yang dapat berbicara, manusia yang dapat berjalan di atas air, kapak besi yang dapat terapung di air, dll...dll...

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan ke-ilmiah-an, bahkan kita pun tahu ada banyak ilmuwan yang masih menjadi penganut agama Kristen (maupun agama lain) yang saleh. Sekolah-sekolah Kristen pun tidak ragu untuk mengajarkan Sains di dalam kurikulumnya, bahkan yang namanya Sekolah BPK Penabur itu merupakan langganan juara Sains tingkat nasional bahkan internasional.

Menjadi problem kalau ke-ilmiah-an manusia yang hebat itu dianggap sebagai SATU-SATUNYA pola atau cara berpikir. Tak terhindarkan mereka akan memandang agama sebagai sumber pembodohan manusia bahkan racun/candu masyarakat yang menimbulkan delusi massal. Mereka 'menuduh' agama sebagai sebuah 'cara gampang' (alias cara nge-les) untuk menjelaskan  sesuatu yang 'belum terjelaskan' oleh pemikiran manusia, membuat manusia menjadi malas berpikir, malas belajar, dan akhirnya benar-benar membuat manusia menjadi mahluk bodoh yang terus diperdaya oleh dogmatisme para rohaniawan.

Hal ini menjadi tantangan yang sungguh sangat real dan relevan bagi gereja masa kini, karena memang perkembangan peradaban manusia saat ini sedang berada di puncak-puncaknya,  seolah-olah segala hal mampu dijawab dan diatasi oleh otak manusia. Konsep keTuhanan perlahan-lahan luntur, dan aktivisme keagamaan bisa menjadi sesuatu yang irrelevan dengan perkembangan jaman.

Para teolog sebetulnya telah berusaha untuk memperkecil gap antara sains dan agama, dengan membuat berbagai pendekatan teologi, seperti:

1. Pendekatan metode kritis, baik dengan melakukan penelitian teks, penelitian sejarah, dan sebagainya (yang ini jelas ilmiah), bahkan sampai melakukan pemilahan/pemisahan mitos-mitos (misalnya demitologisasi ala Bultmann), yaitu dengan  membuang bagian-bagian yang dianggap 'mitos' dan hanya mengambil inti pesan keagamaan (kerygma) di dalamnya. Pendekatan ini mungkin berhasil memberi kesan 'pintar dan ilmiah' pada beberapa aspek teologi Kristen. Namun di sisi lain, pendekatan ini membuat para teolog pintar itu bak sedang mengupas bawang, alias get nothing, tidak mendapat nilai tambah apapun pada pertumbuhan spiritualitas, bahkan membuat kekristenan menjadi sangat relatif, sangat serupa dengan dunia...makin abu-abu dan cenderung permisif dengan 'gelap'. 

2. Pendekatan penafsiran alegoris yang memberi makna tertentu pada berbagai hal yang disebut 'mitos', misalnya dalam 2 Raja-Raja 6:5-7, yang bisa ditafsirkan sbb:
- mata kapak yang terlepas dari tangkainya dan tenggelam, dimaknai sebagai: manusia yang terpisah dari Tuhan dan  terbenam di dalam dosa
- batang kayu yang dilemparkan, dimaknai sebagai: Tuhan Yesus yang bersedia masuk ke dalam dunia yang berdosa untuk mengangkat manusia dari dosa, dan
- kapak yang timbul/terapung, dimaknai sebagai: manusia yang telah mengalami pembaharuan hidup dan menang atas kuasa dosa
Penafsiran alegoris memang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai hal secara lebih segar dan tampak relevan. Namun di sisi lain pendekatan ini dapat memunculkan kekacauan hermeunetika, membuat cara menafsir yang 'semau-gue' yang menimbulkan kegagalan kita dalam memahami Firman Tuhan yang sebenarnya.

3. Pendekatan literal yang menerima teks Alkitab secara apa adanya dengan penekanan pada doktrin 'ke-tanpa-salah-an Alkitab', sebuah posisi ekstrem kanan yang secara frontal berhadapan dengan scientisme maupun teologi modern, dan sering di-cap fundamental dan radikal, bahkan serupa dengan dogmatisme abad pertengahan. Namun di banyak tempat, pendekatan literal ini justru menguat dan diminati karena 'memberikan kepastian keberimanan yang kokoh' di tengah situasi jaman yang tidak menentu saat ini.

Lantas bagaimana sikap kita sebagai warga jemaat GKI?

Biasanya GKI mengambil jalan tengah yang menjauh dari kegaduhan yang tidak perlu dan kontra produktif. 'Gitu aja kok repot', begitu istilah populer Gus Dur yang sering dengan tepat menggambarkan diri kita. Iyalah, ngapain juga repot, toh masalah beginian tidak akan merubah jalan keselamatan kan? Sekali selamat, tetap selamat, begitulah keyakinan iman GKI. Tapi tentu kita harus berkata dan bersikap sesuatu yang dapat memperlengkapi diri kita saat kita membentur atau bersinggungan dengan scientisme ini.

Pertama: mencampuradukkan sains dan agama jelas merupakan sebuah kesalahan fatal dan sekaligus menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir. Sains bukan agama, agama bukan sains. Di dalam agama memang ada bau-bau sains, misalnya: tentang matahari yang beredar mengitari bumi, bahkan yang pernah berhenti beredar(baca Yosua 10:12-14). Tetapi hal ini janganlah lantas harus diteropong melalui 'kacamata kuda' sains, untuk membuktikan kesalahan isi Alkitab (karena faktanya yang beredar itu kan bumi, bukan matahari). Janganlah karena mengandung kesalahan secara ilmiah lantas Alkitab harus 'dimuseumkan' karena isinya sudah terbukti salah. Mari tempatkan Alkitab sebagai Firman Tuhan yang menjadi pedoman hidup umat percaya, yaitu untuk  mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (baca 2 Timotius 3:16), dan bukannya untuk belajar sains!

Kedua:  Alkitab selalu berbicara dalam bahasa yang dapat dipahami manusia dalam konteksnya masing-masing, karena kalau Tuhan membuka segenap rahasia diriNya dan ciptaanNya di dalam Alkitab, bisa dibayangkan betapa Alkitab akan menjadi buku yang tidak akan pernah dibaca, dipahami, bahkan dipercaya oleh manusia! Mengapa? Karena kemampuan berpikir manusia itu terbatas. Tuhan Yesus pun pernah mengingatkan hal ini, bahwa untuk hal-hal duniawi saja manusia sering sulit untuk percaya, apalagi untuk hal-hal surgawi (baca Yohanes 3:12). Lucu sekali saat saya berbicara dengan seorang penganut scientisme, mereka tidak pernah mau mengaku bahwa otak manusia itu pasti ada batasnya. Mereka nge-les sedemikian rupa, pakai sidetracks/pengalihan macam-macam untuk menghindar  berbicara mengenai hal tersebut (karena memang mereka 'beriman' akan ketidakterbatasan otak manusia). Dan, ternyata manusia sendiri sebetulnya sering (dan senang) memakai ungkapan yang sebetulnya kita tahu hal itu tidak tepat, seperti masih mengatakan: 'matahari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat', dan bukannya 'bumi be-rotasi menghadap matahari atau membelakangi matahari'. Hal itu terjadi karena memang adanya keterbatasan dalam bahasa manusia, sesuatu yang sangat dimaklumi Tuhan, tetapi - anehnya -  tidak dimaklumi oleh penganut scientisme.

Ketiga: mungkin yang ditunggu-tunggu adalah: bagaimana kita dapat menjelaskan berbagai kisah Alkitab yang 'tidak logis' yang 'tidak terbuktikan' dan yang 'tidak dapat diuji kebenarannya', terutama kepada penganut scientisme? Saya jawab secara singkat saja: mereka tidak membutuhkan penjelasan apapun karena mereka sudah jauh lebih tahu ketimbang kita, dan mereka sudah memiliki sikap sendiri. Kita bisa saja mencoba menjelaskan melalui pendekatan metode kritis, penafsiran alegoris, literal, dan lain sebagainya. Itu tidak akan mempan! Yang mereka butuhkan hanyalah: sentuhan kasih Tuhan yang bisa mereka dapatkan melalui sentuhan kasih kita! Dan jangan lupa: doakan mereka! Apabila mereka adalah terhitung sebagai umat yang Tuhan pilih untuk diselamatkan, pasti suatu hari kelak mereka akan melihat ke-Maha-Kuasa-an Tuhan yang melampaui kemampuan otak mereka, dan mulut mereka pun akan mengaku: 'Ya Tuhanku dan Allahku!' (Yohanes 20:28).

Salam berdaya!
TKS - 01/12/12

Pohon Natal tanpa Lampu Natal

Bagian ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan. Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami: militiachristi2010@gmail.com 


 A Christmas Tree without Light
(Sebuah perziarahan dalam mencari makna kehidupan dan kematian)

Tentu kita semua sudah tahu tentang 7 hari penciptaan seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian.

Hari pertama Tuhan menciptakan terang. Terang itu bukanlah sembarang terang, karena terang itu ada TANPA adanya benda penerang (karena benda-benda penerang baru tercipta pada hari ke-4), bahkan terang itu sanggup mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan (yang sudah tercipta lebih dahulu, yaitu pada hari ke-3). Saya pernah membaca tulisan seorang skeptik tentang hal ini, yaitu: bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan tercipta lebih dahulu ketimbang benda penerang? Ya mati dong... Dia lupa bahwa di hari pertama  sudah ada terang. Kalau sekarang ini manusia sudah bisa menciptakan terang matahari buatan yang sanggup menumbuhkan tanaman, apalagi Tuhan - Sang Pencipta - Ia pasti sanggup menciptakan terang yang bukan berasal dari benda-benda penerang seperti yang manusia kenal saat ini yang sanggup menumbuhkan tanaman! Terang itu adalah Terang Ilahi, Divine Light, yang menjadi sebuah awal dari terciptanya alam semesta dan segenap penghuni bumi. Terserahlah orang mau menghubungkannya dengan teori Big Bang-nya Hawking, bagi saya Terang itu merupakan sebuah terobosan yang Tuhan lakukan untuk membuat dari yang kacau dan gelap itu menjadi sesuatu keberadaan yang 'sungguh amat baik', yakni segenap ciptaanNya (Kej 1:31).

Setelah 7 hari penciptaan selesai, Tuhan melanjutkannya dengan menciptakan suatu keluarga Allah yaitu dalam diri manusia debu tanah (adamah) dan perempuan (Kej 2:7,23) sebagai pasangan yang sepadan (Kej 2:18). Apakah mereka ini 'ciptaan baru' yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan pada hari ke-6 (Kej 1:27), atau merupakan awal dari mereka semua itu? Ini tentu mengundang banyak opini dan perdebatan. Namun bagi saya, pikiran utamanya adalah: Tuhan menganggap keluarga sebagai hal yang penting. Keluarga menjadi sebuah terobosan di tengah persoalan kesendirian manusia. Saat ini, ada begitu banyak orang yang sendiri dan kesepian... Keluarga dan dukungan keluarga-lah solusinya! Keluarga diharapkan dapat berperan secara lebih optimal di jaman yang penuh persoalan dan ketidakpedulian ini.

Namun dalam perjalanan hidupnya, keluarga Allah ini mengalami jatuh ke dalam dosa, sehingga menimbulkan 'produk baru' yang bernama: kematian (Kej 2:16-17). Kematian adalah upah dosa, sebuah kutuk yang menjalar bagaikan kanker ke seluruh umat manusia. Namun syukur kepada Tuhan, bahwa 'keturunan perempuan' sudah mengalahkan Iblis yang mengikat manusia dalam dosa (Kej 3:15). Tuhan Yesus adalah Sang Terang - Devine Light - yang menerobos kacau dan gelap-nya dosa dan mengangkat manusia (yang dipilih untuk percaya kepadaNya) untuk kembali menjadi ciptaan yang 'sungguh amat baik'. Apakah manusia lantas terbebas dari kematian? Jelas tidak, mana ada manusia yang tidak bisa mati?! Namun kematian di dalam Kristus tidak lagi dipandang sebagai kutuk dan upah dosa, tetapi menjadi sebuah jalan untuk menerima anugerah keselamatan, yakni kehidupan yang kekal.

Lantas apa hubungan ulasan tersebut dengan 'Pohon Natal tanpa Lampu Natal' dan 'perziarahan'?

Ini sharing pribadi, yaitu di Natal tahun 2011 yang lalu. Karena berbagai kesibukan saya, akhirnya menjelang tanggal 25 Desember pohon
Natal belum terpasang di rumah. Waktu itu sudah tanggal 24 Desember siang. Apakah Natal tahun itu akan menjadi Natal tanpa pohon Natal? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk tetap memasang pohon Natal sekalipun hanya untuk seminggu. Saat semua daun sudah terpasang, hiasan-hiasan bola dan bintang juga sudah digantung, tibalah saatnya untuk menyalakan lampu Natal. 'Klik'... Dan kami terdiam saat menyadari bahwa semua lampu Natal padam... Mungkin ada kabel yang putus di suatu tempat, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Jadilah pohon Natal yang tanpa lampu Natal...

Natal tahun 2011. Mama saya - yang saat itu sudah sakit kanker parah - mendadak berkeinginan untuk merayakan Natal bersama saya sekeluarga di Jakarta. Saya merasa sangat bersyukur karena saya masih berkesempatan untuk merayakan Natal bersama mama saya di tahun itu, yang adalah Natal terakhir bagi mama saya. Setelah mengikuti Perayaan Natal di tanggal 25 Desember, saya baru menyadari betapa mama terlihat begitu lelah. Dan sepulangnya ke kota asalnya, kondisi fisik mama saya terus menurun, dan 3 bulan kemudian mama berpulang ke surga. Saya sempat berpikir: apakah pohon Natal tanpa lampu Natal adalah merupakan sebuah pertanda kematian dari orang yang saya kasihi? Atau hanya kebetulan acak belaka?

Mengalami sendiri situasi kematian ternyata bukan hal yang mudah. Saya bersyukur karena di jam-jam awal masa kedukaan, saya di cover oleh Pdt Dianawati dan Pdt Frans yang jauh-jauh datang untuk memberi support bagi saya sekeluarga. Dan di saat-saat seperti inilah - hingga berbulan-bulan sesudahnya - saya menjalani perziarahan ke dalam misteri kehidupan dan kematian, yang saya tahu perziarahan ini pun diikuti oleh banyak orang yang bergumul dengan hal yang sama.

Ada beberapa hal yang akhirnya saya temukan dalam perziarahan saya (yang masih berlanjut hingga kini).

Yang pertama adalah: pentingnya ikatan keluarga. Dalam masa-masa sulit, justru ikatan keluarga harus semakin diperteguh. Kami sekeluarga kini merasakan kualitas hubungan yang semakin baik satu sama lain, sekalipun kami tinggal saling berjauhan, dan inilah yang menjadi sumber kekuatan dikala kelemahan datang menghampiri. Keluarga-lah yang pertama-tama harus saling menguatkan, setelah itu barulah orang lain (saudara seiman, tim perlawatan khusus, pendeta, dsb). Keluarga yang justru terpecah saat kesulitan/duka datang akan sangat sulit untuk melakukan recovery, dan ini jelas membutuhkan sebuah kerelaan dari masing-masing anggota keluarga untuk dapat lebih saling menahan diri dan berkorban. 

Kedua adalah: meninggalkan warisan. Warisan disini bukanlah warisan materi, namun lebih kepada nilai-nilai yang bisa kita tinggalkan kepada orang lain saat kita kembali ke sorga. Pepatah mengatakan: sesuatu akan terasa begitu berharga saat kita kehilangannya. Saat mama saya berpulang, barulah saya dengan jelas melihat betapa luar biasanya dia! Perhatian, dukungan, rasa kehilangan, cerita-cerita yang baik... Membuat saya berpikir: kalau giliran saya yang mati nanti, apakah saya pun akan meninggalkan warisan nilai-nilai yang sebaik yang diwariskan mama saya? Misteri kematian seharusnyalah membuat manusia berusaha dan terus berusaha untuk meninggalkan warisan yang semakin baik, dan bukankah hal itu membuat dunia menjadi tempat yang semakin baik untuk dihuni manusia?

Pohon Natal tanpa lampu Natal... Saya pikir hal yang baik apabila Natal dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Namun itu bukanlah yang terpenting! Yang terpenting adalah: kita seharusnya yang menjadi lampu-lampunya, yang tidak terpadamkan dan yang bersinar terus bagi sekitar kita! Kalau Divine Light itu telah membuat terobosan bagi dunia yang kacau dan gelap, maka kita sebagai umatNya pun seharusnyalah memancarkan terang yang menerangi dan mempercantik dunia. Semoga hal itulah yang bisa menjadi warisan hidup kita semua.

(TKS - 29/11/2012)