Seorang berilmu membaca banyak buku dan ingin terus belajar
Seorang religius hanya membaca satu Buku (yakni kitab suci) dan mengklaim telah memahami segala sesuatu.
Pernyataan
yang menyindir orang religius itu saya baca di dalam sebuah komentar di
salah satu akun FB seorang mantan pendeta Kristen yang agaknya telah
menjadi penganut Scientisme.
Apakah itu Scientisme?
Scientisme
adalah 'anak kandung' humanisme, yaitu filsafat yang mengagungkan
potensi manusia yang nyaris tanpa batas, dengan penekanan pada
ke-aplikasi-an metode ilmiah (logika, pengujian, pengukuran, pembuktian)
pada berbagai (bahkan semua) hal, termasuk agama (lihat definisi lain
di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Scientism).
Dalam
persepektif scientisme, segala hal yang tidak logis, tidak teruji,
tidak dapat diukur, dan yang tidak dapat dibuktikan adalah: omong
kosong, delusi, kebodohan (apabila tetap dipercayai)... Dapat
dibayangkan, bagaimana seorang penganut scientisme memandang Alkitab
yang penuh dengan hal-hal yang tidak logis dan yang tidak/susah
dibuktikan, seperti: penciptaan alam semesta hanya dalam tempo 7 hari,
tanah yang ditiup lalu menjadi manusia yang hidup, ular yang dapat
berbicara, manusia yang dapat berjalan di atas air, kapak besi yang
dapat terapung di air, dll...dll...
Sebetulnya tidak ada yang
salah dengan ke-ilmiah-an, bahkan kita pun tahu ada banyak ilmuwan yang
masih menjadi penganut agama Kristen (maupun agama lain) yang saleh.
Sekolah-sekolah Kristen pun tidak ragu untuk mengajarkan Sains di dalam
kurikulumnya, bahkan yang namanya Sekolah BPK Penabur itu merupakan
langganan juara Sains tingkat nasional bahkan internasional.
Menjadi
problem kalau ke-ilmiah-an manusia yang hebat itu dianggap sebagai
SATU-SATUNYA pola atau cara berpikir. Tak terhindarkan mereka akan
memandang agama sebagai sumber pembodohan manusia bahkan racun/candu
masyarakat yang menimbulkan delusi massal. Mereka 'menuduh' agama
sebagai sebuah 'cara gampang' (alias cara nge-les) untuk menjelaskan
sesuatu yang 'belum terjelaskan' oleh pemikiran manusia, membuat manusia
menjadi malas berpikir, malas belajar, dan akhirnya benar-benar membuat
manusia menjadi mahluk bodoh yang terus diperdaya oleh dogmatisme para
rohaniawan.
Hal ini menjadi tantangan yang sungguh sangat real
dan relevan bagi gereja masa kini, karena memang perkembangan peradaban
manusia saat ini sedang berada di puncak-puncaknya, seolah-olah segala
hal mampu dijawab dan diatasi oleh otak manusia. Konsep keTuhanan
perlahan-lahan luntur, dan aktivisme keagamaan bisa menjadi sesuatu yang
irrelevan dengan perkembangan jaman.
Para teolog sebetulnya
telah berusaha untuk memperkecil gap antara sains dan agama, dengan
membuat berbagai pendekatan teologi, seperti:
1. Pendekatan
metode kritis, baik dengan melakukan penelitian teks, penelitian
sejarah, dan sebagainya (yang ini jelas ilmiah), bahkan sampai melakukan
pemilahan/pemisahan mitos-mitos (misalnya demitologisasi ala Bultmann),
yaitu dengan membuang bagian-bagian yang dianggap 'mitos' dan hanya
mengambil inti pesan keagamaan (kerygma) di dalamnya. Pendekatan ini
mungkin berhasil memberi kesan 'pintar dan ilmiah' pada beberapa aspek
teologi Kristen. Namun di sisi lain, pendekatan ini membuat para teolog
pintar itu bak sedang mengupas bawang, alias get nothing, tidak mendapat
nilai tambah apapun pada pertumbuhan spiritualitas, bahkan membuat
kekristenan menjadi sangat relatif, sangat serupa dengan dunia...makin
abu-abu dan cenderung permisif dengan 'gelap'.
2. Pendekatan
penafsiran alegoris yang memberi makna tertentu pada berbagai hal yang
disebut 'mitos', misalnya dalam 2 Raja-Raja 6:5-7, yang bisa ditafsirkan
sbb:
- mata kapak yang terlepas dari tangkainya dan tenggelam,
dimaknai sebagai: manusia yang terpisah dari Tuhan dan terbenam di
dalam dosa
- batang kayu yang dilemparkan, dimaknai sebagai: Tuhan
Yesus yang bersedia masuk ke dalam dunia yang berdosa untuk mengangkat
manusia dari dosa, dan
- kapak yang timbul/terapung, dimaknai sebagai: manusia yang telah mengalami pembaharuan hidup dan menang atas kuasa dosa
Penafsiran
alegoris memang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai hal secara
lebih segar dan tampak relevan. Namun di sisi lain pendekatan ini dapat
memunculkan kekacauan hermeunetika, membuat cara menafsir yang
'semau-gue' yang menimbulkan kegagalan kita dalam memahami Firman Tuhan
yang sebenarnya.
3. Pendekatan literal yang menerima teks Alkitab
secara apa adanya dengan penekanan pada doktrin 'ke-tanpa-salah-an
Alkitab', sebuah posisi ekstrem kanan yang secara frontal berhadapan
dengan scientisme maupun teologi modern, dan sering di-cap fundamental
dan radikal, bahkan serupa dengan dogmatisme abad pertengahan. Namun di
banyak tempat, pendekatan literal ini justru menguat dan diminati karena
'memberikan kepastian keberimanan yang kokoh' di tengah situasi jaman
yang tidak menentu saat ini.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai warga jemaat GKI?
Biasanya
GKI mengambil jalan tengah yang menjauh dari kegaduhan yang tidak perlu
dan kontra produktif. 'Gitu aja kok repot', begitu istilah populer Gus
Dur yang sering dengan tepat menggambarkan diri kita. Iyalah, ngapain
juga repot, toh masalah beginian tidak akan merubah jalan keselamatan
kan? Sekali selamat, tetap selamat, begitulah keyakinan iman GKI. Tapi
tentu kita harus berkata dan bersikap sesuatu yang dapat memperlengkapi
diri kita saat kita membentur atau bersinggungan dengan scientisme ini.
Pertama:
mencampuradukkan sains dan agama jelas merupakan sebuah kesalahan fatal
dan sekaligus menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir. Sains bukan
agama, agama bukan sains. Di dalam agama memang ada bau-bau sains,
misalnya: tentang matahari yang beredar mengitari bumi, bahkan yang
pernah berhenti beredar(baca Yosua 10:12-14). Tetapi hal ini janganlah
lantas harus diteropong melalui 'kacamata kuda' sains, untuk membuktikan
kesalahan isi Alkitab (karena faktanya yang beredar itu kan bumi, bukan
matahari). Janganlah karena mengandung kesalahan secara ilmiah lantas
Alkitab harus 'dimuseumkan' karena isinya sudah terbukti salah. Mari
tempatkan Alkitab sebagai Firman Tuhan yang menjadi pedoman hidup umat
percaya, yaitu untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki
kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (baca 2 Timotius 3:16), dan
bukannya untuk belajar sains!
Kedua: Alkitab selalu berbicara
dalam bahasa yang dapat dipahami manusia dalam konteksnya masing-masing,
karena kalau Tuhan membuka segenap rahasia diriNya dan ciptaanNya di
dalam Alkitab, bisa dibayangkan betapa Alkitab akan menjadi buku yang
tidak akan pernah dibaca, dipahami, bahkan dipercaya oleh manusia!
Mengapa? Karena kemampuan berpikir manusia itu terbatas. Tuhan Yesus pun
pernah mengingatkan hal ini, bahwa untuk hal-hal duniawi saja manusia
sering sulit untuk percaya, apalagi untuk hal-hal surgawi (baca Yohanes
3:12). Lucu sekali saat saya berbicara dengan seorang penganut
scientisme, mereka tidak pernah mau mengaku bahwa otak manusia itu pasti
ada batasnya. Mereka nge-les sedemikian rupa, pakai
sidetracks/pengalihan macam-macam untuk menghindar berbicara mengenai
hal tersebut (karena memang mereka 'beriman' akan ketidakterbatasan otak
manusia). Dan, ternyata manusia sendiri sebetulnya sering (dan senang)
memakai ungkapan yang sebetulnya kita tahu hal itu tidak tepat, seperti
masih mengatakan: 'matahari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk
barat', dan bukannya 'bumi be-rotasi menghadap matahari atau
membelakangi matahari'. Hal itu terjadi karena memang adanya
keterbatasan dalam bahasa manusia, sesuatu yang sangat dimaklumi Tuhan,
tetapi - anehnya - tidak dimaklumi oleh penganut scientisme.
Ketiga:
mungkin yang ditunggu-tunggu adalah: bagaimana kita dapat menjelaskan
berbagai kisah Alkitab yang 'tidak logis' yang 'tidak terbuktikan' dan
yang 'tidak dapat diuji kebenarannya', terutama kepada penganut
scientisme? Saya jawab secara singkat saja: mereka tidak membutuhkan
penjelasan apapun karena mereka sudah jauh lebih tahu ketimbang kita,
dan mereka sudah memiliki sikap sendiri. Kita bisa saja mencoba
menjelaskan melalui pendekatan metode kritis, penafsiran alegoris,
literal, dan lain sebagainya. Itu tidak akan mempan! Yang mereka
butuhkan hanyalah: sentuhan kasih Tuhan yang bisa mereka dapatkan
melalui sentuhan kasih kita! Dan jangan lupa: doakan mereka! Apabila
mereka adalah terhitung sebagai umat yang Tuhan pilih untuk
diselamatkan, pasti suatu hari kelak mereka akan melihat
ke-Maha-Kuasa-an Tuhan yang melampaui kemampuan otak mereka, dan mulut
mereka pun akan mengaku: 'Ya Tuhanku dan Allahku!' (Yohanes 20:28).
Salam berdaya!
TKS - 01/12/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar