Jumat, 26 Oktober 2012

CSS: Visi 2

Apa visi yang bisa saya buat?
Merumuskan visi merupakan pokok bahasan dari 'seminar satu hari' bahkan lebih! Saya berkali-kali mengikuti seminar dan training yang topiknya adalah: bagaimana cara merumuskan visi. Ada begitu banyak teknik dan metode yang dapat digunakan untuk merumuskan visi. Gereja saya saja merumuskan visinya setelah menjalani proses yang memakan waktu berbulan-bulan.
Lucunya, sekalipun sudah canggih membuat visi, dengan menggunakan bermacam-macam  metode dan melibatkan banyak orang, tetap saja visi seringkali berhenti sebagai pajangan yang sekedar membuat orang kagum sesaat, selebihnya... Ya nggak ada lebihnya lagi ketimbang sebuah kalimat bisu!
Karena itulah saya nggak mau bicara mengenai cara membuat visi, namun lebih kepada:  'apa yang bisa menjadi visi'.

Yang pertama, (tentu saja) hal-hal yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Contoh yang kualitatif: ibadah yang diminati oleh generasi muda, ibadah dengan liturgi yang fleksibel, atau ibadah yang membuat sorga turun ke bumi.
Sedangkan yang kuantitatif contohnyai: ibadah  yang setiap minggunya dihadiri oleh 1000 orang, atau ibadah yang melibatkan 20% dari umat sebagai pelayan ibadah, atau ibadah yang meningkat dari 3 kali pelaksanaan menjadi 5 kali.
Silakan saja buat sekreatif dan seluas mungkin. Yang penting visi itu berbicara mengenai sesuatu yang lebih berkembang/maju/baik di masa depan.
Namun ada sedikit saran dari para ahli pembuat visi, bahwa sebuah visi yang baik setidaknya memiliki 5 syarat, yaitu SMART:
1. Specific: fokus, terarah pada satu atau dua hal saja
2. Measurable: dapat diukur, bagi visi yang sifatnya kuantitatif jelas nggak ada problem (karena jelas ada angkanya), yang problem adalah visi yang kualitatif (misalnya seperti contoh di atas mengenai 'ibadah yang membuat sorga turun ke bumi'), musti ada penjelasan-penjelasan tambahan yang membuat visi itu lebih terukur, misalnya: musik dibuat 100% orkestrasi, atau ada Paduan Suara yang melayani setiap ibadah, dan lain sebagainya.
3. Attainable: boleh menantang, namun harus dapat dijangkau dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada, yaitu: SDM (kemauan dan kemampuan umat) dan ketersediaan dana/fasilitas
4. Realistic: visi yang menantang dan dapat dijangkau juga perlu realistis, karena ada faktor x yang seringkali menjadi 'penghalang' seperti: budaya gereja setempat (misalnya: nggak mungkin gereja konservatif dibikin karismatik, atau sebaliknya), faktor kepemimpinan yang kaku atau sulit berubah, maupun kondisi lingkungan yang seringkali menjadi penghambat kegiatan gereja
5. Timebound: ada batasan waktu yang jelas, alias deadline, yang bisa di break ke dalam beberapa tahapan.

Yang kedua: visi seharusnyalah merepresentasikan context gereja setempat, yaitu: kondisi, problem/pergumulan, maupun cita-cita/harapan jemaat. Salah satu contoh perumusan visi yang baik adalah seperti yang dilakukan oleh gereja saya, yaitu GKI Nurdin, dimana perumusan visi dilakukan dengan sistem bottom-up, dimulai dari menjaring ide-ide dari umat, mengkristalkannya menjadi beberapa pilihan, lalu melemparkan pilihan-pilihan tersebut kembali ke umat untuk memilih satu visi yang paling cocok bagi mereka.
Cara bottom-up ini dapat menghasilkan sebuah rumusan visi yang baik apabila umat memang telah memiliki rasa concern dan self belonging yang relatif merata. Tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada atau hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari umat (misal hanya dimiliki oleh para aktivisnya saja) maka niscaya proses bottom up itu hanyalah menjadi proses 3B: basa-basi bisu, yang akhirnya akan berhenti dalam sebuah statement visi bisu yang tidak visioner, bahkan tidak berdampak apa-apa terhadap kemajuan gereja.
Mungkin perlu kita memperhatikan cara Yohanes Calvin mengorganisasikan gerejanya di Jenewa yang kini dikenal sebagai presbiterial sinodal, dimana gereja memilih orang-orang pilihan untuk memimpin gereja, yaitu mereka yang memang concern dan dipercaya umat untuk memimpin gereja (yaitu para pendeta dan penatua). Ditangan merekalah seharusnya context gereja ditetapkan (jangan di open-pen kepada khalayak umat yang belum tentu concern dan berminat). Setelah beberapa pilihan visi terbentuk, bolehlah kini umat dilibatkan untuk memilih satu visi yang paling mendekati harapan umat (biasanya ditentukan melalui suara terbanyak).
Intinya, visi haruslah sesuai - atau paling tidak mendekati - context jemaat, sehingga visi tersebut mendapat dukungan umat dan memang benar-benar dapat menjadi arahan untuk masa depan gereja yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar