Apa visi yang bisa saya buat?
Merumuskan visi merupakan pokok bahasan dari 'seminar satu hari' bahkan
lebih! Saya berkali-kali mengikuti seminar dan training yang topiknya
adalah: bagaimana cara merumuskan visi. Ada begitu banyak teknik dan
metode yang dapat digunakan untuk merumuskan visi. Gereja saya saja
merumuskan visinya setelah menjalani proses yang memakan waktu
berbulan-bulan.
Lucunya, sekalipun sudah canggih membuat visi, dengan menggunakan
bermacam-macam metode dan melibatkan banyak orang, tetap saja visi
seringkali berhenti sebagai pajangan yang sekedar membuat orang kagum
sesaat, selebihnya... Ya nggak ada lebihnya lagi ketimbang sebuah
kalimat bisu!
Karena itulah saya nggak mau bicara mengenai cara membuat visi, namun lebih kepada: 'apa yang bisa menjadi visi'.
Yang pertama, (tentu saja) hal-hal yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Contoh yang kualitatif: ibadah yang diminati oleh generasi muda, ibadah
dengan liturgi yang fleksibel, atau ibadah yang membuat sorga turun ke
bumi.
Sedangkan yang kuantitatif contohnyai: ibadah yang setiap minggunya
dihadiri oleh 1000 orang, atau ibadah yang melibatkan 20% dari umat
sebagai pelayan ibadah, atau ibadah yang meningkat dari 3 kali
pelaksanaan menjadi 5 kali.
Silakan saja buat sekreatif dan seluas mungkin. Yang penting visi itu
berbicara mengenai sesuatu yang lebih berkembang/maju/baik di masa
depan.
Namun ada sedikit saran dari para ahli pembuat visi, bahwa sebuah visi yang baik setidaknya memiliki 5 syarat, yaitu SMART:
1. Specific: fokus, terarah pada satu atau dua hal saja
2. Measurable: dapat diukur, bagi visi yang sifatnya kuantitatif jelas
nggak ada problem (karena jelas ada angkanya), yang problem adalah visi
yang kualitatif (misalnya seperti contoh di atas mengenai 'ibadah yang
membuat sorga turun ke bumi'), musti ada penjelasan-penjelasan tambahan
yang membuat visi itu lebih terukur, misalnya: musik dibuat 100%
orkestrasi, atau ada Paduan Suara yang melayani setiap ibadah, dan lain
sebagainya.
3. Attainable: boleh menantang, namun harus dapat dijangkau dengan
mempertimbangkan sumber daya yang ada, yaitu: SDM (kemauan dan kemampuan
umat) dan ketersediaan dana/fasilitas
4. Realistic: visi yang menantang dan dapat dijangkau juga perlu
realistis, karena ada faktor x yang seringkali menjadi 'penghalang'
seperti: budaya gereja setempat (misalnya: nggak mungkin gereja
konservatif dibikin karismatik, atau sebaliknya), faktor kepemimpinan
yang kaku atau sulit berubah, maupun kondisi lingkungan yang seringkali
menjadi penghambat kegiatan gereja
5. Timebound: ada batasan waktu yang jelas, alias deadline, yang bisa di break ke dalam beberapa tahapan.
Yang kedua: visi seharusnyalah merepresentasikan context gereja
setempat, yaitu: kondisi, problem/pergumulan, maupun cita-cita/harapan
jemaat. Salah satu contoh perumusan visi yang baik adalah seperti yang
dilakukan oleh gereja saya, yaitu GKI Nurdin, dimana perumusan visi
dilakukan dengan sistem bottom-up, dimulai dari menjaring ide-ide dari
umat, mengkristalkannya menjadi beberapa pilihan, lalu melemparkan
pilihan-pilihan tersebut kembali ke umat untuk memilih satu visi yang
paling cocok bagi mereka.
Cara bottom-up ini dapat menghasilkan sebuah rumusan visi yang baik
apabila umat memang telah memiliki rasa concern dan self belonging yang
relatif merata. Tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada atau hanya
dimiliki oleh sebagian kecil dari umat (misal hanya dimiliki oleh para
aktivisnya saja) maka niscaya proses bottom up itu hanyalah menjadi
proses 3B: basa-basi bisu, yang akhirnya akan berhenti dalam sebuah
statement visi bisu yang tidak visioner, bahkan tidak berdampak apa-apa
terhadap kemajuan gereja.
Mungkin perlu kita memperhatikan cara Yohanes Calvin mengorganisasikan
gerejanya di Jenewa yang kini dikenal sebagai presbiterial sinodal,
dimana gereja memilih orang-orang pilihan untuk memimpin gereja, yaitu
mereka yang memang concern dan dipercaya umat untuk memimpin gereja
(yaitu para pendeta dan penatua). Ditangan merekalah seharusnya context
gereja ditetapkan (jangan di open-pen kepada khalayak umat yang belum
tentu concern dan berminat). Setelah beberapa pilihan visi terbentuk,
bolehlah kini umat dilibatkan untuk memilih satu visi yang paling
mendekati harapan umat (biasanya ditentukan melalui suara terbanyak).
Intinya, visi haruslah sesuai - atau paling tidak mendekati - context
jemaat, sehingga visi tersebut mendapat dukungan umat dan memang
benar-benar dapat menjadi arahan untuk masa depan gereja yang lebih
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar