Selasa, 02 April 2013

GBI Ecclesia Taman Semanan


http://gbiecclesia.com/



Pertumbuhan GBI yang fenomenal di Indonesia dalam satu-dua dasawarsa terakhir ini memang memancing perhatian para pemerhati pertumbuhan gereja. Dari informasi yang saya dapatkan, GBI ini muncul dari skisma dengan GBIS beberapa puluh tahun yang lalu (dengan tokohnya waktu itu adalah Pdt HL Senduk), dan gereja 'baru' tersebut berkembang pesat sedemikian rupa sehingga melebihi ukuran GBIS, bahkan menjadi gereja Pentakosta/Kharismatik terbesar di Indonesia, dengan umat 2 juta orang lebih, yang mungkin hanya dapat disaingi oleh GPdI (klik disini untuk informasi terkait) ataupun - dari kalangan Protestan - HKBP (klik disini untuk informasi terkait) dan GPI (klik disini untuk informasi terkait). Salah satu perkembangan yang fenomenal di jaman saya masih SMA dan kuliah beberapa tahun yl, adalah pertumbuhan GBI Bethany yang dimotori oleh 3 pendeta yang berbagi wilayah pelayanan (di Jakarta Pdt Ir. Niko, di Surabaya Pdt Alex T, di Bali Pdt Timotius Arifin) yang sangat kuat dalam pujian dan penyembahan, maupun GBI Tiberias (di Jakarta oleh Pdt. Pariadji) yang menekankan kuasa minyak urapan dan anggur Perjamuan Kudus. Saat ini GBI Bethany dan GBI Tiberias telah melepaskan diri dari GBI, namun pertumbuhan gereja ini tidaklah menjadi surut, dengan motor beberapa gereja yang cukup menonjol seperti GBI Gatot Subroto (Pdt Ir. Niko), GBI Nafiri Allah (Pdt. Joas A), GBI Keluarga Allah (Pdt Yosia), GBI GL Ministry (?) (Pdt. Gilbert) maupun gereja yang lebih muda seperti GBI Ecclesia Taman Semanan (Pdt Henky So) yang beberapa waktu yang lalu sempat saya hadiri.

PENGUNJUNG IBADAH
GBI Ecclesia saat ini memiliki 5 cabang dengan tak kurang dari 14 jam kebaktian. Di Pusat (yaitu di Eccelsia Semanan), dari informasi yang saya dapatkan dari seorang rekan yang menjadi aktivis di gereja tersebut, tak kurang ada 1800 orang umat yang beribadah di hari Minggu, sebuah angka yang cukup besar untuk sebuah 'gereja muda' (baru berdiri sekitar tahun 1996), dan mereka memiliki kerinduan untuk 'menuai' 10.000 jiwa untuk Tuhan. Saya tidak tahu maksudnya 'menuai' ini apa, apakah untuk penginjilan (memenangkan 10.000 jiwa bagi Kristus) ataukah sekedar untuk membesarkan gereja tersebut menjadi gereja yang beranggotakan 10.000 jiwa. Untuk informasi lainnya, silakan mengunjungi situs resmi gereja ini seperti tercantum di atas.

FISIK
Gereja yang berdiri di atas tanah seluas 2000m2 ini memang cukup mengesankan, berbentuk sebuah stadium dengan kapasitas sekali ibadah mungkin bisa muat 1000 orang. Namun tempat parkir kendaraan di lantai dasar begitu sempit sehingga umat harus parkir di jalan atau di sekitar lapangan tenis yang lumayan jauh. Namun satu hal yang perlu saya acungi jempol adalah: masalah kualitas. Saya menangkap kesan yang kuat bahwa gereja ini sangat menekankan kualitas, itu bisa dilihat dari:
  1. Warta Jemaat - atau yang mereka sebut sebagai Bulletin Ecclesia - yang untuk ukuran gereja lain sudah layak disebut sebagai buletin bulanan atau dwi bulanan atau tri wulanan.... karena begitu bagus cetakannya, padat isinya (tidak melulu publikasi kegiatan sepekan, tetapi juga ada kolom Hati Gembala, Renungan sepekan, catatan kotbah minggu lalu diberbagai mimbar Ecclesia, kesaksian, maupun sebuah artikel singkat). One word: RUARRR BIASA!!!
  2. Multimedia yang juga mengesankan: berkekuatan 1 layar raksasa dan 2 proyektor simultan, yang satu menayangkan background berupa shoot live event (ada kameramen khusus yang menayangkan jalannya ibadah di layar dari berbagai sudut) dan yang lain menayangkan teks lagu dan teks Alkitab. Dan yang unik adalah: warta lisan yang ditayangkan dalam bentuk news flash selama sekitar 15 menit selama persembahan dikumpulkan. Profesional sekali tampilannya, dengan tayangan movie kegiatan yang telah dilakukan maupun yang akan dilaksanakan. Dari informasi yang saya dapatkan, memang gereja ini memanfaatkan keahlian jemaatnya yang bekerja di salah satu stasiun televisi swasta untuk memoles multimedianya.
Catatan saya:
  1. Tentang tayangan live event (yang ditayangkan sebagai background teks lagu saat pujian), memang terlihat wow dan mengesankan, namun menurut saya tayangan tersebut justru mengganggu konsentrasi jemaat saat menyanyikan pujian, apalagi karena sudut pengambilan gambar dan zoom-nya berubah-ubah. Mungkin lebih baik kalau tayangan tersebut (apabila mau tetap ditanyangkan) nggak terlalu banyak bergerak dan hanya berganti sesekali.
  2. Tentang penayangan news flash selama 15 menit, memang sangat bagus, tapi..... kelamaan

PENYAMBUTAN
Saya disambut dengan hangat oleh tim penyambutan yang berseragam hitam-hitam, yang dengan sigap memberi salam, menyerahkan warta jemaat dan mempersilakan masuk. Saat saya masuk, pas jam 17.00, ternyata ibadah telah dimulai dengan puji-pujian. Umat yang sudah datang sekitar 150 orang, dan berangsur-angsur bertambah menjadi sekitar 300 orang-an sampai dengan pk 17.30... tampaknya memang kebiasaan umat yang datang terlambat pun dialami oleh jemaat ini. Karena space ruangan yang memang cukup luas, maka untuk keluarga yang memiliki baby pun telah disediakan baby room yang cukup luas yang mungkin dapat menampung 50 orangan.

MUSIK
GBI memang terkenal dengan musik ibadahnya yang bagus, termasuk di gereja ini. Dan sepanjang ibadah, ada dancer yang mengiringi pujian dengan tarian. Suara musik, WL, dan singernya terdengar bulat dan jelas, namun agaknya terlalu keras. Teori yang pernah saya dapatkan: saat musik pengiring dan singer suaranya dominan, maka jemaat akan memilih untuk memelankan suaranya, ini terbukti karena saat WL meminta musik dan singer berhenti di tengah-tengah pujian, baru ketahuan betapa sepinya pujian jemaat. Mungkin perlu dievaluasi tentang 'volume suara' ini, agar jemaat mendapat 'ruang' untuk menaikkan persembahan pujian yang terbaik.

KHOTBAH
Khotbah dibawakan dengan gaya induksi, dimulai dengan memberi banyak contoh, ilustrasi, dan ulasan, yang kemudian di'kunci' dengan sebuah ayat Alkitab. Pembicaranya memang kelihatan sangat ahli dengan topik yang dibawakannya, yaitu masalah penghambat keharmonisan keluarga yang bernama 'ikatan masa lalu', karena ybs memang seorang penulis buku yang menulis topik terkait. Memang menyenangkan mendengar seorang ahli berbicara, karena umat bisa belajar banyak. Saya pribadi cukup terberkati dengan kotbah hari itu, sekalipun gaya kotbah seperti itu terkadang dianggap 'kurang biblical' karena hanya mengambil satu dua ayat untuk 'mengunci ulasan', ketimbang 'mengulas Firman Tuhan' itu sendiri. Namun memang masing-masing ada plus-minusnya sendiri. di GKI sendiri yang 'konon biblical' dengan ulasan komprehensif dari 3+1 bacaan Alkitab, sering khotbahnya terasa 'njlimet' dan 'penuh', sehingga kerygma-nya menjadi nggak jelas, nggak menginspirasi, dan 'kering' karena kebanyakan teori dan minim implikasi praktis.

Demikian ulasan saya mengenai ibadah di GBI Ecclesia ini. Apabila ada yang ingin menambahkan atau mengomentari... welcome.

Salam berdaya!

Istilah Paskah

Dari grup BB keluarga, ter-broadcast sebuah topik tentang 'istilah Paskah'. Saya copas BC tersebut ke dalam blog saya ini karena memang topiknya lagi hangat, relevan, dan semoga memancing pemikiran yang kritis dan kreatif. Mari kita simak bersama:

Broadcast Message

Easter = Paskah?
Patut diketahui, supaya Ъ salah..:) Kata Easter berasal dari kata "Ishtar" dimana Ishtar (klik disini untuk link ke informasi lainnya tentang Ishtar) adalah perayaan kebangkitan seorang dewa bernama Tamus. Siapakah Tamus?

Salah satu anak Nuh bernama Ham. memiliki seorang anak bernama Cush dan menikah dengan seorang wanita bernama Semiramis. Cush dan Semiramis memiliki seorang putra bernama Nimrod (Kej 10:8-10).

Nimrod dalam bahasa Ibrani berarti 'pemberontak'. Nimrod adalah pencipta sistem Babilonia dimana ia menciptakan tatanan pemerintahan dan hukum dasar perdagangan ekonomi.

Nimrod adalah orang pertama yang memperkenalkan penyembahan  Setan (satanic worship). Nimrod begitu bejat sampai ia bersetubuh dengan ibu kandungnya sendiri yaitu Semiramis. Sang ibu kemudian hamil dan melahirkan anak bernama Tamus.

Ketika Nimrod meninggal, Semiramis mendoktrinasi pengikutnya bahwa Nimrod telah naik ke tahtanya di matahari dan harus dipuja sebagai Baal yaitu sang Dewa Matahari. Semiramis sendiri menyatakan bahwa ia datang di Bumi melalui peristiwa dimana ia turun dari bulan  dan 'mendarat' di sungai Efrata ( Irak). Peristiwa ini   dinamai Ishtar  Easter.

Nimrod yang dipuja sebagai Dewa Matahari,
Semiramis dipuja orang sebagai Dewa Bulan,
Tamus disembah dgn gelar Queen of Heaven atau Ratu Sorga (Yeremia 7:18 dan Yeremia 44:17-25).

Pada Alkitab bahasa Inggris, kata "Paskah" diterjemahkan sebagai "Passover" bukan "Easter". ( Matius 26:17-19 )

Kesimpulan
Paskah atau Passover yang kita rayakan adalah perayaan kebangkitan Yesus Kristus mengalahkan kematian, sdgkan Easter (atau Ishtar) adalah perayaan kebangkitan seorang dewa bernama Tamus.

Kita sbg orang Percaya hanya merayakan: Paskah - Pesach - Passover.
Dan BUKAN Easter!

Kita mengucapkan: Hag Pesach Sameach / Happy Pesach / Selamat Paskah.
Dan BUKAN Happy Easter. •̸Ϟ•̸Göϑ ϐlêšš Ƴöů-̶̶•-̶


Komentar Saya:

Cuman hati2 juga pakai istilah 'passover'. Minggu malam kemarin (Minggu Paskah) di salah satu stasiun radio Kristen di Jakarta disiarkan pembahasan mengenai 'istilah Paskah' ini. Narasumber-nya menjelaskan alasan dipakainya kata 'passover', yaitu malaikat maut yang melewati (passover) rumah yang memiliki tanda darah. ITU PASKAH YAHUDI YG TIDAK KITA RAYAKAN!  Paskah Kristen adalah saat Tuhan Yesus bangkit mengalahkan kematian, dan hidup!  Apakah istilah passover cukup utk menggambarkan hal tersebut? Agak tidak pas, karena Tuhan tidak sekedar melewati/melintasi dunia maut, tetapi Ia benar2 memasukinya dan totally mengalahkannya pada hari yg ketiga. Mungkin yg paling tepat adalah Win-over, bukan Pass-over. Tapi... tidak lazim yah :) Anyway, Happy Win-over 2013!

Sabtu, 30 Maret 2013

Satu tahun berpulangnya Mama Rebecca Kusuma ke Surga


Bagian ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan. Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami: militiachristi2010@gmail.com

Bidston Pengucapan Syukur
Ampera, 29 Maret 2013

Dipimpin: Sdr Pramudya (GKI Kuningan)





















Kamis, 28 Maret 2013

His Preaching Angel and My Loving Dad


Bagian ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan. Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami: militiachristi2010@gmail.com


DEDDY S HARYONO
Lahir: Cirebon, 12 Agustus 1946 
Wafat: Jakarta, 21 Oktober 2001

Pelayanan:
  • 10 Feb. 1973: Mulai melayani di GKI Serang
  • 12 Agst. 1973: Diteguhkan sebagai Penatua Khusus
  • 16 Juli 1974: Ditahbiskan sebagai Pendeta di GKI Serang
  • 1975 – 1982: Ketua Badan Kerjasama Kristen Katolik di Serang
  • 1975 - 1977: Menjadi Pendeta Konsulen di GKI Mero dan GKI
    Bandar Lampung
  • 1982 - 1983: Menjadi Pendeta Konsulen di GKI Bandar Lampung
  • 25 Juli 1983: Diteguhkan sebagai Pendeta di GKI Mangga Besar
  • 1983 – 1985: Guru Agama Kristen di SMP SMA Mangga Besar
  • 15 Januari 1991: Mulai bertugas di Jemaat GKI Nurdin
  • 13 Agustus 1991: Diteguhkan sebagai Pendeta di GKI Nurdin

Minggu, tanggal 21 Oktober 2001 adalah hari yang tidak akan pernah terlupa olehku karena hari itu merupakan hari perpisahanku secara jasmani untuk selama-lamanya dengan papaku yang aku kasihi. Ia pergi begitu mendadak, namun secara keseluruhan proses kepergiannya terlihat indah. Ia tidak tersiksa oleh sakit yang berkepanjangan, ia pergi di hari minggu, sepulang dari gereja, di puncak pelayanannya, dan aku pikir…ia adalah pahlawan Tuhan yang setia sampai akhir hayatnya.  Di detik-detik terakhir hidupnya, perkataan yang keluar pun masih berkisar tentang pelayanannya. 

Dua minggu terakhir sebelum kepergiannya, aku bersama papa terlibat aktif dalam persiapan dan pelaksanaan Panitia Retret Jemaat. Dalam retretpun aku banyak mendampingi papa karena ia terlihat kurang fit. Sebab sebelumnya, memang sudah banyak pelayanan yang beliau lakukan dan jalani tanpa pernah mengeluh. Tidak kecil pula tantangan dan kesulitan yang ia hadapi dalam pelayanannya, namun ia tetap berpegang teguh bahwa Tuhan yang akan menguatkannya. Tidak sedikit pula masalah pribadi dan keluarga yang timbul, namun beliau pasrah bahwa Tuhan akan  buka jalan dan memberikan yang terbaik. Di tengah-tengah banyaknya pergumulan yang dihadapinya, papa masih cukup memperhatikan orang lain, baik kepada anggota keluarga  maupun jemaat.   

Saat itu, aku seperti bermimpi, papa meninggal di tanganku. Jam 5 pagi, aku dan papa masih sempat nonton berita di TV sambil bercakap-cakap tentang pelayanan beliau pada hari minggu itu. Ia pergi ke gereja sendiri dengan berjalan kaki. Jam 8 lewat, ia pulang diantar mobil gereja dalam kondisi yang lemas. Ia berkata “badannya lemes sekali, tolong buatkan teh hangat manis.” Di kamar, aku membuka kemeja, dasi, dan ikat pinggang agar papa dapat bernafas dengan lebih lega. Aku tanya “Pa, ada yang dirasakan?”. Jawabnya : “Dadanya sesak sekali, sakiiiit!”. Aku langsung berpikir : jangan-jangan papa kena serangan jantung lagi. Lalu aku ingat untuk segera memberikan obat yang harus ditaruh dibawah lidah sebagai pertolongan pertama. Beliau tampak sedikit tenang, tidak mengeluh…. Tak lama kemudian ia minta oksigen, aku memberikan tabung oksigen kecil dan ia mampu menyemprotkan oksigen sendiri. Setelah itu, kondisinya terlihat agak tenang, aku berada di sampingnya sambil memegang tangannya dan aku sudah meneteskan air mata….entah kenapa? Kemudian, papa ingin membalikkan tubuhnya ke kiri, sambil meminta oksigen kembali. Aku memberikannya namun ia tidak bisa menyemprotkan oksigen sendiri karena kondisinya yang amat lemah. Aku membantu memberikan oksigen sambil berkata :“Pa, tarik nafas pelan-pelan pa. Pa, tarik nafas pa……tapi tak lama kemudian, ia menarik nafas panjang…..dan berhenti bernafas… mukanya membiru, dan tubuhnya tergeletak lemas di kasur.

Mama, aku, dan adik-adik berteriak…..’papa jangan pergi…………, papa jangan pergi.’ Air mata mengalir deras tanpa bisa dibendung. Setelah itu, aku tidak berani lagi untuk melihat papa….. aku meninggalkan kamar papa dan aku masih berharap kalau papa hanya pingsan, meskipun aku sudah tahu bahwa tidak ada nadi lagi yang berdenyut di tubuhnya.

Lalu aku masuk ke kamarku dan berdoa “Tuhan, mengapa papa diambil sekarang?” Kenapa Tuhan? Kenapa? Apakah Tuhan tidak mengerti bahwa saya masih membutuhkan papa dan ingin bisa membahagiakan papa? Aku tidak tahu apa maksud Tuhan, tapi aku minta Engkau yang memberi aku kekuatan untuk menghadapi dan menerima kenyataan ini. Tolong Tuhan……… tolong kuatkan aku.

Setelah aku lebih mampu mengendalikan diri, aku keluar kamar dan mendampingi adikku yang juga amat terpukul hingga ia histeris. Jenazah papa dibawa ke RS Sumber Waras. Sejam kemudian aku ke sana bersama adik perempuanku. Aku memberanikan diri masuk ke kamar jenazah….aku melihat wajah papa begitu tenang dan damai. Aku menangis dan memeluknya…sambil berkata dalam hati  : “Pa, selamat jalan. Pergilah dengan tenang. Kelak kita akan berkumpul kembali dalam sukacita di rumah Bapa.” Aku keluar dari kamar jenazah dengan perasaan yang amat menyakitkan,   sekaligus…… ada juga keyakinan bahwa papaku kini telah bahagia dan terbebas dari segala penderitaan, dan ia sudah layak untuk menerima itu.

Puncak dari proses perkabungan yang kurasa akan sulit untuk dihadapi adalah ketika kebaktian tutup peti karena saat itulah…saat terakhir kali aku dapat melihat tubuh jasmani papaku. Air mata yang keluar, kuyakini bukan berarti aku tidak beriman. Air mata bagiku adalah hal yang wajar sebagai akibat dari rasa sedih yang aku rasakan karena kehilangan papa.

Ternyata hari-hari terasa  lebih berat setelah segala proses/upacara perkabungan usai. Tinggal di rumah adalah waktu-waktu yang amat menyakitkan. Melihat ruang kerjanya, kamarnya, barang-barang dan buku-buku miliknya, dapat membuat air mata mengalir begitu saja. Foto keluarga yang ada di dinding pun membuat rasa kehilangan itu makin terasa.  

Aku sungguh tidak tahu pada waktu itu harus berbuat apa untuk mengatasi rasa duka ini. Satu hal yang kutahu yaitu jika aku merasa sedih, aku akan menangis yang kupikir sebagai cara untuk mengekspresikan kesedihan itu. Biasanya setelah menangis, ada kelegaan.

Perasaan duka masih terus terasa, namun kehidupanku  harus terus berjalan. Aku berusaha untuk memfokuskan diri pada tugas-tugas studiku yang sempat tertinggal karena aku tidak masuk selama beberapa hari. Namun aku mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi. Tugas-tugas yang begitu banyak membuat aku putus asa kalau-kalau aku dapat menyelesaikan studiku yang tinggal sedikit lagi.  

Suatu malam yang menyakitkan timbul kembali yaitu pada malam natal dan malam tahun baru dimana biasanya, kami sekeluarga ke gereja bersama dan mengadakan doa malam bersama di akhir tahun. Namun tahun ini, keadaan sudah berubah dan aku masih dalam proses menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ini. Pada malam hari-hari tersebut, aku di kamar menangis, berdoa, dan menulis surat atau ungkapan hatiku kepada papa. Itu membuat aku lega.

Satu hal yang membuat ku bahagia adalah pada tanggal 19 Februari 2002, aku dinyatakan lulus. Di samping rasa bahagia tersebut, ada pula rasa sedih karena papa ku tidak sempat melihat anaknya berhasil meraih cita. Setelah studiku selesai, hal yang harus kupikirkan adalah mengenai pekerjaan dan mencari tempat tinggal. Hal-hal tersebut membuatku semakin tertekan. Air mata banyak mengalir di malam hari ketika aku merasa tidak yakin akan mampu menjalani kehidupan selanjutnya, terutama pada saat anak-anak papa belum benar-benar bisa mandiri secara ekonomi.

Saat-saat itu…saat yang tidak mudah untuk dilalui….aku seringkali rindu papa, ingin sekali bisa cepat berkumpul kembali dengannya, bahkan ada rasa putus asa dan ingin segera bersatu dengan papa di surga. Aku menemui kesulitan mendapatkan seorang teman untuk saling berbagi, saling menguatkan, saling mendukung, saling mendoakan. Aku takut untuk terbuka kepada orang lain karena….. ungkapan-ungkapan atau pemikiran-pemikiran logis yang dilontarkan orang terhadap rasa duka dan pergumulan yang aku hadapi….acapkali membuat aku merasa tidak dimengerti dan lemah iman.  Padahal ketika aku sharing….. yang aku butuhkan hanyalah sepasang telinga yang bersedia untuk mendengar…… 

Kini, pergumulan demi pergumulan terjawab…..datang dan pergi……, bergumul kembali atas hal-hal yang lain. Makin hari makin kurasakan kasih Tuhan. Sampai detik ini, kami sekeluarga tidak terlantar dan aku imani itu karena Tuhan yang memelihara hidup kami sekeluarga. Ya memang benar…Sumber Daya Manusia Sumber itu terbatas, sedangkan Sumber Daya Tuhan tidak terbatas………..Duka yang ada kuyakin pasti akan sirna.

Banyak perkara yang tak dapat kumengerti
Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini?
Satu hal kuyakin dan kusimpan dalam hati
Tiada sesuatu kan terjadi tanpa Allah Peduli

Allah mengerti, Allah peduli,
Segala persoalan yang aku hadapi.
Tak akan pernah dibiarkanNya
Ku bergumul sendiri, sebab Allah peduli.
Di bukaNya jalanku sebab Allah mengerti.

- Yanthi AH, April 2002 -

Sabtu, 09 Maret 2013

Referensi Musik Gereja dari Sahabat

Saya bersyukur kalau ada banyak Sahabat yang concern dengan musik gereja kita, diantaranya adalah GKI Harapan Indah dan Bapak Lukas Wiryadinata (dari GKI Wongsodirjan). Mereka telah post di internet tentang musik gereja kita (KJ, PKJ, dan NKB) yang free download yang tentu sangat membantu kita dalam meningkatkan pelayanan musik bahkan pelaksanaan peribadahan.
GKI Harapan Indah telah menyalin semua teks KJ, PKJ, dan NKB yang dapat kita copas untuk memudahkan kita dalam menyusun buku tata ibadah, bahkan menyisipkan sound clip nya sehingga kita mengetahui bagaimana bunyi lagunya.
Sementara Bapak Lukas Wiryadinata telah membuat tampilan not angka yang dapat kita ambil untuk tayangan multimedia.
Luar biasa hasil karya mereka ini, dan saya pun akan mencoba berkontribusi melalui sharing akord yang akan terus saya publikasikan di dalam blog saya ini.

Berikut link-nya:












Kidung Jemaat:
http://www.gkiharapanindah.org/download/rekap-kidung-jemaat/












Pelengkap Kidung Jemaat












Nyanyikanlah Kidung Baru

Mari terus berkarya di ladangNya, karena tidak ada yang percuma di dalam ministry kita.
Salam berdaya!

Kamis, 07 Maret 2013

CSS - Doa 2

Matriks CSS
DOA BERSAMA

Setelah kita membahas tentang 'doa pribadi' kini kita lanjutkan membahas hal yang kedua, yaitu: doa bersama.

Di depan saya sudah menjelaskan tentang satu hal yang paling membedakan antara doa pribadi dan doa bersama, yakni: inisiatornya. Doa pribadi inisiatornya adalah masing-masing pribadi, sehingga bisa menjadi indikator tingkat spiritualitas umat, sedangkan doa bersama inisiatornya adalah tata ibadah atau pemimpin ibadah (liturgos atau pendeta). Nah karena bersifat ajakan, maka perlulah doa bersama ini diatur sedemikian rupa sehingga tidak menjadi aktivitas ibadah 3B: basa-basi basi! Tidak cukup umat di 'brainwash' ttg apa itu doa atau pentingnya doa (sehingga mereka rajin berdoa dan mau berdoa dengan sungguh-sungguh). Faktanya begitu banyak umat yang berdoa sekedar LTD: (L)ipat tangan, (T)unduk kepala, dan (D)engar liturgos/pendeta berdoa.... dan tak jarang sampai.... (T)idurrr. Mungkin baik juga doa itu 'diperagakan' seperti saudara kita umat Muslim, sehingga tidak sekedar LTD bahkan menjadi LTDT.

Saya tidak sedang mengarahkan topik ke 'peragaan doa' (baru-baru ini di sebuah pertemuan raya pelayan ibadah sinode, memang ada workshop tentang peragaan doa, silakan saja selama hal itu membantu umat untuk berdoa dengan lebih baik). Tetapi doa bersama memang perlu diatur dan disiapkan dengan baik agar mengurangi kecenderungan negatif seperti tersebut di atas.

Pengaturan dan penyiapan doa bersama tersebut akan menyangkut 3 hal:
1. Alasan Doa
2. Keterlibatan Umat
3. Suasana

Alasan Doa
Mengapa kita perlu berdoa? Saya pikir hal ini perlu disepakati di awal doa bersama. Sebuah introduksi singkat, penayangan poin-poin pergumulan jemaat/masyarakat, bahkan sebuah ulasan atau video singkat yang menggambarkan 'sesuatu yang perlu didoakan' merupakan sebuah awal doa yang baik. Apabila kondisi tidak memungkinkan atau karena minimnya persiapan, minimal dalam kata-kata pertama disampaikan hal 'alasan doa' ini.
Saya beri contoh tentang Doa Pengakuan Dosa.
Janganlah langsung mengajak umat untuk berdoa secara pribadi untuk mengakui dosa masing-masing, atau langsung mengatakan: 'Tuhan, dalam seminggu ini kami telah berbuat banyak dosa dan kesalahan...dst'. Percaya saya, umat terkadang tidak tahu DOSA APA YANG MUSTI SAYA AKUI DAN SESALI! Saya pernah dengar seorang pendeta yang berkata bahwa di GKI itu setiap minggu ada doa pengakuan dosa sehingga Tuhan pun bingung musti mengampuni dosa yang mana lagi! Itu pernyataan orang yang tidak tahu dosa dan keberadaan dirinya yang penuh dengan dosa, dan sebuah cerminan yang bagus atas kondisi real di jemaat. Ya memang seperti itulah kenyataannya, bahwa umat - bahkan pendeta/penatua - pun lupa atau tidak tahu akan lumuran dosa-dosanya yang begitu melekat dan begitu banyak itu! Itulah sebabnya, sebelum doa pengakuan dosa dinaikkan, cobalah menayangkan gambar-gambar atau video yang menggambarkan dosa disekeliling kita, seperti: suap, pelacuran, perjudian, perusakan lingkungan, pertengkaran, dsb, lebih baik lagi kalau tayangan tersebut related dengan tema ibadah. Misalnya tema ibadah tentang: Kebaikan yang dibalas dengan Kejahatan. Coba mencari tayangan yang mencerminkan hal itu, sebuah short movie atau gambar yang membuat umat berpikir: apakah saya juga melakukan hal itu? Atau... Minimal sekedar dikatakan, bahwa seringkali kita berbuat jahat kepada orang tua yang telah mengasihi kita, atau meng-korupsi perusahaan yang telah memberi kita gaji dan tunjangan-tunjangan setiap bulannya, atau menipu pelanggan setia kita dengan menjual barang-barang yang kurang berkualitas... Gambarkan alasan doa, maka umat akan bisa masuk ke dalam atmosfir doa yang lebih 'pas' dan bermakna.

Keterlibatan Umat
Saya sering merasa iri dengan umat di beberapa gereja Kharismatik yang sangat involve dalam doa bersama, yang ditunjukkan dengan ekspresi-ekspresi yang terkesan bebas, spontan, dan mandiri, seperti menangis, mengangkat tangan, ikut berkata-kata (termasuk dengan apa yang mereka yakini sebagai 'bahasa lidah'), melompat-lompat, dan lain sebagainya. Praktek-praktek doa seperti itu jelas tidak boleh di copas di gereja Protestan atau Reformed seperti GKI, karena ada pendasaran Alkitabiah yang jelas yang mengatur praktek ibadah seperti itu (tidak saya bahas disini, mungkin di lain kesempatan).
Tetapi kita perlu mencontoh spirit involvement-nya: doa bersama perlu rasa kebersamaan, yaitu adanya keterlibatan umat.
Umat tidak boleh sekedar LTD atau LTDT dalam doa bersama. Umat perlu merasa 'connected' dengan doa bersama, dan hal ini perlu diperhatikan secara serius agar gereja kita tidak terjebak pada formalitas dan seremonitas yang dibenci Tuhan, karena penuh dengan kepura-puraan (baca Matius 23:14) atau karena kurang sungguh-sungguh (baca Wahyu 3:15-16).
Nah sekarang, bagaimana caranya agar umat 'terlibat'?
Sebetulnya simpel saja: percayakan umat untuk memimpin doa bersama!
Pendeta atau liturgos atau penatua janganlah 'menguasai' doa. Apa yang bisa dilakukan umat, delegasikan kepada mereka!
Apa misalnya?
Doa persembahan misalnya. Setelah persembahan umat dikumpulkan oleh kolektan, silakan minta salah seorang kolektan untuk berdoa syukur atas berkat Tuhan. Jangan penatua lagi yang berdoa.
Contoh lainnya: doa syafaat. Nah, doa ini bisa 'menjaring' banyak keterlibatan umat. Ada berapa pokok doa syafaat? 5 pokok doa? Minta 5 orang umat untuk maju ke depan dan masing-masing memimpin satu pokok doa! Itu saja! Simpel kan?
Walah... Mana mau umat disuruh-suruh begitu. Ntar bukannya umat merasa terlibat, malah bisa kapok dan ngabur ke gereja lain yang lebih santai.
Saudara, setiap perubahan pasti akan ada pro dan kontra. Ada umat yang suka dan benci. Tapi bila perubahan itu adalah perubahan yang baik, maka yang pergi akan lebih sedikit ketimbang yang datang. Mungkin gereja akan sedikit 'guncang' dengan perginya tokoh-tokoh berduit ke gereja lain yang lebih suka jemaatnya LDT atau LTDT (karena yang penting uangnya masuk...). Tapi percaya saya, lewat pelibatan umat dalam pelayanan dan ibadah, maka Tuhan akan mempercayakan lebih banyak umat ke gereja Anda. Mengapa? Karena gereja Anda concern kepada pertumbuhan spiritualitas domba-dombaNya! Umat yang diminta terlibat dalam menaikkan doa pasti lebih bertumbuh spiritualitasnya ketimbang umat yang LTD bahkan LTDT. Saya sangat yakin akan hal itu! Silakan debat saya kalau Anda tidak setuju!
Betulnya hal 'membangun keterlibatan umat' ini dapat pula ditempuh dengan banyak cara, seperti membuka kesempatan umat untuk berdoa dengan cara membuka suara, saling mendoakan antar pasangan atau dengan sesama umat yang duduk bersebelahan, atau bahkan melalui doa yang diperagakan (meskipun saya agak kurang yakin dengan manfaatnya, karena peragakan ini terlalu diatur, tidak spontan, bahkan bisa menjadi formalitas dan seremonitas). Silakan dipikirkan bagaimana membuat umat menjadi terlibat. Saya hanya menyarankan hal tersebut (yaitu memberi kesempatan kepada umat untuk memimpin doa) supaya lebih fokus dan bisa bertahap: pertama-tama yang ditunjuk untuk memimpin doa adalah mereka yang memang sudah terbiasa, selanjutnya berangsur-angsur umat yang lain dilibatkan sebagai pemimpin doa. Wah, kalau semua umat pernah mendapat kesempatan memimpin doa, bahkan dijadwal secara teratur, saya yakin akan ada  gerakan Roh Kudus yang terjadi di gereja Anda! Di akhir ulasan ini saya akan mengusulkan sebuah struktur dosa syafaat yang mungkin dapat digunakan untuk mewujudnyatakan hal ini.

Suasana
Diawal sekali saya sudah mengatakan bahwa sekalipun kita bisa berdoa kepada Tuhan dimana saja dan kapan saja, tetapi seharusnyalah moment doa di gereja merupakan moment doa yang terbaik, saat umat secara bersama-sama berdoa. Ini mustinya menjadi pengalaman spiritual yang powerful dan meneguhkan, asal dilakukan dengan benar. Kalau ada seorang yang tidak merasa butuh berdoa, tetapi masuk ke dalam gereja yang 99% umatnya berdoa dengan sungguh-sungguh, pastilah orang tersebut pun akan terinspirasi untuk berdoa dengan sungguh-sungguh. Tapi kalau yang dia lihat adalah umat yang tidak berdoa, hanya LTD bahkan LTDT, maka moment doa itu menjadi moment yang menghancurkan semangat dan motivasi yang bersangkutan untuk menjadi pendoa yang sungguh-sungguh.
Selain faktor alasan dan keterlibatan, faktor suasana juga cukup mendukung keberhasilan doa bersama yang inspiratif.
Saya ingin mengusulkan beberapa hal untuk membentuk suasana doa yang baik:
1. Bentuk Tim Doa dan sebarkan mereka di tengah-tengah umat yang beribadah, supaya mereka bisa menjadi contoh dan teladan bagi umat di sekitar mereka untuk berdoa dengan benar. Semakin banyak gereja memiliki anggota Tim Doa, semakin baik. Bagaimana pun juga, umat memerlukan keteladanan dari sesama umat yang terdekat, ketimbang mencontoh pendeta atau penatua yang duduk jauh di depan, bahkan yang di 'first seat'
2. Ruangan jangan terlalu terang dan berisik. Pemanfaatan dimmer untuk meredupkan lampu, dan instrumentalia teduh sebagai pengantar doa merupakan sebuah ide yang perlu dipikirkan secara serius. Dalam ibadah malam, pemanfaatan lilin yang dipasang di panggung dan beberapa lokasi yang aman di antara jemaat (untuk menggantikan lampu PLN) juga menjadi sebuah pembentuk suasana doa yang baik. Buat juga peraturan yang tegas, bahwa saat doa dinaikkan maka umat tidak boleh keluar masuk ruangan, artinya kalau pas ada umat yang ke toilet atau terlambat datang, maka ybs harus menunggu di luar ruangan sampai doa selesai dipanjatkan. Ini juga untuk menegaskan bahwa masalah doa itu tidak boleh dianggap main-main.
3. Susunlah struktur doa, terutama untuk doa syafaat. Doa yang cukup panjang dengan beberapa topik perlu disusun sedemikian rupa sehingga 'tidak bikin tidur'. Disini saya coba mengusulkan sebuah struktur doa syafaat yang mungkin dapat menjadi sebuah variasi doa:

Struktur Doa Syafaat
1. Pujian pengantar doa syafaat
2. Pendeta menaikkan doa seputar visi dan misi pelayanan gereja yang sedang dikembangkan
3. Pujian
4. Tiga kali calling untuk didoakan secara khusus (misalnya: bersyukur, keutuhan keluarga, sakit, pengampunan, keuangan, kehilangan, dll)
5. Pujian
6. Umat yang ditunjuk memimpin doa untuk pokok-pokok doa yang telah ditetapkan sebelumnya, seperti umat yang berulang tahun, yang sakit, suka-duka, pergumulan masyarakat, negara, bahkan dunia (lebih baik bila datanya ditayangkan)
7. Pujian
8. Penutup oleh Pendeta.

Selamat mempraktekkan dan salam berdaya!

Kamis, 21 Februari 2013

CSS: Doa 1

Matriks CSS
Dalam kuadran kedua, kita akan berbicara mengenai 'doa'. Seperti halnya khotbah, doa pun merupakan bagian yang penting dalam suatu peribadahan. Di gereja saya, ada cukup banyak doa dalam ibadah, yaitu:
  • doa pribadi diawal dan akhir ibadah
  • doa pengakuan dosa
  • doa sebelum khotbah (epiklesis)
  • doa sesudah khotbah (yang ini opsional bisa juga diisi saat hening, instrumentalia, atau altar call)
  • doa syafaat
  • doa persembahan
Dan dalam ibadah-ibadah khusus, jumlah doa nya bisa lebih banyak lagi.
Saya tidak akan membahas mengenai doa-doa seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam ibadah, namun lebih kepada: bagaimana doa itu menjadi sebuah moment yang dirindukan, sebagai sebuah kesempatan untuk berbicara kepada Tuhan dan bukan sekedar menjadi sebuah urutan dalam tata ibadah.

Dalam kisah penahbisan Bait Allah oleh Raja Salomo yang tercatat dalam kitab 1 Raja-Raja pasal 8, kita membaca bahwa doa yang dinaikkan dalam Rumah Tuhan (dalam hal ini adalah Bait Allah Yerusalem) adalah doa yang 'spesial' dan 'didengar' bahkan 'niscaya dijawab/dikabulkan' oleh Tuhan (dari pemahaman ini muncul konsep kiblat dalam agama Yahudi, baca 1 Raja 8:30, 48). Dalam Perjanjian Baru, konsep 'doa di Rumah Tuhan' itu diluaskan sehingga tidak merujuk pada Bait Allah Yerusalem saja, yaitu:
  • berdoa/menyembah dalam roh dan kebenaran (baca Yoh 4:24 ), artinya berada dalam dimensi yang tidak terikat pada tempat/lokasi, waktu dan seremoni tertentu
  • tubuh kita disebut sebagai Bait Roh Kudus (baca 1 Kor 6:19), artinya Tuhan begitu dekat dengan kita sehingga kita dapat memanggil namaNya kapan dan dimana saja, selain juga mengandung pengertian bahwa kita harus menjaga kekudusan hidup kita.
Ada kalangan yang secara keliru menafsirkan kedua hal diatas sebagai pembenaran atas kemalasan mereka untuk tidak datang beribadah ke gereja, bahkan untuk berdoa. Untuk apa lagi ke gereja, kan kita ini sendiri Bait Roh Kudus? Bahkan ada yang memandang gereja sebagai kelanjutan dari konsep Bait Allah Yerusalem yang sudah  'dirombak' Tuhan Yesus (dan yang dibangunkan kembali di dalam diriNya melalui kuasa kebangkitanNya, baca Yoh 2:19-22)
Ini jelas pemikiran yang nggak benar dan - tentu saja - tidak Alkitabiah. Mengapa? Saya bisa menyebutkan banyak alasan, tetapi saya sebutkan 2 saja:
  1. Komunitas Kristen perdana selalu beribadah di dalam Bait Allah Yerusalem, selain ibadah di rumah-rumah (baca Kis 2:46)
  2. Adanya sebuah ajakan untuk tidak menjauhkan diri pertemuan-pertemuan ibadah (baca Ibrani 10:25)

Memang kita sudah tidak perlu lagi beribadah di Bait Allah Yerusalem yang saat ini sudah tidak ada lagi. Tidak perlu jauh-jauh datang ziarah ke Yerusalem untuk sekedar menyampaikan suatu doa atau permohonan kepada Tuhan, karena kita yakin bahwa dimanapun juga kita berdoa maka Tuhan pasti mendengar dan mengabulkan doa yang seturut dengan kehendakNya. Namun aktivitas 'berdoa di Rumah Tuhan' tetaplah merupakan aktivitas ibadah yang perlu kita lakukan dengan sebaik-baiknya. Mengapa? Bukan karena doa di Rumah Tuhan itu lebih ampuh/mujarab dan kemungkinan terkabulnya lebih besar, tetapi karena di gerejalah (seharusnya) kita menemukan moment doa yang terbaik! Doa memang dapat dilakukan sendiri di dalam kamar yang tertutup (baca Matius 6:6). Tetapi manusia seringkali membutuhkan contoh, motivator, bahkan teladan dari orang lain dalam menjalankan aktivitas doa, dan itu dapat ditemukan dalam ibadah doa di gereja. Bagaimana pun berdoa bersama-sama dengan orang lain dapat lebih memotivasi ketimbang berdoa seorang diri, betul? Untuk itulah dalam bagian-bagian berikut ini kita akan membahas hal ini, yaitu doa pribadi dan doa bersama di dalam gereja, serta sebuah usulan untuk memodifikasi doa syafaat.

DOA PRIBADI

Apa bedanya doa pribadi dan doa bersama?
Beda yang paling jelas adalah dalam hal inisiatif: doa pribadi merupakan inisiatif pribadi (karena memang saya ingin/butuh berdoa), sedangkan doa bersama merupakan inisiatif tata ibadah (ya memang urutannya tata ibadahnya begitu) atau inisiatif pemimpin ibadah (liturgos/pendeta).
Mengapa perlu saya bedakan antara doa pribadi dan bersama? Kan sama-sama doa...
Bagi saya, masalah 'inisiatif doa' ini perlu kita perhatikan karena menjadi sebuah cermin dari suatu kondisi bergereja yang lebih besar dan krusial.

Ada banyak momen doa pribadi dalam suatu ibadah. Masalahnya: tidak semua orang mau memanfaatkan momen tersebut. Mengapa? Simpel saja: karena memang tidak butuh! Dan saya yakin mereka pun tidak pernah - atau jarang - berdoa pribadi di rumah.
Sebetulnya sangat disayangkan kalau gereja gagal 'membentuk' umatnya menjadi umat yang gemar berdoa, atau malah sebaliknya, gereja 'berhasil' membentuk umat yang nggak butuh berdoa, bahkan skeptis dengan doa. Semoga tidak pernah terjadi yang demikian! Namun saya pribadi memiliki 'kekuatiran' bahwa memang ada umat yang tidak bisa, tidak butuh, atau tidak mau berdoa!
Saya pernah mendengar sharing seorang ibu tentang anaknya yang bergereja di sebuah GKI. Anaknya sampai remaja nggak bisa berdoa, dan memang nggak ada seseorang yang membimbing anak tersebut dalam hal pertumbuhan spiritualitas. Nah, parahnya, anak tersebut kemudian pindah ke sebuah gereja kharismatik dan sekarang dia sangat pintar berdoa, rajin membaca Alkitab, bahkan terpanggil untuk menjadi pelayan fulltime di gereja tersebut. Ini kan parah banget, karena menunjukkan bahwa 'gereja kharismatik itu' ternyata lebih mampu membangun spiritualitas umatnya ketimbang 'sebuah GKI itu' (saya tidak menunjuk ke semua GKI, karena ada banyak GKI yang concern dengan pertumbuhan spiritualitas umatnya).
Apa yang mau saya sampaikan disini? Singkatnya: umat yang sadar/haus/tahu berdoa adalah merupakan cermin dari  pembinaan spiritualitas gereja tersebut! Dengan kata lain: doa pribadi merupakan sebuah akibat, bukan sebab dari sebuah pembinaan spiritualitas. Dan pembinaan spiritualitas merupakan sebuah indikator dari maju-mundurnya sebuah gereja (baca lagi bagian-bagian sebelumnya). Coba lihat, berapa banyak umat yang sungguh-sungguh berdoa dalam momen doa pribadi, disitu akan terindikasi gereja tersebut akan terus bertumbuh atau mengering.
Jadi, berbicara tentang 'doa pribadi' kita tidak cukup menghimbau, berkhotbah, atau mewartakan tentang gerakan doa. Perlu, tetapi tidak cukup. Diperlukan sebuah keteladanan dan hati yang sungguh-sungguh rindu untuk membawa umat menjadi lebih maju spiritualitasnya.

Lalu, bagaimana caranya agar umat dapat lebih maju spiritualitasnya? Menjadi sebuah problem bagi banyak gereja, saat acara-acara bina spiritualitas kekurangan peminatnya. Katakanlah hanya sekitar 10% sampai 20% umat yang mau mengikuti acara pembinaan. Sisanya sudah merasa cukup dengan mengikuti ibadah minggu.
Saya pikir tidak ada yang salah dengan keadaan itu. Tidak masalah 10% atau 20%. 1% bahkan satu dua orang pun tidak menjadi masalah, sepanjang mereka benar-benar terbina! Terkadang acara pembinaan lesu peminat karena memang acara dan materinya kurang greget. Kalau ini masalahnya, ya selesaikanlah dulu masalah 'kurang greget' itu supaya bisa 'lebih greget'. Tapi kalau pembinaan sudah dilakukan dengan maksimal tetapi peminatnya masih minim, saya sarankan untuk tetap melanjutkan dengan sukacita dan bersyukur. Ada banyak gereja besar yang dimulai dari satu dua orang (dan dengan dana nyaris Rp 0,-) namun karena konsistensi, hati yang sungguh rindu untuk berbagi Firman Tuhan, dan komitmen yang besar dari satu dua orang itu untuk membangun Rumah Tuhan, maka dapat terhimpunkan sejumlah besar orang untuk bergabung. Loh ini kan curi domba? Jadi boleh dong? Itu beda, Saudara. Yang disebut 'curi domba itu contohnya:  menjemput umat yang baru selesai beribadah di suatu gereja untuk 'lanjut' beribadah ke gereja lain, atau PDKT ke aktivis/tokoh/domba gemuk untuk pindah ke gereja lain dengan iming-iming uang/jabatan/first seat, hingga - yang paling sering terjadi - menjelek-jelekkan gereja lain sebagai GKI (Gereja Kurang Iman), GKU (Gereja Kurang Urapan), dsb. Itu yang disebut curi domba yang - saya yakin 100% - berasal dari Iblis yang membawa roh pemecah (baca Gal 5:19-21).

Saya paling anti dengan aktivitas curi domba. Tapi kita jangan lupa, bahwa domba-domba itu bukan milik kita. Domba-domba itu 100% milik Tuhan, dan Tuhan juga memperhatikan 'kandang'nya yaitu gereja tempat domba-domba itu dipelihara. Kalau 'kandang'nya ternyata hanya sanggup memelihara 100 domba dan bukan 1000 domba, ya pastilah Tuhan akan memindahkan 900 domba itu ke 'kandang' lain yang lebih mampu, dan menyisakan 100 domba di 'kandang' yang lama. Atau bila sebuah 'kandang' sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi pemeliharaan domba, maka seekor domba pun tidak akan Ia biarkan 'tersesat' di 'kandang' tidak bermutu itu! Biarkan Tuhan yang empunya domba-domba itu yang menentukan perpindahan domba, hal ini akan jelas terlihat dalam 'proses'nya yang berjalan dengan wajar tanpa harus memakai 'strategi curi domba' yang macam-macam. Saya berharap Saudara dapat membedakan kedua hal ini.
Gereja saya termasuk gereja yang pernah mengalami penurunan jumlah umat sebesar hampir 50% dalam tempo 10 tahun. Dalam masa-masa 'suram' itu, segala daya upaya dilakukan untuk menahan laju 'kejatuhan', sampai-sampai memanggil pengkhotbah dan pendeta konsultan dari luar GKI, mungkin anggapan orang saat itu bahwa pendeta non GKI  lebih mampu dan lebih punya 'urapan' ketimbang pendeta GKI sendiri (ini mungkin, karena pada masa-masa  itu saya belum berada di dalam struktur kemajelisan). Namun tetap saja upaya itu tidak sanggup menahan lajunya 'kejatuhan'. Namun puji Tuhan pengalaman itu membuat kami belajar mengenai: bagaimana kami menyelenggarakan sebuah gereja yang lebih berkenan kepadaNya, sehingga Ia pun mulai mempercayakan kembali domba-dombaNya untuk dipelihara di dalam gereja kami. Meskipun saat BUSA ini ditulis gereja saya belum sepenuhnya mengalami 'pemulihan', namun saya dan segenap pengurus gereja telah melihat sebuah track yang begitu jelas akan masa depan bergereja yang lebih baik. Dan untuk hal itulah buku ini ditulis, sebagai sebuah sharing pengalaman dan pemikiran yang mungkin berguna untuk membangun environment bergereja yang lebih baik.

Ulasan ini memang jadi panjang, tetapi saya berharap gereja-gereja mulai lebih memikirkan dan membangun sebuah blue print pembinaan spiritualitas yang baik dan diminati, sehingga tercermin melalui kegairahan umatnya dalam berdoa.