Keren ya namanya: Church Success Square, disingkat CSS.
Ini bukanlah topik tentang gereja sukses seperti yang dianut oleh para guru sukses ataupun teolog/pengkhotbah kemakmuran. Dijauhkanlah saya dari memegang teologi yang Tidak-Alkitabiah seperti itu!! (Mengapa saya 'hakimi' sebagai 'Tidak-Alkitabiah? Mudah-mudahan di Busa yang lain saya akan membahasnya, nggak sekarang)
CSS adalah sebuah konsep bergereja yang terutama ditujukan untuk meng-streamline peribadahan agar dapat lebih 'sukses' dalam pelaksanaannya.
Supaya dapat lebih jelas, Saya ingin menjelaskan 2 background munculnya konsep CSS ini:
Pertama:
Saat Busa ini ditulis, saya sedang dipercaya Tuhan untuk menjabat sebagai penatua dan Ketua Bidang Kebaktian di sebuah GKI di Jakarta.
Sebagai Ketua Bidang Kebaktian, saya merasa prihatin dengan kondisi kebaktian di gereja saya yang terus mengalami kemerosotan jumlah pengunjung ibadah dalam 10 tahun terakhir. Dulu, rata-rata pengunjung kebaktian adalah 800 orang, sekarang tinggal separuhnya...
Berbagai cara sudah diupayakan untuk mem-blok penurunan itu dan membalikkan tren-nya, mulai dari memanggil konsultan yaitu pendeta dari gereja seazas yang kami anggap lebih maju, mendatangkan pendeta-pendeta dari luar GKI yang konon khotbahnya lebih menarik dan berisi (ternyata nggak juga sih), menciptakan suasana ibadah yang lebih inspiratif melalui musik, ushering, maupun multimedia yang makin berkualitas... Nggak berhasil juga! Sehingga akhirnya Tuhan memberi petunjuk kepada saya untuk menggarap 4 sektor peribadatan yang saya beri label CSS ini. Apakah CSS telah terbukti menjadi 'obat manjur' bagi 'penyakit' gereja saya, yang mungkin dapat menyembuhkan 'penyakit' gereja Anda juga? Jawabnya: mari bersama-sama kita buktikan, karena memang belum pernah dibuktikan kesaktiannya! Buka rahasia saja, saat saya menulis pengantar CSS ini, saya baru sebulan menemukan, memikirkan, dan memformulasikan konsep ini. Tapi, saya punya keyakinan bahwa CSS ini merupakan sebuah jawaban, lebih bagus ketimbang hanya sekedar mengeluh, bertanya, bahkan menyerah atau apatis.
Kedua
Sejak peluncuran buku saya yang pertama mengenai 'Tiga Dimensi Keesaan dalam Pembangunan Jemaat' yang mengerucut pada konsep ACHIEVE (Active - Contemplative Worship, Healing - Inspiring Ministry, Ecclesial Reforming, Value-Added Life, dan Encounter with God) ), muncul sebuah pertanyaan besar: bagaimana cara menerapkannya? Ada sebuah missing link antara teori itu dengan daya aplikatifnya yang secara mudah dan masuk akal dapat diterapkan. Selain itu memang diperlukan adanya sebuah program pendahuluan untuk menciptakan sebuah landasan awal bagi bangunan Pembangunan Jemaat (PJ) yang dicita-citakan. Bagaimanapun juga, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum PJ dapat dipahami sebagai sebuah 'kebutuhan bersama'. Istilahnya: UPSA (untungnya buat saya apa) atau UPKA (untungnya buat kita apa).
PJ sebagai sebuah teori yang muncul di lingkungan sosiolog sebagai wujud keprihatinan akan kemerosotan gereja di Barat, memang belum mampu mendongkrak kehidupan bergereja yang lebih bergairah di sana.
Hal yang sama jangan sampai terjadi dengan wacana PJ di gereja-gereja Indonesia: sekedar menjadi barang antik, alias pajangan, yang nggak terlalu dibutuhkan, atau - lebih parahnya - hanya sekedar pilihan mata kuliah di seminari untuk sekedar menambah poin kelulusan bagi seorang mahasiswa teologi!
Saya menyusun CSS bukan untuk menjadi sebuah barang antik, namun untuk menjadi sebuah pembuka jalan bagi PJ yang penting dan perlu bagi kehidupan bergereja yang sehat dan berguna (dalam bahasa standarnya: vital dan menarik).
Pertanyaannya: apakah CSS sebagai sebuah konsep peribadahan memang berkapasitas dan berkompeten sebagai pembuka jalan - bahkan penyusun landasan - bagi PJ yang cakupannya luas sekali? Di gereja saya, bahkan urusan ibadah dan PJ diurusi oleh dua bidang pelayanan yang berbeda.
Jawabnya: bisa dan memang PJ harus dimulai dari peribadahan! Mengapa? Karena jemaat yang ber-PJ adalah jemaat yang (tentunya) beribadah, betul? Bagaimanapun juga, alasan pertama kita datang ke gereja adalah karena ingin beribadah. Dari ibadah inilah jemaat dapat diarahkan untuk naik level ke tingkat spiritualitas berikutnya, yaitu PJ, dimana didalamnya terkandung unsur: hidup ibadah yang holistik (tidak hanya ibadah liturgis belaka), pelayanan kepada sesama, rasa memiliki untuk turut mengembangkan gereja, hingga akhirnya secara personal dan bersama menjadi saksi melalui hidup yang bernilai tambah dan yang 'mengalami Tuhan'.
Itulah sebabnya CSS memang related dengan PJ, karena melalui peribadahan yang 'sukses' maka PJ yang membuat gereja menjadi 'sehat' dan 'berguna' adalah sebuah keniscayaan.
Semoga terwujud yang demikian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar