Minggu, 09 Desember 2012

Pohon Natal tanpa Lampu Natal

Bagian ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan. Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami: militiachristi2010@gmail.com 


 A Christmas Tree without Light
(Sebuah perziarahan dalam mencari makna kehidupan dan kematian)

Tentu kita semua sudah tahu tentang 7 hari penciptaan seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian.

Hari pertama Tuhan menciptakan terang. Terang itu bukanlah sembarang terang, karena terang itu ada TANPA adanya benda penerang (karena benda-benda penerang baru tercipta pada hari ke-4), bahkan terang itu sanggup mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan (yang sudah tercipta lebih dahulu, yaitu pada hari ke-3). Saya pernah membaca tulisan seorang skeptik tentang hal ini, yaitu: bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan tercipta lebih dahulu ketimbang benda penerang? Ya mati dong... Dia lupa bahwa di hari pertama  sudah ada terang. Kalau sekarang ini manusia sudah bisa menciptakan terang matahari buatan yang sanggup menumbuhkan tanaman, apalagi Tuhan - Sang Pencipta - Ia pasti sanggup menciptakan terang yang bukan berasal dari benda-benda penerang seperti yang manusia kenal saat ini yang sanggup menumbuhkan tanaman! Terang itu adalah Terang Ilahi, Divine Light, yang menjadi sebuah awal dari terciptanya alam semesta dan segenap penghuni bumi. Terserahlah orang mau menghubungkannya dengan teori Big Bang-nya Hawking, bagi saya Terang itu merupakan sebuah terobosan yang Tuhan lakukan untuk membuat dari yang kacau dan gelap itu menjadi sesuatu keberadaan yang 'sungguh amat baik', yakni segenap ciptaanNya (Kej 1:31).

Setelah 7 hari penciptaan selesai, Tuhan melanjutkannya dengan menciptakan suatu keluarga Allah yaitu dalam diri manusia debu tanah (adamah) dan perempuan (Kej 2:7,23) sebagai pasangan yang sepadan (Kej 2:18). Apakah mereka ini 'ciptaan baru' yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan pada hari ke-6 (Kej 1:27), atau merupakan awal dari mereka semua itu? Ini tentu mengundang banyak opini dan perdebatan. Namun bagi saya, pikiran utamanya adalah: Tuhan menganggap keluarga sebagai hal yang penting. Keluarga menjadi sebuah terobosan di tengah persoalan kesendirian manusia. Saat ini, ada begitu banyak orang yang sendiri dan kesepian... Keluarga dan dukungan keluarga-lah solusinya! Keluarga diharapkan dapat berperan secara lebih optimal di jaman yang penuh persoalan dan ketidakpedulian ini.

Namun dalam perjalanan hidupnya, keluarga Allah ini mengalami jatuh ke dalam dosa, sehingga menimbulkan 'produk baru' yang bernama: kematian (Kej 2:16-17). Kematian adalah upah dosa, sebuah kutuk yang menjalar bagaikan kanker ke seluruh umat manusia. Namun syukur kepada Tuhan, bahwa 'keturunan perempuan' sudah mengalahkan Iblis yang mengikat manusia dalam dosa (Kej 3:15). Tuhan Yesus adalah Sang Terang - Devine Light - yang menerobos kacau dan gelap-nya dosa dan mengangkat manusia (yang dipilih untuk percaya kepadaNya) untuk kembali menjadi ciptaan yang 'sungguh amat baik'. Apakah manusia lantas terbebas dari kematian? Jelas tidak, mana ada manusia yang tidak bisa mati?! Namun kematian di dalam Kristus tidak lagi dipandang sebagai kutuk dan upah dosa, tetapi menjadi sebuah jalan untuk menerima anugerah keselamatan, yakni kehidupan yang kekal.

Lantas apa hubungan ulasan tersebut dengan 'Pohon Natal tanpa Lampu Natal' dan 'perziarahan'?

Ini sharing pribadi, yaitu di Natal tahun 2011 yang lalu. Karena berbagai kesibukan saya, akhirnya menjelang tanggal 25 Desember pohon
Natal belum terpasang di rumah. Waktu itu sudah tanggal 24 Desember siang. Apakah Natal tahun itu akan menjadi Natal tanpa pohon Natal? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk tetap memasang pohon Natal sekalipun hanya untuk seminggu. Saat semua daun sudah terpasang, hiasan-hiasan bola dan bintang juga sudah digantung, tibalah saatnya untuk menyalakan lampu Natal. 'Klik'... Dan kami terdiam saat menyadari bahwa semua lampu Natal padam... Mungkin ada kabel yang putus di suatu tempat, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Jadilah pohon Natal yang tanpa lampu Natal...

Natal tahun 2011. Mama saya - yang saat itu sudah sakit kanker parah - mendadak berkeinginan untuk merayakan Natal bersama saya sekeluarga di Jakarta. Saya merasa sangat bersyukur karena saya masih berkesempatan untuk merayakan Natal bersama mama saya di tahun itu, yang adalah Natal terakhir bagi mama saya. Setelah mengikuti Perayaan Natal di tanggal 25 Desember, saya baru menyadari betapa mama terlihat begitu lelah. Dan sepulangnya ke kota asalnya, kondisi fisik mama saya terus menurun, dan 3 bulan kemudian mama berpulang ke surga. Saya sempat berpikir: apakah pohon Natal tanpa lampu Natal adalah merupakan sebuah pertanda kematian dari orang yang saya kasihi? Atau hanya kebetulan acak belaka?

Mengalami sendiri situasi kematian ternyata bukan hal yang mudah. Saya bersyukur karena di jam-jam awal masa kedukaan, saya di cover oleh Pdt Dianawati dan Pdt Frans yang jauh-jauh datang untuk memberi support bagi saya sekeluarga. Dan di saat-saat seperti inilah - hingga berbulan-bulan sesudahnya - saya menjalani perziarahan ke dalam misteri kehidupan dan kematian, yang saya tahu perziarahan ini pun diikuti oleh banyak orang yang bergumul dengan hal yang sama.

Ada beberapa hal yang akhirnya saya temukan dalam perziarahan saya (yang masih berlanjut hingga kini).

Yang pertama adalah: pentingnya ikatan keluarga. Dalam masa-masa sulit, justru ikatan keluarga harus semakin diperteguh. Kami sekeluarga kini merasakan kualitas hubungan yang semakin baik satu sama lain, sekalipun kami tinggal saling berjauhan, dan inilah yang menjadi sumber kekuatan dikala kelemahan datang menghampiri. Keluarga-lah yang pertama-tama harus saling menguatkan, setelah itu barulah orang lain (saudara seiman, tim perlawatan khusus, pendeta, dsb). Keluarga yang justru terpecah saat kesulitan/duka datang akan sangat sulit untuk melakukan recovery, dan ini jelas membutuhkan sebuah kerelaan dari masing-masing anggota keluarga untuk dapat lebih saling menahan diri dan berkorban. 

Kedua adalah: meninggalkan warisan. Warisan disini bukanlah warisan materi, namun lebih kepada nilai-nilai yang bisa kita tinggalkan kepada orang lain saat kita kembali ke sorga. Pepatah mengatakan: sesuatu akan terasa begitu berharga saat kita kehilangannya. Saat mama saya berpulang, barulah saya dengan jelas melihat betapa luar biasanya dia! Perhatian, dukungan, rasa kehilangan, cerita-cerita yang baik... Membuat saya berpikir: kalau giliran saya yang mati nanti, apakah saya pun akan meninggalkan warisan nilai-nilai yang sebaik yang diwariskan mama saya? Misteri kematian seharusnyalah membuat manusia berusaha dan terus berusaha untuk meninggalkan warisan yang semakin baik, dan bukankah hal itu membuat dunia menjadi tempat yang semakin baik untuk dihuni manusia?

Pohon Natal tanpa lampu Natal... Saya pikir hal yang baik apabila Natal dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Namun itu bukanlah yang terpenting! Yang terpenting adalah: kita seharusnya yang menjadi lampu-lampunya, yang tidak terpadamkan dan yang bersinar terus bagi sekitar kita! Kalau Divine Light itu telah membuat terobosan bagi dunia yang kacau dan gelap, maka kita sebagai umatNya pun seharusnyalah memancarkan terang yang menerangi dan mempercantik dunia. Semoga hal itulah yang bisa menjadi warisan hidup kita semua.

(TKS - 29/11/2012)

2 komentar:

  1. christine wibhowo2 Maret 2013 pukul 10.16

    Apakah ini Chun-Chun? Tidak sengaja melihat gambar di google, sebuah wajah yg sangat sy kenal di masa kecil......
    Ikut terharu, Chun,,,

    BalasHapus