Kamis, 25 Oktober 2012

CSS: Visi 1

Barusan saya katakan bahwa kotak tengah, alias visi, merupakan penentu jalannya CSS. Sebuah gereja yang well-formed peribadahannya mungkin sudah tidak memerlukan konsep macam-macam untuk memperbaikinya, wong sudah bagus! Atau sebuah gereja yang sudah nyaman dengan keadaannya sekarang, sekalipun sama sekali nggak mengenal bahkan mengalami ibadah yang sukses - jelaslah tidak membutuhkan CSS! Tapi bagi yang mau mengetahui CSS ini lebih lanjut, saya ingin sharing sedikit mengenai 3 hal:

Apa itu ibadah yang sukses
Dari awal saya sudah cukup banyak memakai kata 'sukses' yang terkait dengan ibadah. Mungkin sudah ada yang merasa terganggu dengan istilah itu, dan menduga bahwa saya sebenar-benarnya adalah penganut teologia kemakmuran (sekalipun bilangnya 'nggak'). Sekarang sudah tiba saatnya bagi saya untuk menjelaskan makna 'sukses' itu. Bagaimana pun juga, pengertian sukses bagi masing-masing orang berbeda-beda. Sukses menurut saya belum tentu sukses menurut Anda. Si A mungkin bilang bahwa sukses related dengan materi, sedang si B berpendapat bahwa sukses adalah memiliki rasa cukup: cukup makan, cukup mobil, cukup rumah, cukup deposito, cukup saham... (Itu sih sama saja!). Apapun pendapat kita mengenai sukses, satu hal yang sama adalah: sukses musti ada batasannya, dimana batasan inilah yang menentukan 'makna sukses'.
Lalu, apakah batasan dan makna sukses bagi sebuah ibadah yang dikatakan 'sukses'? Menurut saya, batasan dari sebuah ibadah yang sukses adalah: ibadah yang memiliki visi dan usaha untuk merealisasikannya. Visi bolehlah segala macam, usaha bolehlah segala cara. Tetapi saat sebuah jemaat berani membuat sebuah visi dan merumuskan usaha-usaha untuk mencapainya di dalam peribadahannya (sebagai main activity gereja), dan bukan hanya sekedar menjalankan kegiatan rutin mingguan, itulah ibadah yang sukses! Saya ingin berbagi inspirasi akan ibadah yang sukses melalui CSS, karena: kotak tengah CSS adalah visi, sedang ke-4 kotak CSS disekitarnya adalah usaha. Ibadah yang memiliki visi adalah ibadah yang sudah 50% sukses, dan ibadah yang diusahakan untuk mencapai visi adalah ibadah yang 100% sukses, tidak peduli apakah visi itu tercapai atau tidak, yang penting sudah berusaha! Loh kok begitu? Kalau visi nggak tercapai artinya gagal dong! Di gereja tidak seperti itu, Saudara. Dalam perusahaan sekular bolehlah kita berpandangan seperti itu, namun di gereja berlaku rumusan: manusia menanam (visi) + manusia menyiram (usaha) + Allah memberi pertumbuhan (perkenanNya) = gereja yang sukses (baca: Kor...)
Masalahnya sekarang adalah: siapa yang paling berkompeten membuat visi ibadah, dan seperti apa?

Siapa yang membuat visi?
Masalah 'menetapkan visi' menjadi sebuah masalah besar dalam pembuatan visi, masalah 'menjual visi' merupakan masalah yang jauh lebih besar lagi, sedangkan masalah 'siapa yang seharusnya membuat visi' adalah masalah yang terbesar. Saya bisa membuat 3 buku yang tebal-tebal untuk membahas ketiga hal tersebut, namun dengan jawaban yang tetap 'nggantung'. Mengapa? Karena jawaban dari ketiga pertanyaan 'berat' itu adalah diri kita sendiri, yaitu: seberapa besar kita memiliki self belonging atau rasa memiliki terhadap gereja kita. Dan masalah 'rasa memiliki' ini jelaslah berhubungan dengan masalah 'hati' yang seringkali sulit untuk 'diubahkan' atau 'ditransformasikan', bahkan cenderung fleksibel tergantung waktu dan kondisi. Begitu cepatnya hati seseorang berubah dari 'strong engaged' menjadi 'extremely dis-engaged' karena masalah-masalah yang begitu simpel dan terkadang kekanak-kanakan, seperti karena terlewat disebut namanya dalam doa syafaat atau karena tidak disalami oleh pendeta. Betul?
Masalah 'rasa memiliki' ini jelaslah memerlukan pembahasan lebih lanjut di bagian lain, namun untuk sementara ini cukuplah kita memahami bahwa seorang yang memiliki 'rasa memiliki' akan sangat mudah untuk memikirkan hal-hal yang perlu ditingkatkan dalam pelayanan gereja (baca: merumuskan visi). Sebaliknya seorang yang tidak punya 'rasa memiliki' maka berkecenderungan berperilaku sebagai 'nasabah' ketimbang sebagai 'stakeholder'. Apakah itu? Pengertian gampangnya: nasabah adalah pembeli, sedangkan stakeholder adalah pemilik. Dari pengamatan saya, saat ini begitu banyak gereja yang mayoritas dihadiri oleh 'nasabah' ketimbang 'stakeholder', entah gereja yang dihadiri puluhan orang maupun yang dihadiri oleh puluhan ribu orang! Memang lebih enak menjadi 'nasabah' (pastilah ini menunjukkan 'rasa memiliki' yang rendah) ketimbang menjadi 'stakeholder' gereja, sehingga umat berkecenderungan menjadi pasif dan taste-seeker. Istilahnya 6D: datang, duduk, diem, dengar, duit (beri persembahan), datang lagi (kalau dapat sesuatu); dan ditambah 1P: pindah ke gereja lain, kalau keinginan dan harapan kita tidak terpenuhi (alias kalau nggak dapat sesuatu dari gereja tersebut). Menyedihkan sekali kalau bergereja kita itu nggak lebih dari 6D+1P itu! Anda bukan nasabah yang kulturnya 6D+1P itu! Anda adalah stakeholder, pemilik bahkan bagian dari Tubuh Kristus!
Sebagai sama-sama Tubuh Kristus, seharusnyalah kita semua terpanggil untuk mengupayakan tercapainya sebuah tubuh yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik, bukannya malah lari ke tempat lain yang dianggap lebih sehat, lebih 'memberi sesuatu', bahkan lebih 'dekat ke sorga'! Cuma ya itu: bagaimana menumbuhkan rasa memiliki, menyadarkan umat akan keberadaan dirinya sebagai bagian dari Tubuh Kristus, ini yang sulit! Namun, tetap ada way out nya (ini bocoran edisi Busa berikut-berikutnya): rasa memiliki TIDAK dapat dibangun melalui musik yang bagus, khotbah yang menyihir, atau oleh seorang pendeta besar yang setengah dewa sekalipun! Kalau pun bisa dibangun melalui hal-hal itu, Itu bersifat short term! Begitu musiknya jadi kurang nggigit, khotbah gereja tetangga lebih ampuh dan memikat, maupun pendeta besar itu pergi atau meninggal, maka bangunan rasa memiliki itu akan rubuh pelan-pelan! Yang betul adalah: rasa memiliki dibangun secara permanen melalui:
1. Keteladanan berjenjang, dan
2. Edifikasi
Sementara terima dulu ya, nanti ada kesempatannya hal ini dibahas secara lebih mendalam. Jadi, visi dapat dibuat oleh siapa saja, nggak selalu oleh para rohaniawan yang seringkali malah lebih menikmati status aman ketimbang membuat terobosan-terobosan baru yang selalu berisiko gagal.
Alkitab sendiri mencatat betapa banyak 'orang awam' yang membuat terobosan-terobosan dalam kehidupan spiritualitas:
  • Tuhan Yesus sendiri bukanlah berasal dari golongan imam atau nabi, Dia dibesarkan oleh keluarga pengusaha kayu, yang dalam keberadaanNya sekaligus sebagai Anak Allah membuat revolusi paling dahsyat dalam cara umat manusia beriman
  • Murid-murid Yesus juga sebagian besar berasal dari kalangan sekular, namun mereka mampu mendirikan sebuah organisasi spiritualitas yang akhirnya menjadi organisasi terbesar di dunia yang bernama gereja. 
  • Bapak gereja seperti Agustinus dan Yohanes Calvin juga bukanlah berasal dari kalangan rohaniawan, namun mereka mampu memberi warna kekristenan yang terus menjadi pegangan gereja masa kini. 
  • Bahkan cikal bakal GKI Jawa Barat pun bukanlah berasal dari penginjilan para rohaniawan Kristen, namun dari pertobatan seorang Ang Boeng Swi yang akhirnya membuahkan sebuah sinode wilayah yang besar dalam percaturan gereja-gereja di Indonesia. 
Anda pun sangat mungkin untuk memberi warna bagi kehidupan bergereja di tempat Anda! Masalahnya: apakah Anda punya rasa memiliki terhadap gereja Anda, sehingga Anda bisa:
  • bertahan di gereja Anda sekalipun teman-teman Anda yang lain 'lari' ke tempat lain yang tampak luarnya lebih 'hijau', 'segar', dan 'basah'? 
  • memikirkan apa yang bisa Anda lakukan untuk memperbaiki kinerja gereja Anda, baik secara kualitas maupun kuantitas? 
  • membuat komitmen pribadi untuk melakukan sesuatu yang bisa Anda lakukan sendiri, dan bukannya mengharapkan orang lain yang melakukan? 
  • menahan mulut untuk menanyakan 'why', dan membuka mulut lebar-lebar untuk menanyakan 'how can I ...'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar