Rabu, 19 Januari 2011

Pluralisme Agama vs Kedewasaan Beriman

Pluralisme Agama merupakan topik bahasan yang menarik untuk dibahas. Mengapa? Karena disana kita bukan hanya berbicara mengenai fakta adanya bermacam-macam keberimanan (yang diformalkan dalam bentuk agama), namun juga karena ada upaya-upaya untuk meng-create temuan paling mutakhir di abad 21, yaitu: The Ultimate Faith, keberimanan yang sifatnya global, yang titik tolaknya berangkat dari - paling tidak - dua hal:
1. Semua agama menyembah pada Tuhan yang sama, dan
2. Kebenaran yang 'ultimate' dapat ditemukan dengan 'mengumpulkan' kebenaran-kebenaran yang terserak di berbagai pengajaran agama.

Dengan keberimanan seperti ini, diharapkan terwujudlah apa yang dikatakan “damai di bumi seperti di sorga“.

Sekedar me-refresh saja, betapa banyak darah yang tertumpah karena alasan 'agama', betapa banyak kebencian dilepaskan karena alasan 'agama', dan ... wow!... betapa kejahatan dan pembunuhan menjadi sebuah panggilan suci karena alasan... AGAMA!
Semua ajaran agama mengajarkan kedamaian dan kebaikan, namun atas nama agama maka perang dan kejahatan mendapat legitimasi, bahkan upah masuk sorga...
Betapa indahnya lantas apabila The Ultimate Faith dapat diwujudnyatakan. Kita semua yang sama-sama keturunan Adam akan kembali menjadi satu saudara karena diikat oleh keberimanan yang sama, sekalipun dengan ekspresi yang bermacam-macam (yaitu ritual atau tata cara ibadah masing-masing). Ritual agama lantas hanya menjadi sebuah context yang boleh saja berbeda-beda wujudnya, namun content-nya sama. So, nggak ada alasan lagi untuk saling bertengkar bahkan menyakiti kan?

Sampai disini kita mungkin sudah bisa menarik kesimpulan bahwa pluralisme agama merupakan sebuah jawaban yang dibutuhkan oleh dunia abad 21 dan abad-abad selanjutnya.
Tapi... Tunggu dulu!

Mungkin ada pembaca yang langsung menyangka bahwa saya adalah seorang pluralis sejati. Sebetulnya tidak, karena saya hanya mencoba untuk memaparkan pemikiran-pemikiran dari sudut pandang seorang pluralis, dan saya berharap pemaparan itu cukup tepat isinya. Bagi pembaca yang menganut paham pluralisme, saya akan sangat berterima kasih apabila Anda berkenan mengoreksi tulisan di atas sekiranya ada hal-hal yang kurang tepat.

Sejujurnya, saya adalah seorang kritikus pluralisme.
Mengapa?

Karena ide pluralisme sebenarnya menunjukkan bahwa manusia sebetulnya tidak siap dengan adanya perbedaan, yang dalam bahasa yang lebih jujur: 'menunjukkan ketidakdewasaan dalam beriman'.
Saat kita masih anak-anak, kita memiliki ego yang sangat tinggi dimana semua permintaan dan keinginan saya musti dituruti. Dunia anak-anak adalah 'dunia saya' dan bukan orang lain. Namun beranjak dewasa, ego ini seharusnya semakin bijak dengan melihat bahwa orang lain pun sama-sama memiliki permintaan dan keinginan, sehingga akhirnya seorang dewasa akan lebih dituntut untuk mampu melihat dunia ini sebagai 'dunia saya dan anda', atau 'dunia kita'.

Ketidakdewasaan membuat seorang gagal berproses dari 'dunia saya' menjadi 'dunia kita'.
Akibatnya ada dua:
1. Dunia = saya. Ini merupakan satu kutub ekstrem yang membuat seorang tidak mampu menerima perbedaan, bahkan membenci perbedaan, sehingga segala yang beda adalah musuh saya. Betapa banyak orang yang seperti ini, sehingga tidak heran muncul kerusuhan berbau SARA, politik apartheid, fasisme, radikalisme, dlsb.
2. Dunia = seolah-olah saya. Ini merupakan kutub ekstrem yang berlawanan dengan yang pertama, dimana segala yang berbeda di-elaborasi sedemikian rupa sehingga seola-olah sama... jadi gue banget. Dalam ajaran agama yang berbeda-beda, mana mungkin kita bisa membuat sebuah konsensus tertentu sehingga ajaran-ajaran itu menjadi sama, padahal jelas-jelas berbeda! Mana mungkin kita bisa membuat sebuah "The Ultimate Faith" sementara yang kita imani di masing-masing agama itu berbeda-beda?

Pluralisme Agama bukanlah jawaban atas tantangan abad 21 yang penuh dengan permusuhan dan kekerasan sosial ini. Bahkan Pluralisme Agama berpotensi menjadikan sistem keberagamaan menjadi kacau dan menjadi pembunuh keberagamaan itu sendiri!

Mungkin pandangan saya agak subyektif, namun dari rekan-rekan pluralis yang saya kenal, saya kok melihat bahwa mereka mulai berani menyaring isi Alkitab sedemikian rupa sehingga hal-hal yang mendukung pluralisme saja yang mereka tekankan, sedangkan yang tidak mendukung.... ditafsirkan ulang menjadi begitu ngawur.
Contohnya Amanat Agung dalam Matius 28:19-20: "jadikanlah semua bangsa muridKu...." dengan begitu kreatif dan ngawur ditafsirkan sebagai: "memuridkan murid", artinya: semua orang adalah murid Tuhan - nggak ada yang bukan murid Tuhan - sehingga tugas kitalah untuk membuat para murid itu menjadi murid yang sejati.... Lalu apa hubungannya dengan 'baptislah...' kalau semua orang sudah dianggap sebagai murid?

Lalu, bagaimana sebaiknya?
Sebetulnya sederhana saja:
1. sadari dan terimalah perbedaan apa adanya
2. pahami perbedaan melalui dialog yang cerdas dan setara, yang semata-mata bertujuan untuk MEMAHAMI PERBEDAAN ITU, dan bukannya untuk menyama-nyamakannya.
3. setelah kita bisa memahami perbedaan, hargailah perbedaan itu sebagai hakikat kehidupan, dan terakhir
4. tetap jalankan ajaran agama kita dengan sikap respect terhadap saudara kita yang berbeda keyakinan.
Inilah seorang yang beriman secara dewasa!

Berbicara tentang penginjilan, seorang Kristen yang beriman secara dewasa tidak akan ragu-ragu dalam menunaikan tugas penginjilannya kepada dunia yang belum mengenal Kristus. Masih ada begitu banyak umat pilihanNya yang terserak dimana-mana yang membutuhkan berita Injil agar dia dapat mengenal dan percaya kepada Tuhan Yesus. Namun lakukanlah penginjilan itu dengan cara-cara yang simpatik dan hormat, sehingga aktivitas penginjilan kita tidaklah justru menjadi pemicu kebencian terhadap kekristenan.

Mari kita tetap 'cerdik seperti ular, namun tulus seperti merpati'  (Matius 10:16)
Salam berdaya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar