Membangkitkan dan mengakselerasi GKI sebagai Gereja Reformed yang Modern dan Relevan (Revives and accelerates GKI as a Modern and Relevant Reformed Church)
Sabtu, 22 Januari 2011
Chord NKB 002 - uncomplete
"Hai Mari Sembah"
Hai mari sembah Yang Maha besar,
nyanyikan syukur dengan bergemar.
Perisai umatNya Yang Maha Esa,
mulia namaNya, takhtaNya megah!
nyanyikan syukur dengan bergemar.
Perisai umatNya Yang Maha Esa,
mulia namaNya, takhtaNya megah!
Hai masyhurkanlah keagunganNya;
cahaya terang itu jubahNya
Gemuruh suaraNya di awan kelam;
berjalanlah Dia di badai kencang.
cahaya terang itu jubahNya
Gemuruh suaraNya di awan kelam;
berjalanlah Dia di badai kencang.
Buana penuh mujizat ajaib,
ya Khalik, Engkau membuatnya baik.
Engkau memisahkan daratan dan laut
dengan kuasa firman: besarlah Engkau!
ya Khalik, Engkau membuatnya baik.
Engkau memisahkan daratan dan laut
dengan kuasa firman: besarlah Engkau!
PengasuhanMu betapa megah;
udara dan t’rang menyatakannya,
embun bertetesan dan hujan sejuk,
lembah maupun bukit cermin kasihMu!
udara dan t’rang menyatakannya,
embun bertetesan dan hujan sejuk,
lembah maupun bukit cermin kasihMu!
UmatMu lemah dan dari debu,
tetap memegang janjiMu teguh.
Kasih setiaMu berlimpah terus,
ya Khalik, Pembela dan Kawan kudus!
tetap memegang janjiMu teguh.
Kasih setiaMu berlimpah terus,
ya Khalik, Pembela dan Kawan kudus!
Ya Mahabesar, kekal kasihMu;
malaikat memb’ri pujian merdu,
pun kami makhlukMu kecil dan lemah,
mengangkat pujian serta menyembah.
malaikat memb’ri pujian merdu,
pun kami makhlukMu kecil dan lemah,
mengangkat pujian serta menyembah.
Rabu, 19 Januari 2011
Pluralisme Agama vs Kedewasaan Beriman
Pluralisme Agama merupakan topik bahasan yang menarik untuk dibahas. Mengapa? Karena disana kita bukan hanya berbicara mengenai fakta adanya bermacam-macam keberimanan (yang diformalkan dalam bentuk agama), namun juga karena ada upaya-upaya untuk meng-create temuan paling mutakhir di abad 21, yaitu: The Ultimate Faith, keberimanan yang sifatnya global, yang titik tolaknya berangkat dari - paling tidak - dua hal:
1. Semua agama menyembah pada Tuhan yang sama, dan
2. Kebenaran yang 'ultimate' dapat ditemukan dengan 'mengumpulkan' kebenaran-kebenaran yang terserak di berbagai pengajaran agama.
Dengan keberimanan seperti ini, diharapkan terwujudlah apa yang dikatakan “damai di bumi seperti di sorga“.
Sekedar me-refresh saja, betapa banyak darah yang tertumpah karena alasan 'agama', betapa banyak kebencian dilepaskan karena alasan 'agama', dan ... wow!... betapa kejahatan dan pembunuhan menjadi sebuah panggilan suci karena alasan... AGAMA!
Semua ajaran agama mengajarkan kedamaian dan kebaikan, namun atas nama agama maka perang dan kejahatan mendapat legitimasi, bahkan upah masuk sorga...
Betapa indahnya lantas apabila The Ultimate Faith dapat diwujudnyatakan. Kita semua yang sama-sama keturunan Adam akan kembali menjadi satu saudara karena diikat oleh keberimanan yang sama, sekalipun dengan ekspresi yang bermacam-macam (yaitu ritual atau tata cara ibadah masing-masing). Ritual agama lantas hanya menjadi sebuah context yang boleh saja berbeda-beda wujudnya, namun content-nya sama. So, nggak ada alasan lagi untuk saling bertengkar bahkan menyakiti kan?
Sampai disini kita mungkin sudah bisa menarik kesimpulan bahwa pluralisme agama merupakan sebuah jawaban yang dibutuhkan oleh dunia abad 21 dan abad-abad selanjutnya.
Tapi... Tunggu dulu!
Mungkin ada pembaca yang langsung menyangka bahwa saya adalah seorang pluralis sejati. Sebetulnya tidak, karena saya hanya mencoba untuk memaparkan pemikiran-pemikiran dari sudut pandang seorang pluralis, dan saya berharap pemaparan itu cukup tepat isinya. Bagi pembaca yang menganut paham pluralisme, saya akan sangat berterima kasih apabila Anda berkenan mengoreksi tulisan di atas sekiranya ada hal-hal yang kurang tepat.
Sejujurnya, saya adalah seorang kritikus pluralisme.
Mengapa?
Karena ide pluralisme sebenarnya menunjukkan bahwa manusia sebetulnya tidak siap dengan adanya perbedaan, yang dalam bahasa yang lebih jujur: 'menunjukkan ketidakdewasaan dalam beriman'.
Saat kita masih anak-anak, kita memiliki ego yang sangat tinggi dimana semua permintaan dan keinginan saya musti dituruti. Dunia anak-anak adalah 'dunia saya' dan bukan orang lain. Namun beranjak dewasa, ego ini seharusnya semakin bijak dengan melihat bahwa orang lain pun sama-sama memiliki permintaan dan keinginan, sehingga akhirnya seorang dewasa akan lebih dituntut untuk mampu melihat dunia ini sebagai 'dunia saya dan anda', atau 'dunia kita'.
Ketidakdewasaan membuat seorang gagal berproses dari 'dunia saya' menjadi 'dunia kita'.
Akibatnya ada dua:
1. Dunia = saya. Ini merupakan satu kutub ekstrem yang membuat seorang tidak mampu menerima perbedaan, bahkan membenci perbedaan, sehingga segala yang beda adalah musuh saya. Betapa banyak orang yang seperti ini, sehingga tidak heran muncul kerusuhan berbau SARA, politik apartheid, fasisme, radikalisme, dlsb.
2. Dunia = seolah-olah saya. Ini merupakan kutub ekstrem yang berlawanan dengan yang pertama, dimana segala yang berbeda di-elaborasi sedemikian rupa sehingga seola-olah sama... jadi gue banget. Dalam ajaran agama yang berbeda-beda, mana mungkin kita bisa membuat sebuah konsensus tertentu sehingga ajaran-ajaran itu menjadi sama, padahal jelas-jelas berbeda! Mana mungkin kita bisa membuat sebuah "The Ultimate Faith" sementara yang kita imani di masing-masing agama itu berbeda-beda?
Pluralisme Agama bukanlah jawaban atas tantangan abad 21 yang penuh dengan permusuhan dan kekerasan sosial ini. Bahkan Pluralisme Agama berpotensi menjadikan sistem keberagamaan menjadi kacau dan menjadi pembunuh keberagamaan itu sendiri!
Mungkin pandangan saya agak subyektif, namun dari rekan-rekan pluralis yang saya kenal, saya kok melihat bahwa mereka mulai berani menyaring isi Alkitab sedemikian rupa sehingga hal-hal yang mendukung pluralisme saja yang mereka tekankan, sedangkan yang tidak mendukung.... ditafsirkan ulang menjadi begitu ngawur.
Contohnya Amanat Agung dalam Matius 28:19-20: "jadikanlah semua bangsa muridKu...." dengan begitu kreatif dan ngawur ditafsirkan sebagai: "memuridkan murid", artinya: semua orang adalah murid Tuhan - nggak ada yang bukan murid Tuhan - sehingga tugas kitalah untuk membuat para murid itu menjadi murid yang sejati.... Lalu apa hubungannya dengan 'baptislah...' kalau semua orang sudah dianggap sebagai murid?
Lalu, bagaimana sebaiknya?
Sebetulnya sederhana saja:
1. sadari dan terimalah perbedaan apa adanya
2. pahami perbedaan melalui dialog yang cerdas dan setara, yang semata-mata bertujuan untuk MEMAHAMI PERBEDAAN ITU, dan bukannya untuk menyama-nyamakannya.
3. setelah kita bisa memahami perbedaan, hargailah perbedaan itu sebagai hakikat kehidupan, dan terakhir
4. tetap jalankan ajaran agama kita dengan sikap respect terhadap saudara kita yang berbeda keyakinan.
Inilah seorang yang beriman secara dewasa!
Berbicara tentang penginjilan, seorang Kristen yang beriman secara dewasa tidak akan ragu-ragu dalam menunaikan tugas penginjilannya kepada dunia yang belum mengenal Kristus. Masih ada begitu banyak umat pilihanNya yang terserak dimana-mana yang membutuhkan berita Injil agar dia dapat mengenal dan percaya kepada Tuhan Yesus. Namun lakukanlah penginjilan itu dengan cara-cara yang simpatik dan hormat, sehingga aktivitas penginjilan kita tidaklah justru menjadi pemicu kebencian terhadap kekristenan.
Mari kita tetap 'cerdik seperti ular, namun tulus seperti merpati' (Matius 10:16)
Salam berdaya!
1. Semua agama menyembah pada Tuhan yang sama, dan
2. Kebenaran yang 'ultimate' dapat ditemukan dengan 'mengumpulkan' kebenaran-kebenaran yang terserak di berbagai pengajaran agama.
Dengan keberimanan seperti ini, diharapkan terwujudlah apa yang dikatakan “damai di bumi seperti di sorga“.
Sekedar me-refresh saja, betapa banyak darah yang tertumpah karena alasan 'agama', betapa banyak kebencian dilepaskan karena alasan 'agama', dan ... wow!... betapa kejahatan dan pembunuhan menjadi sebuah panggilan suci karena alasan... AGAMA!
Semua ajaran agama mengajarkan kedamaian dan kebaikan, namun atas nama agama maka perang dan kejahatan mendapat legitimasi, bahkan upah masuk sorga...
Betapa indahnya lantas apabila The Ultimate Faith dapat diwujudnyatakan. Kita semua yang sama-sama keturunan Adam akan kembali menjadi satu saudara karena diikat oleh keberimanan yang sama, sekalipun dengan ekspresi yang bermacam-macam (yaitu ritual atau tata cara ibadah masing-masing). Ritual agama lantas hanya menjadi sebuah context yang boleh saja berbeda-beda wujudnya, namun content-nya sama. So, nggak ada alasan lagi untuk saling bertengkar bahkan menyakiti kan?
Sampai disini kita mungkin sudah bisa menarik kesimpulan bahwa pluralisme agama merupakan sebuah jawaban yang dibutuhkan oleh dunia abad 21 dan abad-abad selanjutnya.
Tapi... Tunggu dulu!
Mungkin ada pembaca yang langsung menyangka bahwa saya adalah seorang pluralis sejati. Sebetulnya tidak, karena saya hanya mencoba untuk memaparkan pemikiran-pemikiran dari sudut pandang seorang pluralis, dan saya berharap pemaparan itu cukup tepat isinya. Bagi pembaca yang menganut paham pluralisme, saya akan sangat berterima kasih apabila Anda berkenan mengoreksi tulisan di atas sekiranya ada hal-hal yang kurang tepat.
Sejujurnya, saya adalah seorang kritikus pluralisme.
Mengapa?
Karena ide pluralisme sebenarnya menunjukkan bahwa manusia sebetulnya tidak siap dengan adanya perbedaan, yang dalam bahasa yang lebih jujur: 'menunjukkan ketidakdewasaan dalam beriman'.
Saat kita masih anak-anak, kita memiliki ego yang sangat tinggi dimana semua permintaan dan keinginan saya musti dituruti. Dunia anak-anak adalah 'dunia saya' dan bukan orang lain. Namun beranjak dewasa, ego ini seharusnya semakin bijak dengan melihat bahwa orang lain pun sama-sama memiliki permintaan dan keinginan, sehingga akhirnya seorang dewasa akan lebih dituntut untuk mampu melihat dunia ini sebagai 'dunia saya dan anda', atau 'dunia kita'.
Ketidakdewasaan membuat seorang gagal berproses dari 'dunia saya' menjadi 'dunia kita'.
Akibatnya ada dua:
1. Dunia = saya. Ini merupakan satu kutub ekstrem yang membuat seorang tidak mampu menerima perbedaan, bahkan membenci perbedaan, sehingga segala yang beda adalah musuh saya. Betapa banyak orang yang seperti ini, sehingga tidak heran muncul kerusuhan berbau SARA, politik apartheid, fasisme, radikalisme, dlsb.
2. Dunia = seolah-olah saya. Ini merupakan kutub ekstrem yang berlawanan dengan yang pertama, dimana segala yang berbeda di-elaborasi sedemikian rupa sehingga seola-olah sama... jadi gue banget. Dalam ajaran agama yang berbeda-beda, mana mungkin kita bisa membuat sebuah konsensus tertentu sehingga ajaran-ajaran itu menjadi sama, padahal jelas-jelas berbeda! Mana mungkin kita bisa membuat sebuah "The Ultimate Faith" sementara yang kita imani di masing-masing agama itu berbeda-beda?
Pluralisme Agama bukanlah jawaban atas tantangan abad 21 yang penuh dengan permusuhan dan kekerasan sosial ini. Bahkan Pluralisme Agama berpotensi menjadikan sistem keberagamaan menjadi kacau dan menjadi pembunuh keberagamaan itu sendiri!
Mungkin pandangan saya agak subyektif, namun dari rekan-rekan pluralis yang saya kenal, saya kok melihat bahwa mereka mulai berani menyaring isi Alkitab sedemikian rupa sehingga hal-hal yang mendukung pluralisme saja yang mereka tekankan, sedangkan yang tidak mendukung.... ditafsirkan ulang menjadi begitu ngawur.
Contohnya Amanat Agung dalam Matius 28:19-20: "jadikanlah semua bangsa muridKu...." dengan begitu kreatif dan ngawur ditafsirkan sebagai: "memuridkan murid", artinya: semua orang adalah murid Tuhan - nggak ada yang bukan murid Tuhan - sehingga tugas kitalah untuk membuat para murid itu menjadi murid yang sejati.... Lalu apa hubungannya dengan 'baptislah...' kalau semua orang sudah dianggap sebagai murid?
Lalu, bagaimana sebaiknya?
Sebetulnya sederhana saja:
1. sadari dan terimalah perbedaan apa adanya
2. pahami perbedaan melalui dialog yang cerdas dan setara, yang semata-mata bertujuan untuk MEMAHAMI PERBEDAAN ITU, dan bukannya untuk menyama-nyamakannya.
3. setelah kita bisa memahami perbedaan, hargailah perbedaan itu sebagai hakikat kehidupan, dan terakhir
4. tetap jalankan ajaran agama kita dengan sikap respect terhadap saudara kita yang berbeda keyakinan.
Inilah seorang yang beriman secara dewasa!
Berbicara tentang penginjilan, seorang Kristen yang beriman secara dewasa tidak akan ragu-ragu dalam menunaikan tugas penginjilannya kepada dunia yang belum mengenal Kristus. Masih ada begitu banyak umat pilihanNya yang terserak dimana-mana yang membutuhkan berita Injil agar dia dapat mengenal dan percaya kepada Tuhan Yesus. Namun lakukanlah penginjilan itu dengan cara-cara yang simpatik dan hormat, sehingga aktivitas penginjilan kita tidaklah justru menjadi pemicu kebencian terhadap kekristenan.
Mari kita tetap 'cerdik seperti ular, namun tulus seperti merpati' (Matius 10:16)
Salam berdaya!
Sabtu, 15 Januari 2011
Selasa, 04 Januari 2011
Balada Pembaptis Ulang part 4
Alasan 3: Masuk gereja, musti baptis ulang?
Saya jadi teringat buku 'Just as I am' karangan Billy Graham, dimana di salah satu bagian terdepan mencantumkan pergumulan ybs saat akan memulai pelayanannya sebagai pendeta gereja B. Kenapa bergumul? Karena sesuai syarat gereja B, maka dia harus dibaptis ulang sesuai tata cara gereja tersebut, yaitu secara selam. Kalau nggak mau baptis ulang, ya nggak bisa melayani sebagai pendeta disitu. Akhirnya BG pun mau dibaptis ulang hanya untuk memenuhi syarat gereja setempat.
Sangat disayangkan, tata cara telah mengalahkan hakikat!
Saya juga punya rekan yang pindah gereja, dan aktif disana. Lalu setelah dia menjadi aktivis, keluarlah fatwa bahwa aktivis yang belum dibaptis selam maka harus dibaptis ulang secara selam. Kalau tidak mau... Ya silakan geser...
Saya hanya ingin bertanya satu hal ke para pembaptis ulang: "Sebagai hambanya Tuhan, saat Tuhan - Tuan Anda - sudah memeteraikan seseorang menjadi umatNya melalui baptisan percik, APA HAK ANDA untuk mencopot meterai yang telah disahkan Tuan Anda dan menganggapnya tidak sah? Apakah Anda merasa lebih tinggi dari Tuan Anda? Atau... Siapakah sebenarnya tuan Anda... Mamon-kah?
Kalau saya menjadi Anda, saya merasa takut karena perbuatan baptisan ulang sebenarnya telah melecehkan Tuhan. Mungkin Anda tidak tahu, mungkin karena ketidaktahuan Anda maka Anda telah berbuat salah.
Berita bagus untuk kita semua: 'Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang' (Yoh 8:11b).
Mudah-mudah tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dan saya membuka diri untuk diskusi lebih lanjut atas topik ini.
Saya jadi teringat buku 'Just as I am' karangan Billy Graham, dimana di salah satu bagian terdepan mencantumkan pergumulan ybs saat akan memulai pelayanannya sebagai pendeta gereja B. Kenapa bergumul? Karena sesuai syarat gereja B, maka dia harus dibaptis ulang sesuai tata cara gereja tersebut, yaitu secara selam. Kalau nggak mau baptis ulang, ya nggak bisa melayani sebagai pendeta disitu. Akhirnya BG pun mau dibaptis ulang hanya untuk memenuhi syarat gereja setempat.
Sangat disayangkan, tata cara telah mengalahkan hakikat!
Saya juga punya rekan yang pindah gereja, dan aktif disana. Lalu setelah dia menjadi aktivis, keluarlah fatwa bahwa aktivis yang belum dibaptis selam maka harus dibaptis ulang secara selam. Kalau tidak mau... Ya silakan geser...
Saya hanya ingin bertanya satu hal ke para pembaptis ulang: "Sebagai hambanya Tuhan, saat Tuhan - Tuan Anda - sudah memeteraikan seseorang menjadi umatNya melalui baptisan percik, APA HAK ANDA untuk mencopot meterai yang telah disahkan Tuan Anda dan menganggapnya tidak sah? Apakah Anda merasa lebih tinggi dari Tuan Anda? Atau... Siapakah sebenarnya tuan Anda... Mamon-kah?
Kalau saya menjadi Anda, saya merasa takut karena perbuatan baptisan ulang sebenarnya telah melecehkan Tuhan. Mungkin Anda tidak tahu, mungkin karena ketidaktahuan Anda maka Anda telah berbuat salah.
Berita bagus untuk kita semua: 'Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang' (Yoh 8:11b).
Mudah-mudah tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dan saya membuka diri untuk diskusi lebih lanjut atas topik ini.
Balada Pembaptis Ulang part 3
Alasan 2: Yesus dibaptis selam?
Sekali lagi saya tegaskan bahwa cara baptisan bagi saya pribadi dan bagi gereja saya adalah tidak begitu penting. Mau percik mau selam... Semuanya sah di mata Tuhan. Semua tergantung tata cara gereja masing-masing, dan kebetulan GKI dan gereja-gereja reformed lainnya memakai tata cara baptisan percik.
Cara baptisan tidak menyelamatkan, karena baptisan hanyalah tanda dan meterai dari sesuatu yang lebih prinsip, yaitu iman percaya kepada Tuhan Yesus. Mau dibaptis dengan cara apapun tapi kalau hatinya tidak sungguh-sungguh percaya... Itu adalah kesia-siaan dan hanya sebuah ritual kebohongan spiritual yang keji di mata Tuhan!
Namun menjadi lain masalahnya kalau masalah cara baptisan Tuhan Yesus dijadikan legitimasi untuk melakukan baptisan ulang. Wah... Saya akan berusaha meng-counter hal ini, bahwa Tuhan Yesus dibaptis secara selam! Bukan untuk menyalahkan baptisan selam, namun untuk memberi perspektif lain bahwa ada kemungkinan Tuhan Yesus juga dibaptis dengan cara yang sama seperti Yohanes membaptis orang lain, yaitu mengikuti tata cara yang dikenal oleh agama Yahudi saat itu, yaitu: pemercikan.
Pertanyaan pertama: mengapa mind set bahwa Tuhan Yesus dibaptis secara selam lebih dominan ketimbang dibaptis secara percik? Jawabannya simpel: karena memang dikondisikan demikian. Coba perhatikan film-film tentang kehidupan Yesus, hampir seluruhnya mem-visual-kan pembaptisan Yesus terjadi secara selam. Jadi film telah mempengaruhi pemikiran teologis kita, dan bukannya Alkitab! Pantesan begitu banyak orang yang kebakaran jenggot kala film Da Vinci Code atau Golden Compass diproduksi. Iya lah, mereka kan lebih me-refer ke film ketimbang ke Alkitab! Iman yang didasarkan pada film... mau dibawa kemana kekristenan? Ke Holywood???
Dari kesaksian Injil Matius dan Markus, bahwa 'Yesus keluar dari air' (Mat 3:16, Mrk 1:9), sama sekali tidak berarti telah terjadi penenggelaman atas diri Yesus, tidak ada petunjuk kuat bahwa Yesus telah 100% dibenamkan di dalam air, seperti yang digambarkan oleh film-film. Kalau saya masuk ke sungai sampai ke mata kaki atau lutut atau pinggang, lalu saya naik ke darat, itupun bisa dikatakan bahwa 'saya keluar dari air'. Makanya saya bersyukur ada penjelasan dari Injil Lukas tentang hal ini, bahwa 'Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa' ketika langit terbuka dan Roh Kudus turun ke atasNya (Luk 3:21-22). Setelah dibaptis, Yesus berdoa, dan Roh Kudus turun atasNya... Tidak ada penjelasan sedikitpun bahwa Yesus telah diselam... Karena memang tidak perlu dijelaskan, karena memang tidak penting!
Semoga alasan cara baptisan Tuhan Yesus tidak lagi menjadi legitimasi baptisan ulang. Tapi kalau masih ada pembaptis ulang yang tegar tengkuk, saya harapkan Anda untuk bertobat, pelajari lagi Alkitab, dan berhenti menyesatkan jemaat untuk kepentingan pribadi Anda!
Sekali lagi saya tegaskan bahwa cara baptisan bagi saya pribadi dan bagi gereja saya adalah tidak begitu penting. Mau percik mau selam... Semuanya sah di mata Tuhan. Semua tergantung tata cara gereja masing-masing, dan kebetulan GKI dan gereja-gereja reformed lainnya memakai tata cara baptisan percik.
Cara baptisan tidak menyelamatkan, karena baptisan hanyalah tanda dan meterai dari sesuatu yang lebih prinsip, yaitu iman percaya kepada Tuhan Yesus. Mau dibaptis dengan cara apapun tapi kalau hatinya tidak sungguh-sungguh percaya... Itu adalah kesia-siaan dan hanya sebuah ritual kebohongan spiritual yang keji di mata Tuhan!
Namun menjadi lain masalahnya kalau masalah cara baptisan Tuhan Yesus dijadikan legitimasi untuk melakukan baptisan ulang. Wah... Saya akan berusaha meng-counter hal ini, bahwa Tuhan Yesus dibaptis secara selam! Bukan untuk menyalahkan baptisan selam, namun untuk memberi perspektif lain bahwa ada kemungkinan Tuhan Yesus juga dibaptis dengan cara yang sama seperti Yohanes membaptis orang lain, yaitu mengikuti tata cara yang dikenal oleh agama Yahudi saat itu, yaitu: pemercikan.
Pertanyaan pertama: mengapa mind set bahwa Tuhan Yesus dibaptis secara selam lebih dominan ketimbang dibaptis secara percik? Jawabannya simpel: karena memang dikondisikan demikian. Coba perhatikan film-film tentang kehidupan Yesus, hampir seluruhnya mem-visual-kan pembaptisan Yesus terjadi secara selam. Jadi film telah mempengaruhi pemikiran teologis kita, dan bukannya Alkitab! Pantesan begitu banyak orang yang kebakaran jenggot kala film Da Vinci Code atau Golden Compass diproduksi. Iya lah, mereka kan lebih me-refer ke film ketimbang ke Alkitab! Iman yang didasarkan pada film... mau dibawa kemana kekristenan? Ke Holywood???
Dari kesaksian Injil Matius dan Markus, bahwa 'Yesus keluar dari air' (Mat 3:16, Mrk 1:9), sama sekali tidak berarti telah terjadi penenggelaman atas diri Yesus, tidak ada petunjuk kuat bahwa Yesus telah 100% dibenamkan di dalam air, seperti yang digambarkan oleh film-film. Kalau saya masuk ke sungai sampai ke mata kaki atau lutut atau pinggang, lalu saya naik ke darat, itupun bisa dikatakan bahwa 'saya keluar dari air'. Makanya saya bersyukur ada penjelasan dari Injil Lukas tentang hal ini, bahwa 'Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa' ketika langit terbuka dan Roh Kudus turun ke atasNya (Luk 3:21-22). Setelah dibaptis, Yesus berdoa, dan Roh Kudus turun atasNya... Tidak ada penjelasan sedikitpun bahwa Yesus telah diselam... Karena memang tidak perlu dijelaskan, karena memang tidak penting!
Semoga alasan cara baptisan Tuhan Yesus tidak lagi menjadi legitimasi baptisan ulang. Tapi kalau masih ada pembaptis ulang yang tegar tengkuk, saya harapkan Anda untuk bertobat, pelajari lagi Alkitab, dan berhenti menyesatkan jemaat untuk kepentingan pribadi Anda!
Balada Pembaptis Ulang part 2
Alasan 1: Baptisan vs Rantisan
Saya pribadi nggak merasa keberatan dengan kedua praktek baptisan yang secara umum dikenal, yaitu baptisan percik dan baptisan selam. Sebagai anggota jemaat GKI yang reformed, saya dibaptis secara percik, yakni saat saya masih bayi yang dikenal dengan baptisan anak (ini juga bisa menjadi topik yang menarik untuk diulas, di lain kesempatan ya), lalu di-sidi saat saya remaja (diawali dengan kelas pelajaran agama Kristen selama beberapa bulan). Namun saya sama sekali nggak keberatan dengan praktek baptisan selam, bahkan kesannya lebih mantap ya, lebih berasa daripada sekedar percik-percik.
GKI pun mengambil sikap yang sama. GKI menerapkan tata cara baptisan percik, namun mengakui baptisan selam juga. Maksudnya begini: kalau ada simpatisan yang sudah dibaptis secara selam di gereja lain dan yang bersangkutan ingin menjadi anggota jemaat GKI, maka baptisan selamnya tetap diakui GKI. Yang bersangkutan cukup mengikuti pelajaran agama Kristen (katekisasi), lalu sesudahnya mengaku percaya dengan penumpangan tangan, tanpa perlu dibaptis percik lagi. Baptisan selam yang sudah diterimanya adalah sah dan diakui GKI. Ini baru namanya gereja yang benar ajarannya dan Alkitabiah!
Jadi stand point nya sudah jelas: cara baptisan percik atau selam, saya tidak mempermasalahkan. Monggo dilaksanakan sesuai tata cara gereja masing-masing.
Lalu, apa masalahnya? Yaitu saat baptisan diulang, biasanya dari baptisan percik ke baptisan selam. Ini lain ceritanya, dan saya betul-betul mengecam praktek baptis ulang seperti ini, karena betul-betul melecehkan Tuhan!
Biasanya para pembaptis ulang akan memulai dengan sebuah dogma bahwa baptisan yang Alkitabiah seharusnya dilakukan secara selam. Mengapa? Karena kata 'baptizo' yang dipakai dalam perikop terkait mengandung pengertian 'penenggelaman'. Jadi, ya jelas baptisan musti dilakukan secara selam. Sedangkan baptisan percik... Percik itu sendiri bahasa aslinya adalah: 'rantiso'. Jadi kalau seorang sudah dibaptis secara percik, sesungguhnya dia BELUM DIBAPTIS, namun BARU DIRANTIS....
Bagaimana saya bisa meng-counter pemahaman yang keliru ini?
Mudah saja, tapi mohon maaf kalau penjelasan saya ini agak 'menyerang' praktek baptis selam yang saya hormati dan hargai.
Ada 2 hal:
Pertama: di seluruh bagian Alkitab, saat kata 'baptizo' dan turunannya digunakan, maka kata itu hampir seluruhnya menunjuk pada pemercikan atau pembasuhan, seperti tata cara penyucian yang diatur dalam Hukum Taurat (misal: Markus 7:4, Lukas 11:38, 1 Korintus 10:1-2, dsb)
Bisa dibilang, Alkitab tidak mengenal tata cara penenggelaman, kecuali kisah Naaman yang harus mandi 7 kali di sungai Yordan.
Kedua: Yohanes hampir tidak mungkin melaksanakan penenggelaman.
Mengapa? Karena dia adalah keturunan imam Lewi yang tentu sangat familiar dengan tata cara upacara dan peribadatan Yahudi. Dia hanya mengenal pemercikan, seperti yang biasa dikenal dan dilakukan oleh para imam pada saat itu (banyak terdapat di Kitab Imamat dan Bilangan). Dan coba bayangkan... Sekiranya Yohanes membaptis secara selam di sungai Yordan, bagaimana caranya agar dia bisa membaptis para wanita tanpa harus melanggar hukum Taurat? Dengan memegang wanita yang bukan istrinya, lalu menenggelamkannya, dan mempersilakan sang wanita pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup? Betapa hal itu menjadi kegiatan gila yang melecehkan dan memalukan! No way! Saya percaya, sebagai keturunan imam Lewi maka Yohanes melakukan pembaptisannya dengan cara yang dikenalnya, yaitu pemercikan!
Saya pribadi nggak merasa keberatan dengan kedua praktek baptisan yang secara umum dikenal, yaitu baptisan percik dan baptisan selam. Sebagai anggota jemaat GKI yang reformed, saya dibaptis secara percik, yakni saat saya masih bayi yang dikenal dengan baptisan anak (ini juga bisa menjadi topik yang menarik untuk diulas, di lain kesempatan ya), lalu di-sidi saat saya remaja (diawali dengan kelas pelajaran agama Kristen selama beberapa bulan). Namun saya sama sekali nggak keberatan dengan praktek baptisan selam, bahkan kesannya lebih mantap ya, lebih berasa daripada sekedar percik-percik.
GKI pun mengambil sikap yang sama. GKI menerapkan tata cara baptisan percik, namun mengakui baptisan selam juga. Maksudnya begini: kalau ada simpatisan yang sudah dibaptis secara selam di gereja lain dan yang bersangkutan ingin menjadi anggota jemaat GKI, maka baptisan selamnya tetap diakui GKI. Yang bersangkutan cukup mengikuti pelajaran agama Kristen (katekisasi), lalu sesudahnya mengaku percaya dengan penumpangan tangan, tanpa perlu dibaptis percik lagi. Baptisan selam yang sudah diterimanya adalah sah dan diakui GKI. Ini baru namanya gereja yang benar ajarannya dan Alkitabiah!
Jadi stand point nya sudah jelas: cara baptisan percik atau selam, saya tidak mempermasalahkan. Monggo dilaksanakan sesuai tata cara gereja masing-masing.
Lalu, apa masalahnya? Yaitu saat baptisan diulang, biasanya dari baptisan percik ke baptisan selam. Ini lain ceritanya, dan saya betul-betul mengecam praktek baptis ulang seperti ini, karena betul-betul melecehkan Tuhan!
Biasanya para pembaptis ulang akan memulai dengan sebuah dogma bahwa baptisan yang Alkitabiah seharusnya dilakukan secara selam. Mengapa? Karena kata 'baptizo' yang dipakai dalam perikop terkait mengandung pengertian 'penenggelaman'. Jadi, ya jelas baptisan musti dilakukan secara selam. Sedangkan baptisan percik... Percik itu sendiri bahasa aslinya adalah: 'rantiso'. Jadi kalau seorang sudah dibaptis secara percik, sesungguhnya dia BELUM DIBAPTIS, namun BARU DIRANTIS....
Bagaimana saya bisa meng-counter pemahaman yang keliru ini?
Mudah saja, tapi mohon maaf kalau penjelasan saya ini agak 'menyerang' praktek baptis selam yang saya hormati dan hargai.
Ada 2 hal:
Pertama: di seluruh bagian Alkitab, saat kata 'baptizo' dan turunannya digunakan, maka kata itu hampir seluruhnya menunjuk pada pemercikan atau pembasuhan, seperti tata cara penyucian yang diatur dalam Hukum Taurat (misal: Markus 7:4, Lukas 11:38, 1 Korintus 10:1-2, dsb)
Bisa dibilang, Alkitab tidak mengenal tata cara penenggelaman, kecuali kisah Naaman yang harus mandi 7 kali di sungai Yordan.
Kedua: Yohanes hampir tidak mungkin melaksanakan penenggelaman.
Mengapa? Karena dia adalah keturunan imam Lewi yang tentu sangat familiar dengan tata cara upacara dan peribadatan Yahudi. Dia hanya mengenal pemercikan, seperti yang biasa dikenal dan dilakukan oleh para imam pada saat itu (banyak terdapat di Kitab Imamat dan Bilangan). Dan coba bayangkan... Sekiranya Yohanes membaptis secara selam di sungai Yordan, bagaimana caranya agar dia bisa membaptis para wanita tanpa harus melanggar hukum Taurat? Dengan memegang wanita yang bukan istrinya, lalu menenggelamkannya, dan mempersilakan sang wanita pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup? Betapa hal itu menjadi kegiatan gila yang melecehkan dan memalukan! No way! Saya percaya, sebagai keturunan imam Lewi maka Yohanes melakukan pembaptisannya dengan cara yang dikenalnya, yaitu pemercikan!
Balada Pembaptis Ulang part 1
Saya sangat berminat dengan isu ttg baptisan ulang, sehingga topik ini menjadi bahasan sekaligus prioritas pertama saya dalam refleksi teologis saya. Oya, karena sifatnya refleksi, bahkan ada kata 'spark' disana, maka setiap ulasan dalam artikel ini bukanlah jurnal teologi yang terlalu ilmiah dan serius. Bahkan saya membayangkan bahwa setiap tulisan dalam artikel ini hanya akan menjadi sebuah kata pembuka diskusi lanjutan dari pembaca sekalian yang berminat.
Mari mulai dengan topik pertama...
Baptisan ulang... Mustinya bukan isu yang terlalu baru lagi bagi kita. Bahkan saat Johanes Calvin masih hidup, dia pun sudah berjuang menghadapi praktek baptis ulang dari kalangan Anabaptis yang 'cukup sukses' menyesatkan jemaat.
Saya disini tidak akan menunjuk atau menyalahkan umat pelaku baptisan ulang, karena mereka hanyalah korban dari 'tipuan spiritual' dari para pembaptis ulang. Dalam banyak case, keputusan untuk melakukan baptisan ulang bahkan diambil dengan suatu niatan yang luhur untuk 'memperbaiki atau menyempurnakan kehidupan spiritual' seperti yang diajarkan oleh para pembaptis ulang.
Oke, jadi saya langsung pointing pada para pembaptis ulang, yaitu para pendeta, pastor, atau rohaniawan Kristen yang memang mempraktekkan baptisan ulang.
Pertanyaan pembuka: 'mengapa harus ada baptis ulang?'
Jawabannya gampang dan standar:
1. Karena baptis percik bukanlah 'baptisan' tapi 'rantisan'
2. Karena Kristen musti mengikuti teladan Tuhan Yesus yang di baptis dengan cara diselam
3. Karena perlu upacara inisiasi untuk mengesahkan seseorang menjadi anggota jemaat suatu gereja menganut baptisan ulang
Mari kita bahas satu persatu...
Mari mulai dengan topik pertama...
Baptisan ulang... Mustinya bukan isu yang terlalu baru lagi bagi kita. Bahkan saat Johanes Calvin masih hidup, dia pun sudah berjuang menghadapi praktek baptis ulang dari kalangan Anabaptis yang 'cukup sukses' menyesatkan jemaat.
Saya disini tidak akan menunjuk atau menyalahkan umat pelaku baptisan ulang, karena mereka hanyalah korban dari 'tipuan spiritual' dari para pembaptis ulang. Dalam banyak case, keputusan untuk melakukan baptisan ulang bahkan diambil dengan suatu niatan yang luhur untuk 'memperbaiki atau menyempurnakan kehidupan spiritual' seperti yang diajarkan oleh para pembaptis ulang.
Oke, jadi saya langsung pointing pada para pembaptis ulang, yaitu para pendeta, pastor, atau rohaniawan Kristen yang memang mempraktekkan baptisan ulang.
Pertanyaan pembuka: 'mengapa harus ada baptis ulang?'
Jawabannya gampang dan standar:
1. Karena baptis percik bukanlah 'baptisan' tapi 'rantisan'
2. Karena Kristen musti mengikuti teladan Tuhan Yesus yang di baptis dengan cara diselam
3. Karena perlu upacara inisiasi untuk mengesahkan seseorang menjadi anggota jemaat suatu gereja menganut baptisan ulang
Mari kita bahas satu persatu...
Sabtu, 01 Januari 2011
Beribadah di GRII Kemayoran
Saya beruntung sekali di awal tahun 2011 ini berkesempatan untuk beribadah di salah satu gereja yang ukuran gedungnya terbesar se-Jakarta. Gereja itu adalah Gereja Reformed Injili Indonesia yang berada di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Saya memang mempunyai resolusi 2011, yang salah satunya adalah: sebulan sekali mengunjungi gereja-gereja dari berbagai denominasi. Untuk apa? Untuk menimba ilmu, siapa tahu ada yang bisa diterapkan di GKI. Dan kalau saat ini saya menuliskan catatan hasil kunjungan ke GRII, saya menuliskannya tanpa tendensi apapun, selain untuk membagikan kembali apa yang sudah saya dapatkan. Dan perlu ditegaskan diawal, bahwa catatan hasil kunjungan ini merupakan catatan dari kacamata 'seorang tamu', yang baru atau jarang datang ke sana. Jadi mohon dimaklumi kalau hasil catatan tersebut bukan untuk meng-generalisir, namun sekedar memaparkan 'first impression' alias kesan pertama yang dalam banyak aspek tidak bisa dibilang mewakili seluruh kebenaran.
Catatan hasil kunjungan ini memakai formulir evaluasi kebaktian yang telah dikembangkan oleh Majelis Jemaat GKI Jemaat Nurdin Jakarta, dengan menganalisa 25 item pengamatan yang mencakup 5 aspek, yaitu: (1) Penyambutan, (2) Suasana Ibadah, (3) Pendukung Ibadah, (4) Khotbah, dan (5) Pelayanan Penatua.
Mari kita mulai....
OVERVIEW
GRII memang bukanlah gereja Reformed Historis, yaitu Gereja Reformed yang secara historis di-plant oleh gereja-gereja Reformed Belanda (seperti GKI, GKJ, dll). Namun GRII memosisikan dirinya sebagai gereja yang menganut Teologi Reformed, sebagai buah kristalisasi pemikiran dan pergumulan pendirinya, yaitu Pdt. Stephen Tong. Seharusnyalah GRII memiliki kesamaan dengan Gereja-gereja Reformed lainnya yang sudah lama established, sehingga mustinya ada satu kesatuan yang cukup erat (karena menganut teologi yang sama). Apalagi GRII semula diusung oleh 3 serangkai yang 2 diantaranya merupakan pendeta Reformed Historis (yaitu eks pendeta GKI). Namun di lapangan lain ceritanya.... Ada banyak kerikil tajam yang membuat gereja-gereja yang se-azas ini menjadi tidak mesra hubungannya... (terlalu panjang untuk dibahas dalam kesempatan ini). Saya juga tidak tahu apakah GRII sudah menjadi anggota Gereja-gereja Reformed Sedunia (yaitu WCRC: World Communion of Reformed Churches). Mungkin ada pembaca yang anggota GRII yang bisa membantu mengonfirmasikannya.
ASPEK 1: PENYAMBUTAN
Memasuki gedung GRII ternyata musti melewati pengamanan berlapis, bagaikan di mall. Di luar ada security yang memeriksa setiap mobil yang akan masuk, dan di dalam ada pemeriksaan lagi atas tas yang dibawa oleh pengunjung ibadah. Hmm... agak menyebalkan, tapi mungkin langkah ini memang diperlukan mengingat sikon Indonesia yang sering kurang aman untuk kegiatan peribadahan. Namun rasa sebal itu agak berkurang dengan kehadiran para usher yang begitu sigap menyambut bahkan mencarikan tempat duduk atau sekedar menunjukkan arah. Namun... kurang senyum dan sapa ya.... Oya, satu catatan lagi, yaitu parkir. Tadinya saya menduga parkirnya bakal susah, tapi ternyata tidak. Setelah membayar tarif parkir flat sebesar Rp. 5.000,- (untuk mobil) atau Rp. 1.000,- (untuk motor), cukup dibutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk mendapatkan tempat parkir... Okelah.
APEK 2: SUASANA IBADAH
Nah ini dia.... memang sulit ya mengatur orang sebanyak ribuan orang. Dari ibadah dimulai sampai dengan 30 menit sesudahnya, ada ratusan bahkan ribuan umat yang datang terlambat dan berjalan kesana kemari untuk mencari tempat duduk, serta menimbulkan noise yang membuat ibadah berjalan kurang khidmat. Saat saya datang, 5 menit sebelum ibadah dimulai, juga masih dilakukan latihan atas lagu yang mungkin jarang dinyanyikan. Dan sesudah latihan itu, langsung saja ibadah dimulai... hmm menurut saya sih belum terbangun suasana ibadah yang baik.
ASPEK 3: PENDUKUNG IBADAH
GRII beruntung memiliki alat-alat musik terbaik, yaitu piano yang terbaik dan pipe organ 3500 pipa yang luar biasa bagusnya. Ini baru namanya gereja! Selain itu ada 2 orang violis dan satu orang song leader. Tapi sayang, perimbangan suaranya kelewat njomplang. Suara pipe organ begitu powerfull sehingga menenggelamkan suara piano dan violin (dari pantauan arah balkon sisi pipe organ). Mungkin disisi satunya lagi suara piano dan violin lebih terdengar, yah ini memang masalah mixing sound yang perlu mendapat perhatian dari pakar akustik. Juga ada suara 'ngiiing' feed back yang cukup mengganggu, sayang sekali padahal ruangan ibadah itu saya yakin sudah dibangun dengan sistem akustik yang baik. Lainnya, masalah penampilan/cara berpakaian pelayan, multimedia, dlsb saya pikir sudah oke.
ASPEK 4: KHOTBAH
Wah kalau yang ini betulnya saya nggak berkompeten untuk memberikan penilaian, wong yang khotbah adalah Pdt. Stephen Tong sendiri yang sudah jelas-jelas seorang pakar khotbah. Namun, with all respect, saya ingin memberi catatan kecil demikian: suaranya suka nggak jelas.... apalagi ibu penerjemah di sebelahnya sering balapan bicara, menimbulkan suara bising yang cukup mengganggu jemaat (yang duduk di area saya) dalam menangkap isi khotbah. Khotbah dibawakan cukup lama, sekitar 1,5 jam dimana 30 menit pertama digunakan untuk sharing pergumulan pribadi dan pelayanan gereja yang membutuhkan dukungan dana yang besar.... Selebihnya, saya harus akui bahwa ybs membawakan khotbah dengan baik dan inspiratif sekali, dan membuat saya pun membuat komitmen pribadi untuk merancang hidup saya dengan lebih baik di tahun 2011 ini..
ASPEK 5: PELAYANAN PENATUA
Saya agak sulit menemukan mana yang penatua dan mana yang bukan penatua. Mungkin yang pakai jas yang penatua... namun kebanyakan mereka hanya duduk/berdiri di tempat saja, kurang terlibat dalam kegiatan peribadatan. Namun saya ingin memberikan catatan mengenai pelaksanaan perjamuan kudus (PK). PK yang dilaksanakan dengan air anggur dan hosti memang agak kacau dalam pelaksanaannya, sampai-sampai saat PK dimulai pun masih ada jemaat yang belum menerima air anggur dan hosti. Mungkin petugas PK perlu mencontoh kolektan dalam membagikan kantong kolekte yang bisa dilaksanakan begitu cepat dan rapi.
Demikian catatan kecil saya, semoga menjadi masukan yang berguna bagi kita semua.
Salam berdaya!
Langganan:
Postingan (Atom)