Minggu, 12 Juni 2011

Baptisan Anak part 2

Yang kedua: Dasar alkitabiah untuk baptisan anak

Harus diakui bahwa Alkitab tidak pernah secara eksplisit menyebutkan bahwa anak-anak dalam komunitas umat percaya harus atau bisa dibaptiskan. Namun dari studi biblika, kita bisa menemukan bahwa baptisan anak sebetulnya ada di dalam Alkitab. Saya akan menyebutkan beberapa saja:

Pertama: Alkitab tidak pernah menyebutkan bahwa baptisan anak pernah  menjadi sebuah polemik di dalam jemaat mula-mula, sehingga membutuhkan suatu pembahasan khusus. Menarik untuk diperhatikan, justru yang sering dibahas adalah masalah SUNAT: 'apakah orang non Yahudi yang masuk ke dalam komunitas umat percaya tetap harus disunat?' Hal mana telah diselesaikan melalui Konsili I di Yerusalem yang dipaparkan dalam Kisah Para Rasul 15:1-21.
(note: Hal ini berbeda dengan kasus baptisan ulang, dimana Alkitab dengan jelas menyebutkan bahwa baptisan perlu diulang apabila  belum dilakukan 'di dalam nama Tuhan Yesus', bisa dibaca di Kisah Para Rasul 19:3-5).
Ini bukan sekedar permainan kata, namun betul-betul perlu menjadi pemikiran yang serius. Mengapa? Karena bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa baptisan anak telah dilakukan di jemaat mula-mula!
Dalam sebuah literatur kuno, yaitu sepucuk surat dari Origenes (hidup kira-kira 1 abad setelah jaman para rasul) kepada Jemaat Roma, disebutkan bahwa 'Gereja telah menerima tradisi rasuli untuk memberikan baptisan kepada anak-anak kecil' (Apakah itu Baptisan? LRII, 1995). Jelas ini menjadi bukti bahwa baptisan anak telah dijalankan di bawah otoritas para rasul, sehingga aneh sekali kalau ada gereja masa kini yang menolak baptisan anak... Itu gereja akarnya darimana???  Kesaksian Origenes itu memang tidak seotoritatif Alkitab, namun menjadi sebuah bukti bahwa baptisan anak telah dipraktekkan sejak awal gereja berdiri SECARA NORMAL-NORMAL SAJA, nggak pakai acara berbantah, ngotot-ngototan, bahkan sampai bikin baptisan ulang segala! Kenapa begitu ya? Saya nanti akan jelaskan dibawah

Kedua: Sebetulnya ada banyak bagian Alkitab yang secara logis menunjuk bahwa anak-anak pun telah dibaptis, seperti:
  • Baptisan umat Israel saat MEREKA SEMUA melintasi Laut Teberau yang dimaknai ulang oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:1-2. Secara logika yang sehat, jelas anak-anak juga turut dibaptis. Kenapa? Ya karena anak-anak kan ikut nyeberang?? Masak mereka ditinggal dan orang tuanya nyeberang sendiri???
  • Baptisan satu keluarga, yaitu keluarga kepala penjara Filipi (Kisah Para Rasul 16: 33-34). Disitu dengan jelas disebutkan bahwa baptisan diterima oleh seluruh anggota keluarga, dan pastinya dalam keluarga itu ada anak-anak bukan? Ah, belum tentu! Teman saya saja nggak punya anak, jadi tinggal berdua saja sama pasangannya! Lihat-lihat konteks-nya dong!! Jaman sekarang sih iya banyak pasangan yang karena ingin mengejar karir maka menunda kehamilan. Tapi jaman dulu...? Nggak punya anak bisa menjadi aib besar, bahkan bisa menjadi alasan si suami untuk kawin lagi... Walau memang tidak disebutkan, tapi secara logika mustinya anak-anak pun dibaptiskan dalam keluarga tersebut!
Ketiga: Baptisan adalah penyempurna dari sunat sebagai tanda dan meterai dari perjanjian yang baru, yaitu keselamatan melalui iman kita kepada Tuhan Yesus. Alkitab dengan jelas menyebutkan bahwa baptisan menandakan ‘sunat Kristus’, yaitu penanggalan akan tubuh yang berdosa karena kita dikuburkan bersama Dia dalam baptisan dan dibangkitkan oleh kepercayaan kita kepada kerja kuasa Allah (Kolose 2:11-12). Perhatikan disini, baptisan BUKANLAH MEKANISME atau PROSEDUR yang membuat bagian tubuh kita yang berdosa menjadi tanggal (karena mekanisme itu hanya dapat dilakukan oleh Tuhan Yesus melalui karya penyelamatanNya), namun hanya merupakan sebuah TANDA yang memperlihatkan bagaimana mekanisme itu telah berlaku bagi umatNya (jadi, tidak ada khasiat apapun di dalam praktek baptisan!). Menarik untuk dicermati, bahwa dalam dunia Perjanjian Lama pun sudah ada pemikiran-pemikiran yang ingin menghindarkan kesalahpahaman umat akan khasiat praktek sunat, karena sunat pun seharusnya hanya dianggap sebagai TANDA dari sesuatu yang lebih hakiki, yaitu ‘sunat hati’ (seperti dalam Ulangan 10:16, 30:6). Tampaknya ada sebuah benang merah yang dapat ditarik antara sunat dan baptisan, sehingga jemaat mula-mula pun tidak merasa ragu lagi untuk meniadakan kewajiban sunat bagi orang non-Yahudi yang ingin bergabung dengan mereka (melalui keputusan Konsili I, seperti yang telah saya sebutkan pada poin 1 di atas) dan cukup melalui pembaptisan saja.
Sampai disini seharusnya kita semua sepakat bahwa baptisan memang merupakan penyempurna dari sunat. Dan apabila kita sudah sepakat, maka kita pun musti sepakat bahwa baptisan anak memang telah  dipraktekkan secara wajar dan normal-normal saja oleh jemaat mula-mula, sehingga gereja masa kini pun HARUS MEMBERLAKUKANNYA apabila memang memiliki dasar yang sama, yaitu Alkitab. Kenapa ‘musti’? Karena ‘sunat’ dilakukan atas ‘anak yang berumur 8 hari’ (Kejadian 17:12), dilakukan BUKAN karena ybs sudah mengerti akan arti sunat tetapi karena kewarganegaraan orang tuanya.
Apakah Anda warganegara Kerajaan Sorga? Lalu mengapa Anda ragu untuk memeteraikan anak Anda sebagai warganegara Kerajaan Sorga juga?
Kalau dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anak kita maka kita bisa menjadi begitu otoriter dalam menentukan pendidikan dan sekolah mana yang musti diambil oleh anak-anak kita, masakan dalam hal yang sangat penting dan bernilai kekal - yaitu IMAN - kok kita jadi merasa ragu, bahkan sok demokratis??!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar