Bagian ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan. Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami: militiachristi2010@gmail.com
DEDDY S HARYONO
Lahir: Cirebon, 12 Agustus 1946
Wafat: Jakarta, 21 Oktober 2001
Pelayanan:
- 10 Feb. 1973: Mulai melayani di GKI Serang
- 12 Agst. 1973: Diteguhkan sebagai Penatua Khusus
- 16 Juli 1974: Ditahbiskan sebagai Pendeta di GKI Serang
- 1975 – 1982: Ketua Badan Kerjasama Kristen Katolik di Serang
- 1975 - 1977: Menjadi Pendeta Konsulen di GKI Mero dan GKI
Bandar Lampung - 1982 - 1983: Menjadi Pendeta Konsulen di GKI Bandar Lampung
- 25 Juli 1983: Diteguhkan sebagai Pendeta di GKI Mangga Besar
- 1983 – 1985: Guru Agama Kristen di SMP SMA Mangga Besar
- 15 Januari 1991: Mulai bertugas di Jemaat GKI Nurdin
- 13 Agustus 1991: Diteguhkan sebagai Pendeta di GKI Nurdin
Minggu,
tanggal 21 Oktober 2001 adalah hari yang tidak akan pernah terlupa olehku
karena hari itu merupakan hari perpisahanku secara jasmani untuk selama-lamanya
dengan papaku yang aku kasihi. Ia pergi begitu mendadak, namun secara
keseluruhan proses kepergiannya terlihat indah. Ia tidak tersiksa oleh sakit
yang berkepanjangan, ia pergi di hari minggu, sepulang dari gereja, di puncak
pelayanannya, dan aku pikir…ia adalah pahlawan Tuhan yang setia sampai akhir
hayatnya. Di detik-detik terakhir
hidupnya, perkataan yang keluar pun masih berkisar tentang pelayanannya.
Dua
minggu terakhir sebelum kepergiannya, aku bersama papa terlibat aktif dalam
persiapan dan pelaksanaan Panitia Retret Jemaat. Dalam retretpun aku banyak
mendampingi papa karena ia terlihat kurang fit. Sebab sebelumnya, memang sudah
banyak pelayanan yang beliau lakukan dan jalani tanpa pernah mengeluh. Tidak
kecil pula tantangan dan kesulitan yang ia hadapi dalam pelayanannya, namun ia
tetap berpegang teguh bahwa Tuhan yang akan menguatkannya. Tidak sedikit pula
masalah pribadi dan keluarga yang timbul, namun beliau pasrah bahwa Tuhan
akan buka jalan dan memberikan yang
terbaik. Di tengah-tengah banyaknya pergumulan yang dihadapinya, papa masih
cukup memperhatikan orang lain, baik kepada anggota keluarga maupun jemaat.
Saat
itu, aku seperti bermimpi, papa meninggal di tanganku. Jam 5 pagi, aku dan papa
masih sempat nonton berita di TV sambil bercakap-cakap tentang pelayanan beliau
pada hari minggu itu. Ia pergi ke gereja sendiri dengan berjalan kaki. Jam 8
lewat, ia pulang diantar mobil gereja dalam kondisi yang lemas. Ia berkata
“badannya lemes sekali, tolong buatkan teh hangat manis.” Di kamar, aku membuka
kemeja, dasi, dan ikat pinggang agar papa dapat bernafas dengan lebih lega. Aku
tanya “Pa, ada yang dirasakan?”. Jawabnya : “Dadanya sesak sekali, sakiiiit!”.
Aku langsung berpikir : jangan-jangan papa kena serangan jantung lagi. Lalu aku
ingat untuk segera memberikan obat yang harus ditaruh dibawah lidah sebagai
pertolongan pertama. Beliau tampak sedikit tenang, tidak mengeluh…. Tak lama
kemudian ia minta oksigen, aku memberikan tabung oksigen kecil dan ia mampu
menyemprotkan oksigen sendiri. Setelah itu, kondisinya terlihat agak tenang,
aku berada di sampingnya sambil memegang tangannya dan aku sudah meneteskan air
mata….entah kenapa? Kemudian, papa ingin membalikkan tubuhnya ke kiri, sambil
meminta oksigen kembali. Aku memberikannya namun ia tidak bisa menyemprotkan
oksigen sendiri karena kondisinya yang amat lemah. Aku membantu memberikan
oksigen sambil berkata :“Pa, tarik nafas pelan-pelan pa. Pa, tarik nafas
pa……tapi tak lama kemudian, ia menarik nafas panjang…..dan berhenti bernafas…
mukanya membiru, dan tubuhnya tergeletak lemas di kasur.
Mama,
aku, dan adik-adik berteriak…..’papa jangan pergi…………, papa jangan pergi.’ Air
mata mengalir deras tanpa bisa dibendung. Setelah itu, aku tidak berani lagi
untuk melihat papa….. aku meninggalkan kamar papa dan aku masih berharap kalau
papa hanya pingsan, meskipun aku sudah tahu bahwa tidak ada nadi lagi yang
berdenyut di tubuhnya.
Lalu
aku masuk ke kamarku dan berdoa “Tuhan, mengapa papa diambil sekarang?” Kenapa
Tuhan? Kenapa? Apakah Tuhan tidak mengerti bahwa saya masih membutuhkan papa
dan ingin bisa membahagiakan papa? Aku tidak tahu apa maksud Tuhan, tapi aku
minta Engkau yang memberi aku kekuatan untuk menghadapi dan menerima kenyataan
ini. Tolong Tuhan……… tolong kuatkan aku.
Setelah
aku lebih mampu mengendalikan diri, aku keluar kamar dan mendampingi adikku
yang juga amat terpukul hingga ia histeris. Jenazah papa dibawa ke RS Sumber
Waras. Sejam kemudian aku ke sana
bersama adik perempuanku. Aku memberanikan diri masuk ke kamar jenazah….aku
melihat wajah papa begitu tenang dan damai. Aku menangis dan memeluknya…sambil
berkata dalam hati : “Pa, selamat jalan.
Pergilah dengan tenang. Kelak kita akan berkumpul kembali dalam sukacita di
rumah Bapa.” Aku keluar dari kamar jenazah dengan perasaan yang amat
menyakitkan, sekaligus…… ada juga keyakinan bahwa papaku
kini telah bahagia dan terbebas dari segala penderitaan, dan ia sudah layak
untuk menerima itu.
Puncak dari proses perkabungan yang
kurasa akan sulit untuk dihadapi adalah ketika kebaktian tutup peti karena saat
itulah…saat terakhir kali aku dapat melihat tubuh jasmani papaku. Air mata yang
keluar, kuyakini bukan berarti aku tidak beriman. Air mata bagiku adalah hal
yang wajar sebagai akibat dari rasa sedih yang aku rasakan karena kehilangan
papa.
Ternyata
hari-hari terasa lebih berat setelah
segala proses/upacara perkabungan usai. Tinggal di rumah adalah waktu-waktu
yang amat menyakitkan. Melihat ruang kerjanya, kamarnya, barang-barang dan
buku-buku miliknya, dapat membuat air mata mengalir begitu saja. Foto keluarga
yang ada di dinding pun membuat rasa kehilangan itu makin terasa.
Aku
sungguh tidak tahu pada waktu itu harus berbuat apa untuk mengatasi rasa duka
ini. Satu hal yang kutahu yaitu jika aku merasa sedih, aku akan menangis yang
kupikir sebagai cara untuk mengekspresikan kesedihan itu. Biasanya setelah
menangis, ada kelegaan.
Perasaan
duka masih terus terasa, namun kehidupanku
harus terus berjalan. Aku berusaha untuk memfokuskan diri pada
tugas-tugas studiku yang sempat tertinggal karena aku tidak masuk selama
beberapa hari. Namun aku mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi. Tugas-tugas
yang begitu banyak membuat aku putus asa kalau-kalau aku dapat menyelesaikan
studiku yang tinggal sedikit lagi.
Suatu
malam yang menyakitkan timbul kembali yaitu pada malam natal dan malam tahun
baru dimana biasanya, kami sekeluarga ke gereja bersama dan mengadakan doa
malam bersama di akhir tahun. Namun tahun ini, keadaan sudah berubah dan aku
masih dalam proses menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ini. Pada malam
hari-hari tersebut, aku di kamar menangis, berdoa, dan menulis surat atau ungkapan hatiku kepada papa. Itu
membuat aku lega.
Satu
hal yang membuat ku bahagia adalah pada tanggal 19 Februari 2002, aku
dinyatakan lulus. Di samping rasa bahagia tersebut, ada pula rasa sedih karena
papa ku tidak sempat melihat anaknya berhasil meraih cita. Setelah studiku
selesai, hal yang harus kupikirkan adalah mengenai pekerjaan dan mencari tempat
tinggal. Hal-hal tersebut membuatku semakin tertekan. Air mata banyak mengalir
di malam hari ketika aku merasa tidak yakin akan mampu menjalani kehidupan selanjutnya,
terutama pada saat anak-anak papa belum benar-benar bisa mandiri secara
ekonomi.
Saat-saat
itu…saat yang tidak mudah untuk dilalui….aku seringkali rindu papa, ingin
sekali bisa cepat berkumpul kembali dengannya, bahkan ada rasa putus asa dan
ingin segera bersatu dengan papa di surga. Aku menemui kesulitan mendapatkan
seorang teman untuk saling berbagi, saling menguatkan, saling mendukung, saling
mendoakan. Aku takut untuk terbuka kepada orang lain karena…..
ungkapan-ungkapan atau pemikiran-pemikiran logis yang dilontarkan orang
terhadap rasa duka dan pergumulan yang aku hadapi….acapkali membuat aku merasa
tidak dimengerti dan lemah iman. Padahal
ketika aku sharing….. yang aku butuhkan hanyalah sepasang telinga yang bersedia
untuk mendengar……
Kini,
pergumulan demi pergumulan terjawab…..datang dan pergi……, bergumul kembali atas
hal-hal yang lain. Makin hari makin kurasakan kasih Tuhan. Sampai detik ini,
kami sekeluarga tidak terlantar dan aku imani itu karena Tuhan yang memelihara
hidup kami sekeluarga. Ya memang benar…Sumber Daya Manusia Sumber itu terbatas,
sedangkan Sumber Daya Tuhan tidak terbatas………..Duka yang ada kuyakin pasti akan
sirna.
Banyak
perkara yang tak dapat kumengerti
Mengapakah
harus terjadi di dalam kehidupan ini?
Satu hal
kuyakin dan kusimpan dalam hati
Tiada
sesuatu kan
terjadi tanpa Allah Peduli
Allah
mengerti, Allah peduli,
Segala
persoalan yang aku hadapi.
Tak akan
pernah dibiarkanNya
Ku bergumul
sendiri, sebab Allah peduli.
Di bukaNya
jalanku sebab Allah mengerti.
- Yanthi AH, April
2002 -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar