Seorang berilmu membaca banyak buku dan ingin terus belajar
Seorang religius hanya membaca satu Buku (yakni kitab suci) dan mengklaim telah memahami segala sesuatu.
Pernyataan
yang menyindir orang religius itu saya baca di dalam sebuah komentar di
salah satu akun FB seorang mantan pendeta Kristen yang agaknya telah
menjadi penganut Scientisme.
Apakah itu Scientisme?
Scientisme
adalah 'anak kandung' humanisme, yaitu filsafat yang mengagungkan
potensi manusia yang nyaris tanpa batas, dengan penekanan pada
ke-aplikasi-an metode ilmiah (logika, pengujian, pengukuran, pembuktian)
pada berbagai (bahkan semua) hal, termasuk agama (lihat definisi lain
di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Scientism).
Dalam
persepektif scientisme, segala hal yang tidak logis, tidak teruji,
tidak dapat diukur, dan yang tidak dapat dibuktikan adalah: omong
kosong, delusi, kebodohan (apabila tetap dipercayai)... Dapat
dibayangkan, bagaimana seorang penganut scientisme memandang Alkitab
yang penuh dengan hal-hal yang tidak logis dan yang tidak/susah
dibuktikan, seperti: penciptaan alam semesta hanya dalam tempo 7 hari,
tanah yang ditiup lalu menjadi manusia yang hidup, ular yang dapat
berbicara, manusia yang dapat berjalan di atas air, kapak besi yang
dapat terapung di air, dll...dll...
Sebetulnya tidak ada yang
salah dengan ke-ilmiah-an, bahkan kita pun tahu ada banyak ilmuwan yang
masih menjadi penganut agama Kristen (maupun agama lain) yang saleh.
Sekolah-sekolah Kristen pun tidak ragu untuk mengajarkan Sains di dalam
kurikulumnya, bahkan yang namanya Sekolah BPK Penabur itu merupakan
langganan juara Sains tingkat nasional bahkan internasional.
Menjadi
problem kalau ke-ilmiah-an manusia yang hebat itu dianggap sebagai
SATU-SATUNYA pola atau cara berpikir. Tak terhindarkan mereka akan
memandang agama sebagai sumber pembodohan manusia bahkan racun/candu
masyarakat yang menimbulkan delusi massal. Mereka 'menuduh' agama
sebagai sebuah 'cara gampang' (alias cara nge-les) untuk menjelaskan
sesuatu yang 'belum terjelaskan' oleh pemikiran manusia, membuat manusia
menjadi malas berpikir, malas belajar, dan akhirnya benar-benar membuat
manusia menjadi mahluk bodoh yang terus diperdaya oleh dogmatisme para
rohaniawan.
Hal ini menjadi tantangan yang sungguh sangat real
dan relevan bagi gereja masa kini, karena memang perkembangan peradaban
manusia saat ini sedang berada di puncak-puncaknya, seolah-olah segala
hal mampu dijawab dan diatasi oleh otak manusia. Konsep keTuhanan
perlahan-lahan luntur, dan aktivisme keagamaan bisa menjadi sesuatu yang
irrelevan dengan perkembangan jaman.
Para teolog sebetulnya
telah berusaha untuk memperkecil gap antara sains dan agama, dengan
membuat berbagai pendekatan teologi, seperti:
1. Pendekatan
metode kritis, baik dengan melakukan penelitian teks, penelitian
sejarah, dan sebagainya (yang ini jelas ilmiah), bahkan sampai melakukan
pemilahan/pemisahan mitos-mitos (misalnya demitologisasi ala Bultmann),
yaitu dengan membuang bagian-bagian yang dianggap 'mitos' dan hanya
mengambil inti pesan keagamaan (kerygma) di dalamnya. Pendekatan ini
mungkin berhasil memberi kesan 'pintar dan ilmiah' pada beberapa aspek
teologi Kristen. Namun di sisi lain, pendekatan ini membuat para teolog
pintar itu bak sedang mengupas bawang, alias get nothing, tidak mendapat
nilai tambah apapun pada pertumbuhan spiritualitas, bahkan membuat
kekristenan menjadi sangat relatif, sangat serupa dengan dunia...makin
abu-abu dan cenderung permisif dengan 'gelap'.
2. Pendekatan
penafsiran alegoris yang memberi makna tertentu pada berbagai hal yang
disebut 'mitos', misalnya dalam 2 Raja-Raja 6:5-7, yang bisa ditafsirkan
sbb:
- mata kapak yang terlepas dari tangkainya dan tenggelam,
dimaknai sebagai: manusia yang terpisah dari Tuhan dan terbenam di
dalam dosa
- batang kayu yang dilemparkan, dimaknai sebagai: Tuhan
Yesus yang bersedia masuk ke dalam dunia yang berdosa untuk mengangkat
manusia dari dosa, dan
- kapak yang timbul/terapung, dimaknai sebagai: manusia yang telah mengalami pembaharuan hidup dan menang atas kuasa dosa
Penafsiran
alegoris memang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai hal secara
lebih segar dan tampak relevan. Namun di sisi lain pendekatan ini dapat
memunculkan kekacauan hermeunetika, membuat cara menafsir yang
'semau-gue' yang menimbulkan kegagalan kita dalam memahami Firman Tuhan
yang sebenarnya.
3. Pendekatan literal yang menerima teks Alkitab
secara apa adanya dengan penekanan pada doktrin 'ke-tanpa-salah-an
Alkitab', sebuah posisi ekstrem kanan yang secara frontal berhadapan
dengan scientisme maupun teologi modern, dan sering di-cap fundamental
dan radikal, bahkan serupa dengan dogmatisme abad pertengahan. Namun di
banyak tempat, pendekatan literal ini justru menguat dan diminati karena
'memberikan kepastian keberimanan yang kokoh' di tengah situasi jaman
yang tidak menentu saat ini.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai warga jemaat GKI?
Biasanya
GKI mengambil jalan tengah yang menjauh dari kegaduhan yang tidak perlu
dan kontra produktif. 'Gitu aja kok repot', begitu istilah populer Gus
Dur yang sering dengan tepat menggambarkan diri kita. Iyalah, ngapain
juga repot, toh masalah beginian tidak akan merubah jalan keselamatan
kan? Sekali selamat, tetap selamat, begitulah keyakinan iman GKI. Tapi
tentu kita harus berkata dan bersikap sesuatu yang dapat memperlengkapi
diri kita saat kita membentur atau bersinggungan dengan scientisme ini.
Pertama:
mencampuradukkan sains dan agama jelas merupakan sebuah kesalahan fatal
dan sekaligus menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir. Sains bukan
agama, agama bukan sains. Di dalam agama memang ada bau-bau sains,
misalnya: tentang matahari yang beredar mengitari bumi, bahkan yang
pernah berhenti beredar(baca Yosua 10:12-14). Tetapi hal ini janganlah
lantas harus diteropong melalui 'kacamata kuda' sains, untuk membuktikan
kesalahan isi Alkitab (karena faktanya yang beredar itu kan bumi, bukan
matahari). Janganlah karena mengandung kesalahan secara ilmiah lantas
Alkitab harus 'dimuseumkan' karena isinya sudah terbukti salah. Mari
tempatkan Alkitab sebagai Firman Tuhan yang menjadi pedoman hidup umat
percaya, yaitu untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki
kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (baca 2 Timotius 3:16), dan
bukannya untuk belajar sains!
Kedua: Alkitab selalu berbicara
dalam bahasa yang dapat dipahami manusia dalam konteksnya masing-masing,
karena kalau Tuhan membuka segenap rahasia diriNya dan ciptaanNya di
dalam Alkitab, bisa dibayangkan betapa Alkitab akan menjadi buku yang
tidak akan pernah dibaca, dipahami, bahkan dipercaya oleh manusia!
Mengapa? Karena kemampuan berpikir manusia itu terbatas. Tuhan Yesus pun
pernah mengingatkan hal ini, bahwa untuk hal-hal duniawi saja manusia
sering sulit untuk percaya, apalagi untuk hal-hal surgawi (baca Yohanes
3:12). Lucu sekali saat saya berbicara dengan seorang penganut
scientisme, mereka tidak pernah mau mengaku bahwa otak manusia itu pasti
ada batasnya. Mereka nge-les sedemikian rupa, pakai
sidetracks/pengalihan macam-macam untuk menghindar berbicara mengenai
hal tersebut (karena memang mereka 'beriman' akan ketidakterbatasan otak
manusia). Dan, ternyata manusia sendiri sebetulnya sering (dan senang)
memakai ungkapan yang sebetulnya kita tahu hal itu tidak tepat, seperti
masih mengatakan: 'matahari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk
barat', dan bukannya 'bumi be-rotasi menghadap matahari atau
membelakangi matahari'. Hal itu terjadi karena memang adanya
keterbatasan dalam bahasa manusia, sesuatu yang sangat dimaklumi Tuhan,
tetapi - anehnya - tidak dimaklumi oleh penganut scientisme.
Ketiga:
mungkin yang ditunggu-tunggu adalah: bagaimana kita dapat menjelaskan
berbagai kisah Alkitab yang 'tidak logis' yang 'tidak terbuktikan' dan
yang 'tidak dapat diuji kebenarannya', terutama kepada penganut
scientisme? Saya jawab secara singkat saja: mereka tidak membutuhkan
penjelasan apapun karena mereka sudah jauh lebih tahu ketimbang kita,
dan mereka sudah memiliki sikap sendiri. Kita bisa saja mencoba
menjelaskan melalui pendekatan metode kritis, penafsiran alegoris,
literal, dan lain sebagainya. Itu tidak akan mempan! Yang mereka
butuhkan hanyalah: sentuhan kasih Tuhan yang bisa mereka dapatkan
melalui sentuhan kasih kita! Dan jangan lupa: doakan mereka! Apabila
mereka adalah terhitung sebagai umat yang Tuhan pilih untuk
diselamatkan, pasti suatu hari kelak mereka akan melihat
ke-Maha-Kuasa-an Tuhan yang melampaui kemampuan otak mereka, dan mulut
mereka pun akan mengaku: 'Ya Tuhanku dan Allahku!' (Yohanes 20:28).
Salam berdaya!
TKS - 01/12/12
Membangkitkan dan mengakselerasi GKI sebagai Gereja Reformed yang Modern dan Relevan (Revives and accelerates GKI as a Modern and Relevant Reformed Church)
Minggu, 09 Desember 2012
Pohon Natal tanpa Lampu Natal
Bagian
ini didedikasikan untuk kekasih kita, para Pahlawan Allah, yang telah
menang dan menunjukkan keteladanan iman yang memberi kesan yang
mendalam; tidak hanya berbicara mengenai mereka yang sudah kembali ke
Rumah Sejati, namun juga menjadi sharing kita yang masih tinggal dalam
kefanaan dan bergumul dengan misteri kehidupan yang bernama: kehilangan.
Kiranya kolom ini menjadi sarana untuk saling berbagi, dan silakan
mengirimkan kesaksian Anda (teks dan foto) ke alamat email kami:
militiachristi2010@gmail.com
A Christmas Tree without Light
(Sebuah perziarahan dalam mencari makna kehidupan dan kematian)
Tentu kita semua sudah tahu tentang 7 hari penciptaan seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian.
Hari pertama Tuhan menciptakan terang. Terang itu bukanlah sembarang terang, karena terang itu ada TANPA adanya benda penerang (karena benda-benda penerang baru tercipta pada hari ke-4), bahkan terang itu sanggup mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan (yang sudah tercipta lebih dahulu, yaitu pada hari ke-3). Saya pernah membaca tulisan seorang skeptik tentang hal ini, yaitu: bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan tercipta lebih dahulu ketimbang benda penerang? Ya mati dong... Dia lupa bahwa di hari pertama sudah ada terang. Kalau sekarang ini manusia sudah bisa menciptakan terang matahari buatan yang sanggup menumbuhkan tanaman, apalagi Tuhan - Sang Pencipta - Ia pasti sanggup menciptakan terang yang bukan berasal dari benda-benda penerang seperti yang manusia kenal saat ini yang sanggup menumbuhkan tanaman! Terang itu adalah Terang Ilahi, Divine Light, yang menjadi sebuah awal dari terciptanya alam semesta dan segenap penghuni bumi. Terserahlah orang mau menghubungkannya dengan teori Big Bang-nya Hawking, bagi saya Terang itu merupakan sebuah terobosan yang Tuhan lakukan untuk membuat dari yang kacau dan gelap itu menjadi sesuatu keberadaan yang 'sungguh amat baik', yakni segenap ciptaanNya (Kej 1:31).
Setelah 7 hari penciptaan selesai, Tuhan melanjutkannya dengan menciptakan suatu keluarga Allah yaitu dalam diri manusia debu tanah (adamah) dan perempuan (Kej 2:7,23) sebagai pasangan yang sepadan (Kej 2:18). Apakah mereka ini 'ciptaan baru' yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan pada hari ke-6 (Kej 1:27), atau merupakan awal dari mereka semua itu? Ini tentu mengundang banyak opini dan perdebatan. Namun bagi saya, pikiran utamanya adalah: Tuhan menganggap keluarga sebagai hal yang penting. Keluarga menjadi sebuah terobosan di tengah persoalan kesendirian manusia. Saat ini, ada begitu banyak orang yang sendiri dan kesepian... Keluarga dan dukungan keluarga-lah solusinya! Keluarga diharapkan dapat berperan secara lebih optimal di jaman yang penuh persoalan dan ketidakpedulian ini.
Namun dalam perjalanan hidupnya, keluarga Allah ini mengalami jatuh ke dalam dosa, sehingga menimbulkan 'produk baru' yang bernama: kematian (Kej 2:16-17). Kematian adalah upah dosa, sebuah kutuk yang menjalar bagaikan kanker ke seluruh umat manusia. Namun syukur kepada Tuhan, bahwa 'keturunan perempuan' sudah mengalahkan Iblis yang mengikat manusia dalam dosa (Kej 3:15). Tuhan Yesus adalah Sang Terang - Devine Light - yang menerobos kacau dan gelap-nya dosa dan mengangkat manusia (yang dipilih untuk percaya kepadaNya) untuk kembali menjadi ciptaan yang 'sungguh amat baik'. Apakah manusia lantas terbebas dari kematian? Jelas tidak, mana ada manusia yang tidak bisa mati?! Namun kematian di dalam Kristus tidak lagi dipandang sebagai kutuk dan upah dosa, tetapi menjadi sebuah jalan untuk menerima anugerah keselamatan, yakni kehidupan yang kekal.
Lantas apa hubungan ulasan tersebut dengan 'Pohon Natal tanpa Lampu Natal' dan 'perziarahan'?
Ini sharing pribadi, yaitu di Natal tahun 2011 yang lalu. Karena berbagai kesibukan saya, akhirnya menjelang tanggal 25 Desember pohon
Natal belum terpasang di rumah. Waktu itu sudah tanggal 24 Desember siang. Apakah Natal tahun itu akan menjadi Natal tanpa pohon Natal? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk tetap memasang pohon Natal sekalipun hanya untuk seminggu. Saat semua daun sudah terpasang, hiasan-hiasan bola dan bintang juga sudah digantung, tibalah saatnya untuk menyalakan lampu Natal. 'Klik'... Dan kami terdiam saat menyadari bahwa semua lampu Natal padam... Mungkin ada kabel yang putus di suatu tempat, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Jadilah pohon Natal yang tanpa lampu Natal...
Natal tahun 2011. Mama saya - yang saat itu sudah sakit kanker parah - mendadak berkeinginan untuk merayakan Natal bersama saya sekeluarga di Jakarta. Saya merasa sangat bersyukur karena saya masih berkesempatan untuk merayakan Natal bersama mama saya di tahun itu, yang adalah Natal terakhir bagi mama saya. Setelah mengikuti Perayaan Natal di tanggal 25 Desember, saya baru menyadari betapa mama terlihat begitu lelah. Dan sepulangnya ke kota asalnya, kondisi fisik mama saya terus menurun, dan 3 bulan kemudian mama berpulang ke surga. Saya sempat berpikir: apakah pohon Natal tanpa lampu Natal adalah merupakan sebuah pertanda kematian dari orang yang saya kasihi? Atau hanya kebetulan acak belaka?
Mengalami sendiri situasi kematian ternyata bukan hal yang mudah. Saya bersyukur karena di jam-jam awal masa kedukaan, saya di cover oleh Pdt Dianawati dan Pdt Frans yang jauh-jauh datang untuk memberi support bagi saya sekeluarga. Dan di saat-saat seperti inilah - hingga berbulan-bulan sesudahnya - saya menjalani perziarahan ke dalam misteri kehidupan dan kematian, yang saya tahu perziarahan ini pun diikuti oleh banyak orang yang bergumul dengan hal yang sama.
Ada beberapa hal yang akhirnya saya temukan dalam perziarahan saya (yang masih berlanjut hingga kini).
Yang pertama adalah: pentingnya ikatan keluarga. Dalam masa-masa sulit, justru ikatan keluarga harus semakin diperteguh. Kami sekeluarga kini merasakan kualitas hubungan yang semakin baik satu sama lain, sekalipun kami tinggal saling berjauhan, dan inilah yang menjadi sumber kekuatan dikala kelemahan datang menghampiri. Keluarga-lah yang pertama-tama harus saling menguatkan, setelah itu barulah orang lain (saudara seiman, tim perlawatan khusus, pendeta, dsb). Keluarga yang justru terpecah saat kesulitan/duka datang akan sangat sulit untuk melakukan recovery, dan ini jelas membutuhkan sebuah kerelaan dari masing-masing anggota keluarga untuk dapat lebih saling menahan diri dan berkorban.
Kedua adalah: meninggalkan warisan. Warisan disini bukanlah warisan materi, namun lebih kepada nilai-nilai yang bisa kita tinggalkan kepada orang lain saat kita kembali ke sorga. Pepatah mengatakan: sesuatu akan terasa begitu berharga saat kita kehilangannya. Saat mama saya berpulang, barulah saya dengan jelas melihat betapa luar biasanya dia! Perhatian, dukungan, rasa kehilangan, cerita-cerita yang baik... Membuat saya berpikir: kalau giliran saya yang mati nanti, apakah saya pun akan meninggalkan warisan nilai-nilai yang sebaik yang diwariskan mama saya? Misteri kematian seharusnyalah membuat manusia berusaha dan terus berusaha untuk meninggalkan warisan yang semakin baik, dan bukankah hal itu membuat dunia menjadi tempat yang semakin baik untuk dihuni manusia?
Pohon Natal tanpa lampu Natal... Saya pikir hal yang baik apabila Natal dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Namun itu bukanlah yang terpenting! Yang terpenting adalah: kita seharusnya yang menjadi lampu-lampunya, yang tidak terpadamkan dan yang bersinar terus bagi sekitar kita! Kalau Divine Light itu telah membuat terobosan bagi dunia yang kacau dan gelap, maka kita sebagai umatNya pun seharusnyalah memancarkan terang yang menerangi dan mempercantik dunia. Semoga hal itulah yang bisa menjadi warisan hidup kita semua.
(TKS - 29/11/2012)
A Christmas Tree without Light
(Sebuah perziarahan dalam mencari makna kehidupan dan kematian)
Tentu kita semua sudah tahu tentang 7 hari penciptaan seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian.
Hari pertama Tuhan menciptakan terang. Terang itu bukanlah sembarang terang, karena terang itu ada TANPA adanya benda penerang (karena benda-benda penerang baru tercipta pada hari ke-4), bahkan terang itu sanggup mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan (yang sudah tercipta lebih dahulu, yaitu pada hari ke-3). Saya pernah membaca tulisan seorang skeptik tentang hal ini, yaitu: bagaimana mungkin tumbuh-tumbuhan tercipta lebih dahulu ketimbang benda penerang? Ya mati dong... Dia lupa bahwa di hari pertama sudah ada terang. Kalau sekarang ini manusia sudah bisa menciptakan terang matahari buatan yang sanggup menumbuhkan tanaman, apalagi Tuhan - Sang Pencipta - Ia pasti sanggup menciptakan terang yang bukan berasal dari benda-benda penerang seperti yang manusia kenal saat ini yang sanggup menumbuhkan tanaman! Terang itu adalah Terang Ilahi, Divine Light, yang menjadi sebuah awal dari terciptanya alam semesta dan segenap penghuni bumi. Terserahlah orang mau menghubungkannya dengan teori Big Bang-nya Hawking, bagi saya Terang itu merupakan sebuah terobosan yang Tuhan lakukan untuk membuat dari yang kacau dan gelap itu menjadi sesuatu keberadaan yang 'sungguh amat baik', yakni segenap ciptaanNya (Kej 1:31).
Setelah 7 hari penciptaan selesai, Tuhan melanjutkannya dengan menciptakan suatu keluarga Allah yaitu dalam diri manusia debu tanah (adamah) dan perempuan (Kej 2:7,23) sebagai pasangan yang sepadan (Kej 2:18). Apakah mereka ini 'ciptaan baru' yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan yang diciptakan Tuhan pada hari ke-6 (Kej 1:27), atau merupakan awal dari mereka semua itu? Ini tentu mengundang banyak opini dan perdebatan. Namun bagi saya, pikiran utamanya adalah: Tuhan menganggap keluarga sebagai hal yang penting. Keluarga menjadi sebuah terobosan di tengah persoalan kesendirian manusia. Saat ini, ada begitu banyak orang yang sendiri dan kesepian... Keluarga dan dukungan keluarga-lah solusinya! Keluarga diharapkan dapat berperan secara lebih optimal di jaman yang penuh persoalan dan ketidakpedulian ini.
Namun dalam perjalanan hidupnya, keluarga Allah ini mengalami jatuh ke dalam dosa, sehingga menimbulkan 'produk baru' yang bernama: kematian (Kej 2:16-17). Kematian adalah upah dosa, sebuah kutuk yang menjalar bagaikan kanker ke seluruh umat manusia. Namun syukur kepada Tuhan, bahwa 'keturunan perempuan' sudah mengalahkan Iblis yang mengikat manusia dalam dosa (Kej 3:15). Tuhan Yesus adalah Sang Terang - Devine Light - yang menerobos kacau dan gelap-nya dosa dan mengangkat manusia (yang dipilih untuk percaya kepadaNya) untuk kembali menjadi ciptaan yang 'sungguh amat baik'. Apakah manusia lantas terbebas dari kematian? Jelas tidak, mana ada manusia yang tidak bisa mati?! Namun kematian di dalam Kristus tidak lagi dipandang sebagai kutuk dan upah dosa, tetapi menjadi sebuah jalan untuk menerima anugerah keselamatan, yakni kehidupan yang kekal.
Lantas apa hubungan ulasan tersebut dengan 'Pohon Natal tanpa Lampu Natal' dan 'perziarahan'?
Ini sharing pribadi, yaitu di Natal tahun 2011 yang lalu. Karena berbagai kesibukan saya, akhirnya menjelang tanggal 25 Desember pohon
Natal belum terpasang di rumah. Waktu itu sudah tanggal 24 Desember siang. Apakah Natal tahun itu akan menjadi Natal tanpa pohon Natal? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk tetap memasang pohon Natal sekalipun hanya untuk seminggu. Saat semua daun sudah terpasang, hiasan-hiasan bola dan bintang juga sudah digantung, tibalah saatnya untuk menyalakan lampu Natal. 'Klik'... Dan kami terdiam saat menyadari bahwa semua lampu Natal padam... Mungkin ada kabel yang putus di suatu tempat, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Jadilah pohon Natal yang tanpa lampu Natal...
Natal tahun 2011. Mama saya - yang saat itu sudah sakit kanker parah - mendadak berkeinginan untuk merayakan Natal bersama saya sekeluarga di Jakarta. Saya merasa sangat bersyukur karena saya masih berkesempatan untuk merayakan Natal bersama mama saya di tahun itu, yang adalah Natal terakhir bagi mama saya. Setelah mengikuti Perayaan Natal di tanggal 25 Desember, saya baru menyadari betapa mama terlihat begitu lelah. Dan sepulangnya ke kota asalnya, kondisi fisik mama saya terus menurun, dan 3 bulan kemudian mama berpulang ke surga. Saya sempat berpikir: apakah pohon Natal tanpa lampu Natal adalah merupakan sebuah pertanda kematian dari orang yang saya kasihi? Atau hanya kebetulan acak belaka?
Mengalami sendiri situasi kematian ternyata bukan hal yang mudah. Saya bersyukur karena di jam-jam awal masa kedukaan, saya di cover oleh Pdt Dianawati dan Pdt Frans yang jauh-jauh datang untuk memberi support bagi saya sekeluarga. Dan di saat-saat seperti inilah - hingga berbulan-bulan sesudahnya - saya menjalani perziarahan ke dalam misteri kehidupan dan kematian, yang saya tahu perziarahan ini pun diikuti oleh banyak orang yang bergumul dengan hal yang sama.
Ada beberapa hal yang akhirnya saya temukan dalam perziarahan saya (yang masih berlanjut hingga kini).
Yang pertama adalah: pentingnya ikatan keluarga. Dalam masa-masa sulit, justru ikatan keluarga harus semakin diperteguh. Kami sekeluarga kini merasakan kualitas hubungan yang semakin baik satu sama lain, sekalipun kami tinggal saling berjauhan, dan inilah yang menjadi sumber kekuatan dikala kelemahan datang menghampiri. Keluarga-lah yang pertama-tama harus saling menguatkan, setelah itu barulah orang lain (saudara seiman, tim perlawatan khusus, pendeta, dsb). Keluarga yang justru terpecah saat kesulitan/duka datang akan sangat sulit untuk melakukan recovery, dan ini jelas membutuhkan sebuah kerelaan dari masing-masing anggota keluarga untuk dapat lebih saling menahan diri dan berkorban.
Kedua adalah: meninggalkan warisan. Warisan disini bukanlah warisan materi, namun lebih kepada nilai-nilai yang bisa kita tinggalkan kepada orang lain saat kita kembali ke sorga. Pepatah mengatakan: sesuatu akan terasa begitu berharga saat kita kehilangannya. Saat mama saya berpulang, barulah saya dengan jelas melihat betapa luar biasanya dia! Perhatian, dukungan, rasa kehilangan, cerita-cerita yang baik... Membuat saya berpikir: kalau giliran saya yang mati nanti, apakah saya pun akan meninggalkan warisan nilai-nilai yang sebaik yang diwariskan mama saya? Misteri kematian seharusnyalah membuat manusia berusaha dan terus berusaha untuk meninggalkan warisan yang semakin baik, dan bukankah hal itu membuat dunia menjadi tempat yang semakin baik untuk dihuni manusia?
Pohon Natal tanpa lampu Natal... Saya pikir hal yang baik apabila Natal dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Namun itu bukanlah yang terpenting! Yang terpenting adalah: kita seharusnya yang menjadi lampu-lampunya, yang tidak terpadamkan dan yang bersinar terus bagi sekitar kita! Kalau Divine Light itu telah membuat terobosan bagi dunia yang kacau dan gelap, maka kita sebagai umatNya pun seharusnyalah memancarkan terang yang menerangi dan mempercantik dunia. Semoga hal itulah yang bisa menjadi warisan hidup kita semua.
(TKS - 29/11/2012)
Langganan:
Postingan (Atom)