Kamis, 21 Februari 2013

CSS: Doa 1

Matriks CSS
Dalam kuadran kedua, kita akan berbicara mengenai 'doa'. Seperti halnya khotbah, doa pun merupakan bagian yang penting dalam suatu peribadahan. Di gereja saya, ada cukup banyak doa dalam ibadah, yaitu:
  • doa pribadi diawal dan akhir ibadah
  • doa pengakuan dosa
  • doa sebelum khotbah (epiklesis)
  • doa sesudah khotbah (yang ini opsional bisa juga diisi saat hening, instrumentalia, atau altar call)
  • doa syafaat
  • doa persembahan
Dan dalam ibadah-ibadah khusus, jumlah doa nya bisa lebih banyak lagi.
Saya tidak akan membahas mengenai doa-doa seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam ibadah, namun lebih kepada: bagaimana doa itu menjadi sebuah moment yang dirindukan, sebagai sebuah kesempatan untuk berbicara kepada Tuhan dan bukan sekedar menjadi sebuah urutan dalam tata ibadah.

Dalam kisah penahbisan Bait Allah oleh Raja Salomo yang tercatat dalam kitab 1 Raja-Raja pasal 8, kita membaca bahwa doa yang dinaikkan dalam Rumah Tuhan (dalam hal ini adalah Bait Allah Yerusalem) adalah doa yang 'spesial' dan 'didengar' bahkan 'niscaya dijawab/dikabulkan' oleh Tuhan (dari pemahaman ini muncul konsep kiblat dalam agama Yahudi, baca 1 Raja 8:30, 48). Dalam Perjanjian Baru, konsep 'doa di Rumah Tuhan' itu diluaskan sehingga tidak merujuk pada Bait Allah Yerusalem saja, yaitu:
  • berdoa/menyembah dalam roh dan kebenaran (baca Yoh 4:24 ), artinya berada dalam dimensi yang tidak terikat pada tempat/lokasi, waktu dan seremoni tertentu
  • tubuh kita disebut sebagai Bait Roh Kudus (baca 1 Kor 6:19), artinya Tuhan begitu dekat dengan kita sehingga kita dapat memanggil namaNya kapan dan dimana saja, selain juga mengandung pengertian bahwa kita harus menjaga kekudusan hidup kita.
Ada kalangan yang secara keliru menafsirkan kedua hal diatas sebagai pembenaran atas kemalasan mereka untuk tidak datang beribadah ke gereja, bahkan untuk berdoa. Untuk apa lagi ke gereja, kan kita ini sendiri Bait Roh Kudus? Bahkan ada yang memandang gereja sebagai kelanjutan dari konsep Bait Allah Yerusalem yang sudah  'dirombak' Tuhan Yesus (dan yang dibangunkan kembali di dalam diriNya melalui kuasa kebangkitanNya, baca Yoh 2:19-22)
Ini jelas pemikiran yang nggak benar dan - tentu saja - tidak Alkitabiah. Mengapa? Saya bisa menyebutkan banyak alasan, tetapi saya sebutkan 2 saja:
  1. Komunitas Kristen perdana selalu beribadah di dalam Bait Allah Yerusalem, selain ibadah di rumah-rumah (baca Kis 2:46)
  2. Adanya sebuah ajakan untuk tidak menjauhkan diri pertemuan-pertemuan ibadah (baca Ibrani 10:25)

Memang kita sudah tidak perlu lagi beribadah di Bait Allah Yerusalem yang saat ini sudah tidak ada lagi. Tidak perlu jauh-jauh datang ziarah ke Yerusalem untuk sekedar menyampaikan suatu doa atau permohonan kepada Tuhan, karena kita yakin bahwa dimanapun juga kita berdoa maka Tuhan pasti mendengar dan mengabulkan doa yang seturut dengan kehendakNya. Namun aktivitas 'berdoa di Rumah Tuhan' tetaplah merupakan aktivitas ibadah yang perlu kita lakukan dengan sebaik-baiknya. Mengapa? Bukan karena doa di Rumah Tuhan itu lebih ampuh/mujarab dan kemungkinan terkabulnya lebih besar, tetapi karena di gerejalah (seharusnya) kita menemukan moment doa yang terbaik! Doa memang dapat dilakukan sendiri di dalam kamar yang tertutup (baca Matius 6:6). Tetapi manusia seringkali membutuhkan contoh, motivator, bahkan teladan dari orang lain dalam menjalankan aktivitas doa, dan itu dapat ditemukan dalam ibadah doa di gereja. Bagaimana pun berdoa bersama-sama dengan orang lain dapat lebih memotivasi ketimbang berdoa seorang diri, betul? Untuk itulah dalam bagian-bagian berikut ini kita akan membahas hal ini, yaitu doa pribadi dan doa bersama di dalam gereja, serta sebuah usulan untuk memodifikasi doa syafaat.

DOA PRIBADI

Apa bedanya doa pribadi dan doa bersama?
Beda yang paling jelas adalah dalam hal inisiatif: doa pribadi merupakan inisiatif pribadi (karena memang saya ingin/butuh berdoa), sedangkan doa bersama merupakan inisiatif tata ibadah (ya memang urutannya tata ibadahnya begitu) atau inisiatif pemimpin ibadah (liturgos/pendeta).
Mengapa perlu saya bedakan antara doa pribadi dan bersama? Kan sama-sama doa...
Bagi saya, masalah 'inisiatif doa' ini perlu kita perhatikan karena menjadi sebuah cermin dari suatu kondisi bergereja yang lebih besar dan krusial.

Ada banyak momen doa pribadi dalam suatu ibadah. Masalahnya: tidak semua orang mau memanfaatkan momen tersebut. Mengapa? Simpel saja: karena memang tidak butuh! Dan saya yakin mereka pun tidak pernah - atau jarang - berdoa pribadi di rumah.
Sebetulnya sangat disayangkan kalau gereja gagal 'membentuk' umatnya menjadi umat yang gemar berdoa, atau malah sebaliknya, gereja 'berhasil' membentuk umat yang nggak butuh berdoa, bahkan skeptis dengan doa. Semoga tidak pernah terjadi yang demikian! Namun saya pribadi memiliki 'kekuatiran' bahwa memang ada umat yang tidak bisa, tidak butuh, atau tidak mau berdoa!
Saya pernah mendengar sharing seorang ibu tentang anaknya yang bergereja di sebuah GKI. Anaknya sampai remaja nggak bisa berdoa, dan memang nggak ada seseorang yang membimbing anak tersebut dalam hal pertumbuhan spiritualitas. Nah, parahnya, anak tersebut kemudian pindah ke sebuah gereja kharismatik dan sekarang dia sangat pintar berdoa, rajin membaca Alkitab, bahkan terpanggil untuk menjadi pelayan fulltime di gereja tersebut. Ini kan parah banget, karena menunjukkan bahwa 'gereja kharismatik itu' ternyata lebih mampu membangun spiritualitas umatnya ketimbang 'sebuah GKI itu' (saya tidak menunjuk ke semua GKI, karena ada banyak GKI yang concern dengan pertumbuhan spiritualitas umatnya).
Apa yang mau saya sampaikan disini? Singkatnya: umat yang sadar/haus/tahu berdoa adalah merupakan cermin dari  pembinaan spiritualitas gereja tersebut! Dengan kata lain: doa pribadi merupakan sebuah akibat, bukan sebab dari sebuah pembinaan spiritualitas. Dan pembinaan spiritualitas merupakan sebuah indikator dari maju-mundurnya sebuah gereja (baca lagi bagian-bagian sebelumnya). Coba lihat, berapa banyak umat yang sungguh-sungguh berdoa dalam momen doa pribadi, disitu akan terindikasi gereja tersebut akan terus bertumbuh atau mengering.
Jadi, berbicara tentang 'doa pribadi' kita tidak cukup menghimbau, berkhotbah, atau mewartakan tentang gerakan doa. Perlu, tetapi tidak cukup. Diperlukan sebuah keteladanan dan hati yang sungguh-sungguh rindu untuk membawa umat menjadi lebih maju spiritualitasnya.

Lalu, bagaimana caranya agar umat dapat lebih maju spiritualitasnya? Menjadi sebuah problem bagi banyak gereja, saat acara-acara bina spiritualitas kekurangan peminatnya. Katakanlah hanya sekitar 10% sampai 20% umat yang mau mengikuti acara pembinaan. Sisanya sudah merasa cukup dengan mengikuti ibadah minggu.
Saya pikir tidak ada yang salah dengan keadaan itu. Tidak masalah 10% atau 20%. 1% bahkan satu dua orang pun tidak menjadi masalah, sepanjang mereka benar-benar terbina! Terkadang acara pembinaan lesu peminat karena memang acara dan materinya kurang greget. Kalau ini masalahnya, ya selesaikanlah dulu masalah 'kurang greget' itu supaya bisa 'lebih greget'. Tapi kalau pembinaan sudah dilakukan dengan maksimal tetapi peminatnya masih minim, saya sarankan untuk tetap melanjutkan dengan sukacita dan bersyukur. Ada banyak gereja besar yang dimulai dari satu dua orang (dan dengan dana nyaris Rp 0,-) namun karena konsistensi, hati yang sungguh rindu untuk berbagi Firman Tuhan, dan komitmen yang besar dari satu dua orang itu untuk membangun Rumah Tuhan, maka dapat terhimpunkan sejumlah besar orang untuk bergabung. Loh ini kan curi domba? Jadi boleh dong? Itu beda, Saudara. Yang disebut 'curi domba itu contohnya:  menjemput umat yang baru selesai beribadah di suatu gereja untuk 'lanjut' beribadah ke gereja lain, atau PDKT ke aktivis/tokoh/domba gemuk untuk pindah ke gereja lain dengan iming-iming uang/jabatan/first seat, hingga - yang paling sering terjadi - menjelek-jelekkan gereja lain sebagai GKI (Gereja Kurang Iman), GKU (Gereja Kurang Urapan), dsb. Itu yang disebut curi domba yang - saya yakin 100% - berasal dari Iblis yang membawa roh pemecah (baca Gal 5:19-21).

Saya paling anti dengan aktivitas curi domba. Tapi kita jangan lupa, bahwa domba-domba itu bukan milik kita. Domba-domba itu 100% milik Tuhan, dan Tuhan juga memperhatikan 'kandang'nya yaitu gereja tempat domba-domba itu dipelihara. Kalau 'kandang'nya ternyata hanya sanggup memelihara 100 domba dan bukan 1000 domba, ya pastilah Tuhan akan memindahkan 900 domba itu ke 'kandang' lain yang lebih mampu, dan menyisakan 100 domba di 'kandang' yang lama. Atau bila sebuah 'kandang' sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi pemeliharaan domba, maka seekor domba pun tidak akan Ia biarkan 'tersesat' di 'kandang' tidak bermutu itu! Biarkan Tuhan yang empunya domba-domba itu yang menentukan perpindahan domba, hal ini akan jelas terlihat dalam 'proses'nya yang berjalan dengan wajar tanpa harus memakai 'strategi curi domba' yang macam-macam. Saya berharap Saudara dapat membedakan kedua hal ini.
Gereja saya termasuk gereja yang pernah mengalami penurunan jumlah umat sebesar hampir 50% dalam tempo 10 tahun. Dalam masa-masa 'suram' itu, segala daya upaya dilakukan untuk menahan laju 'kejatuhan', sampai-sampai memanggil pengkhotbah dan pendeta konsultan dari luar GKI, mungkin anggapan orang saat itu bahwa pendeta non GKI  lebih mampu dan lebih punya 'urapan' ketimbang pendeta GKI sendiri (ini mungkin, karena pada masa-masa  itu saya belum berada di dalam struktur kemajelisan). Namun tetap saja upaya itu tidak sanggup menahan lajunya 'kejatuhan'. Namun puji Tuhan pengalaman itu membuat kami belajar mengenai: bagaimana kami menyelenggarakan sebuah gereja yang lebih berkenan kepadaNya, sehingga Ia pun mulai mempercayakan kembali domba-dombaNya untuk dipelihara di dalam gereja kami. Meskipun saat BUSA ini ditulis gereja saya belum sepenuhnya mengalami 'pemulihan', namun saya dan segenap pengurus gereja telah melihat sebuah track yang begitu jelas akan masa depan bergereja yang lebih baik. Dan untuk hal itulah buku ini ditulis, sebagai sebuah sharing pengalaman dan pemikiran yang mungkin berguna untuk membangun environment bergereja yang lebih baik.

Ulasan ini memang jadi panjang, tetapi saya berharap gereja-gereja mulai lebih memikirkan dan membangun sebuah blue print pembinaan spiritualitas yang baik dan diminati, sehingga tercermin melalui kegairahan umatnya dalam berdoa.