Selasa, 18 Oktober 2011

Total Depravity

Sebelum berbicara mengenai pasal pertama dalam TULIP ini, perlu saya jelaskan bahwa  TULIP dan Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht (PPAD) sekalipun sama content-nya namun beda susunannya. Mengapa? Karena context-nya beda: PPAD hadir sebagai sebuah 'obat' untuk melawan 'penyakit' Arminianisme (sehingga pasal pertama langsung berbicara mengenai: Pemilihan Allah), sementara TULIP hadir sebagai sebuah sistematika teologi, yaitu sebagai sarana untuk belajar salah satu aspek dalam Calvinisme, yaitu keselamatan (sehingga susunannya dibuat secara kronologis: dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, proses penyelamatan Tuhan, dan bagaimana kondisi manusia setelah diselamatkan).

Secara garis besar, Calvinisme mengajarkan bahwa:
1. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, nature manusia sebagai Imago Dei menjadi rusak secara total,  bahkan Alkitab memakai istilah: mati (Kejadian 2:17), sehingga manusia ‘mati’ kebebasannya untuk memilih yang baik dan yang jahat, karena ia terikat untuk berbuat jahat (committed to sin)
2. Kerusakan total ini membuat manusia tidak mungkin mengupayakan keselamatan secara mandiri, bahkan sekedar menjadi mitra-keselamatan sekalipun! Manusia hanya dapat menerima anugerah keselamatan tanpa ada sesuatu pun kebaikan yang membuat manusia layak untuk menerimanya!

Poin ke-2 akan menjadi porsi pasal-pasal berikutnya, so mari kita dalami poin yang pertama.

Rusak-totalnya nature manusia
Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (sehingga manusia disebut sebagai Imago Dei, The Image of God). Namun sejak manusia jatuh ke dalam dosa, nature asli manusia ini mengalami kerusakan secara total yang ‘menjangkiti’ semua manusia pasca Adam, jadi bukan hanya dialami oleh Adam thok, kita semua sebagai keturunan Adam pun mengalami kerusakan total ini. Kapan saya dan Anda mengalami kerusakan total ini? Ya sejak kita masuk ke dalam dunia! Bayi yang baru dilahirkan  tidaklah 100% suci karena ia sudah membawa kerusakan total ini di dalam dirinya, memang seperti itulah nature manusia setelah jatuh ke dalam dosa!
Pertanyaannya:
1.       Kok Tuhan nggak adil? Kenapa yang bukan perbuatan kita menjadi tanggungan kita?
2.       Apa iya rusaknya manusia itu secara total? Kan ada banyak manusia yang baik?

Benarkah Tuhan tidak adil?
Beberapa pertanyaan kreatif lainnya akan mempermasalahkan mengenai kuasa Tuhan: kalau Tuhan memang Maha Tahu, pastilah Ia tahu bahwa manusia akan jatuh ke dalam dosa. Lalu kenapa Ia membiarkan??? Jangan-jangan kejatuhan manusia itu memang skenario Tuhan sendiri! Bukan Saudara, ITU BUKAN MAUNYA TUHAN tapi murni PILIHAN MANUSIA SENDIRI. Kita juga jangan menganggap Adam sebagai penjerumus umat manusia ke dalam dosa (kasihan bener)! Perhatikan bahwa yang memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu adalah MANUSIA, yang kebetulan ada dalam diri seorang manusia yang bernama Adam (dan tentu saja istrinya). Mungkin kalau waktu itu bukan Adam yang ada disana, tetapi kita, belum tentu kita bisa lebih baik dari Adam!!! Kitalah yang menjerumuskan diri kita sendiri ke dalam dosa! Mari bersikap jujur, bahwa saat kita memilih untuk berbuat dosa, itu adalah 100% pilihan kita! Orang bisa bilang bahwa lingkungan, teman, keadaan, atau bahkan pasangan kita yang menjerumuskan kita ke dalam dosa. Tapi toh 'rangsangan dosa' itu nggak akan bakal menjadi dosa kalau kita tidak menyetujuinya bukan? Kita kan bukan seperti lampu yang mati atau nyalanya tergantung saklar bukan?
Disinilah dikenal istilah 'kehendak bebas' dimana manusia memiliki kebebasan untuk memilih: melakukan yang baik atau yang jahat. Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, kehendak manusia adalah benar-benar bebas, dimana ia bisa bebas memilih melakukan apa yang baik atau yang jahat. Ternyata kita memilih melakukan apa yang jahat sehingga kita pun jatuh ke dalam dosa. Dan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia tidak bisa bebas lagi, karena nature-nya menjadi rusak sehingga manusia kini terikat dalam kecenderungan untuk berbuat dosa. Itulah sebabnya Calvinisme percaya bahwa manusia - dalam nature-nya yang rusak total itu – tidak akan sanggup menentukan bahkan berkontribusi sedikitpun dalam hal keselamatan dirinya. Keselamatan adalah 100% anugerah Tuhan, dan bukan karena jasa atau perbuatan baik manusia!

Benarkah manusia itu rusak secara total sehingga tidak ada yang mampu berbuat baik?
Seorang yang baru pulang dari gereja, baru saja mulutnya mengatakan 'Puji Tuhan' atau 'Haleluya', dalam hitungan menit bahkan detik bisa mengumpat sesamanya, memikirkan yang jahat di otaknya, bahkan langsung melakukan dosa. Kok bisa? Jangan-jangan benar ajaran Gereja Setan yang pernah saya baca, bahwa manusia yang seasli-aslinya memang 'pembuat dosa', dengan kata lain: kalau  manusia tidak melakukan dosa artinya 'bukan manusia' atau 'berbohong sebagai manusia' (baca: munafik)!
Betapa masalah 'dosa' ini memang membuat kita capek, selalu ada kecenderungan berbuat dosa dan doa memohon pengampunan dosa menjadi sebuah aktivitas yang basi (karena akan melakukan dosa lagi, bahkan dosa yang sama)! Makanya ada orang yang sudah 'tutup buku' dengan masalah dosa, nggak mau kenal lagi yang namanya dosa, dan merasa merdeka untuk berbuat dosa! Sudah kepalang tanggung, nyebur saja secara total dan nggak usah mikirin itu dosa atau bukan, dan tidak perlu merasa menyesal! Enjoy aja!!!
...
Konsep dosa setahu saya lebih jelas kelihatan dalam Abrahamic Religion (Yahudi, Kristen, Islam), sementara agama2 di Asia Timur (Hindu, Budha, dll) biasanya lebih mengenal konsep Kebaikan-Kejahatan  dalam sebuah Keseimbangan (sehingga ada istilah Yin-Yang), sehingga konsep ini membutuhkan konsep penyelamatan lain yang disebut Hukum Karma dan Reinkarnasi. Melalui kedua konsep tersebut manusia secara step by step disempurnakan melalui reinkarnasi. Berapa kali musti reinkarnasi, itu tergantung karmanya, yaitu bagaimana komposisi kebaikan-kejahatan yang diperbuatnya selama hidup.
Agama Kristen, memandang dosa sebagai perbuatan yang melawan perintah Tuhan, sehingga memerlukan sebuah cermin untuk mengetahui apakah saya berdosa atau tidak, yaitu Hukum Taurat (Roma 7:7) dan - seharusnya – manusia berupaya untuk menghindari perbuatan dosa. Namun manusia ternyata mengalami kegagalan untuk benar-benar menjalankan perintah Tuhan, sehingga Hukum Taurat seolah menjadi Hukum Kutuk karena manusia tidak akan pernah sanggup melaksanakannya secara sempurna. Itulah sebabnya manusia memerlukan sebuah Penyelamatan, yaitu melalui Penebusan oleh Darah Yesus Kristus. (Galatia 3:10-13)
Jadi, dari sini kita bisa memahami bahwa manusia pasti berdosa, bukan karena memang sudah mustinya demikian, tetapi karena memang manusia tidak mampu berbuat yang baik. 
Lalu, bagaimana dengan fenomena orang-orang yang diakui sebagai ‘orang baik’? Kan ada banyak tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi bagi dunia karena kebaikannya... dan banyak juga yang bukan seorang Kristen???
Disinilah kita berkenalan dengan konsep: kebaikan relatif dan kebaikan sejati. Orang boleh saja dianggap orang baik, karena SECARA VISUAL TAMPAK BAIK (kebaikan relatif). Tapi apakah dia BETUL-BETUL BAIK (kebaikan sejati)? Justru kebaikan yang ditampakkan seringkali menjadi sebuah kedok kejahatan! Siapa yang tahu? Hanya dia yang Tuhan yang tahu, apakah dia sungguh-sungguh tulus berbuat baik atau bulus! Semua orang bisa berbuat baik, Kristen maupun non-Kristen, namun itu hanyalah kebaikan relatif yang bisa saja manipulatif. Kebaikan yang sejati, yang 100% sesuai dengan standar Tuhan dalam FirmanNya, siapalah yang sanggup melakukannya? Tidak ada (Markus 10:18)! Itulah sebabnya 'berbuat baik' bukanlah 'tujuan' hidup kristiani, namun menjadi sebuah 'result' dari apa yang akan kita bahas dalam pasal TULIP yang ke-5.

Sekian  dan bersambung ke pasal selanjutnya: Unconditioned Election.
Salam berdaya!

Rabu, 05 Oktober 2011

Pemahaman Dasar tentang Keselamatan dalam Calvinisme

Keselamatan adalah sebuah topik dalam teologi yang perlu disikapi dengan pemahaman dasar bahwa ‘apa yang tidak mungkin bagi manusia’ (yaitu keselamatan) adalah ‘mungkin bagi Allah’ (Matius 19:25-26). Mengapa saya mengambil ayat tersebut sebagai ‘pemahaman dasar keselamatan’? Sederhana saja jawabannya: karena perikop terkait (yaitu Matius 19:16-26) adalah perikop yang konteksnya benar-benar berbicara mengenai keselamatan. Ada begitu banyak orang yang memanipulasi Alkitab dengan mengutip ayat-ayat yang out of context, sehingga menimbulkan pemahaman yang sesat, hal mana perlu menjadi perhatian kita semua sehingga kita tetap beriman secara kritis.

Melalui pemahaman dasar ini, sebetulnya kita sudah cukup memiliki dasar untuk mengimani bahwa: manusia TIDAK MAMPU berkontribusi SEDIKITPUN atas keselamatan yang diterimanya. Keselamatan adalah 100% anugerah, manusia tidak bisa mengupayakan keselamatannya secara mandiri (seperti yang diajarkan oleh Pelagianisme) ataupun menjadi mitra-keselamatan (seperti yang diajarkan oleh Arminianisme maupun Katolikisme). Bahkan beriman-pun merupakan anugerah, bukan pilihan yang bisa diambil atau dibuang oleh manusia.

Pemahaman dasar inilah yang menjadi sebuah ciri khas ajaran Calvinisme yang seharusnya dianut oleh GKI. Mengapa? Karena GKI adalah gereja yang bercorak Calvinis, yang mewarisi tradisi dan ajaran dari Gereja Reformasi Belanda sebagai gereja yang ‘berjasa’ dalam pendirian GKI di Indonesia, yaitu: Nederlandse Hervormde Kerk (Dutch Reformed Church) dan Gereformeerde Kerken in Nederland (Reformed Churches in the Netherlands). Catatan: pada tahun 2004, kedua gereja tersebut bersama Evangelical Lutheran Church in the Kingdom of the Netherlands telah bergabung menjadi Protestantse Kerk in Nederland (Protestant Church in the Netherlands).

Berbicara mengenai Gereja Reformasi Belanda, sejarah telah mencatat terselenggaranya persidangan gereja-gereja Calvinis berskala internasional (karena dihadiri oleh gereja dari berbagai negara seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Swiss) pada tahun 1619 di kota Dordrecht (sehingga dikenal sebagai Sinode Dordrecht). Sinode tersebut berhasil memformulasikan ‘Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht’ sebagai sebuah pegangan ajaran untuk melawan ‘wabah’ ajaran Arminianisme yang menyebabkan keretakan di dalam gereja maupun Negara. Dalam perkembangannya selanjutnya, Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk yang lebih mudah untuk diingat, yaitu TULIP, yang berisi 5 pasal:

1.       Total Depravity (kematian atau kerusakan total)
2.       Unconditioned Election (pemilihan Tuhan yang tanpa syarat)
3.       Limited Atonement (penebusan yang terbatas)
4.       Irresistible Grace (anugerah yang tak dapat ditolak)
5.       Preserverance of the Saint (ketekunan atau pemeliharaan atas umat percaya)

TULIP tersebut banyak disalahmengerti sebagai ‘Lima Pokok Calvinisme’, sehingga orang sering menyangka bahwa Calvinisme hanya berbicara mengenai 5 pokok tersebut di atas. Ini jelas sebuah pemahaman yang keliru, karena Calvinisme memiliki ribuan pokok bahasan! TULIP hanyalah satu dokumen dalam Calvinisme yang membahas mengenai keselamatan. Bersyukur Th. van den End telah mengumpulkan ajaran-ajaran Calvinisme sebanyak 16 dokumen sehingga kita bisa mempelajari kekayaan ajaran Calvinisme secara utuh (bukunya dapat dibeli di TB Gunung Mulia).

Karena artikel ini hanya berisi mengenai ‘pemahaman dasar’, tidaklah dimungkinkan membahas ke-5  pasal TULIP tersebut disini, mungkin bisa di lain kesempatan. Namun saya ingin membahas 2 isu penting seputar ‘pemahaman dasar’ tersebut: 

GKI adalah gereja Reformed?
Saya baru mendengar istilah ‘Reformed’ pada awal tahun 1998, saat saya pindah ke daerah Grogol dan berjemaat di GKI Nurdin. Waktu itu, setiap kali orang menyebutkan istilah ‘reformed’ maka yang langsung terbayang adalah sebuah gereja yang namanya mengandung unsur kata ‘reformed’ itu, yaitu Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), yang memang sangat concern dengan TULIP. Semula saya menyangka bahwa GKI bukanlah bagian dari ajaran itu, sekalipun ajaran itu sebenarnya sudah biasa saya dengar di bangku-bangku sekolah BPK Penabur dan mimbar-mimbar GKI (namun ada penekanan-penekanan khusus yang dibuat GRII yang membuatnya menjadi agak berbeda). Sampai suatu kali saya membaca sebuah jurnal teologi yang menyebutkan bahwa GKI adalah anggota dari WARC (World Alliance of Reformed Churches) dan REC (Reformed Ecumenical Council), dan bahkan ikut menjadi bagian sejarah dalam merger-nya kedua badan ekumenis gereja-gereja Reformed sedunia itu dalam sebuah wadah yang dikenal sebagai WCRC (World Communion of Reformed Churches) yang konon memiliki pemercaya sebanyak 80 juta orang di seluruh penjuru dunia! (Baca situs-situs mengenai WCRC, seperti http://www.reformedchurches.org dsb). GKI memang bukanlah GRII, yang memang memiliki sejarah perkembangan yang berlainan. Namun entah bercorak ekumenis atau injili, seharusnyalah ada ‘rasa kebersamaan’ diantara gereja-gereja Reformed, paling tidak kebersamaan dalam membawakan suara profetik ke tengah-tengah dunia yang kacau, yang membutuhkan sebuah pegangan ajaran yang benar, yaitu ajaran KITA SENDIRI. Sangat disayangkan apabila GKI tidak concern lagi dengan asal-usul ajarannya, dan asyik berteologi kontekstual yang sering ‘melayang –jauh’ dari Calvinisme, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan (yang dalam banyak kesempatan mengalami bias dan ‘ke-abu-abu-an’) 

Dampak memahami keselamatan
Orang sering bertanya-tanya: Apa sih manfaatnya berbicara mengenai ‘keselamatan’?  Disini kita bisa terjebak dalam 2 posisi:
1.       Tidak tertarik dan tidak merasakan urgensi dan relevansi topik tersebut dalam konteks keselamatan masa kini, yang telah mengalami perluasan pada hal-hal seperti: penegakan HAM, pembebasan dari diskriminasi, pengentasan kemiskinan, concern pada lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Hal ini tentu patut disayangkan karena gereja masa kini akan kehilangan Core atau Inti-nya yang paling mendasar, yaitu Iman yang benar kepada Tuhan Yesus. Gereja akan menjadi tak ubahnya seperti lembaga sosial, LSM, atau bahkan partai politik (yang memang sering lebih relevan dan kontekstual dibandingkan gereja). Ibarat  sebuah bangunan, Core Gereja adalah pondasinya, sehingga saat ‘core’ itu melemah maka keruntuhan gereja akan menjadi sebuah keniscayaan!
2.       Tertarik namun menjadi terlalu dogmatis. Setelah saya membaca buku ‘Lima Pokok Calvinisme’ karangan Edwin Palmer, saya merasa mendapatkan ‘sebuah ilmu yang begitu berharga’, bak pendekar yang memperoleh jurus baru…. Nah, MENDAPATKAN ILMU inilah yang seringkali menjadi fokus, bukannya bagaimana MENERAPKAN ILMU tersebut. Terkadang kita cukup puas hanya menjadikan ilmu tersebut sebagai bahan untuk berargumentasi ketimbang berpraksis, bahkan menjadikan ilmu tersebut sebagai alat untuk menghakimi keselamatan orang lain! Mari kembali kepada pemahaman dasar kita, bahwa keselamatan merupakan 100% anugerah Tuhan. Mengenai cara dan waktunya, itu juga 100% merupakan hak prerogative Tuhan!

Lalu bagaimana seharusnya pemahaman tentang keselamatan tersebut memberi dampak bagi kehidupan kita? Sebetulnya sederhana saja:
1.       Kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan, karena keselamatan diberikanNya BUKAN karena ‘ada yang baik’ di dalam diri kita, tetapi karena murni anugerah Tuhan, sekalipun kita tidak pernah sungguh-sungguh layak menerimanya
2.       Kita harus membuktikan keselamatan yang sudah kita terima itu dalam hidup keseharian kita. Ada orang yang pernah berkomentar demikian: “Enak dong jadi Kristen, bebas berbuat dosa, kan pasti selamat!” Saudara, kalau kita ‘bebas berbuat dosa’ sebetulnya itu merupakan sebuah bukti bahwa kita adalah seorang Kristen Palsu yang mungkin tidak termasuk dalam umat yang dipilih untuk diselamatkan! Berdukacitalah apabila kita bisa atau pernah memiliki pikiran seperti itu!
3.       Kita harus menginjili dunia, karena mungkin ada umat pilihanNya yang terserak di berbagai tempat. Mari bawa mereka untuk masuk ke dalam Rumah yang sudah ditetapkanNya untuk kita dan mereka, yaitu hidup kekal di dalam KerajaanNya.

Salam berdaya!