Kamis, 09 Desember 2010

2 Prinsip Bergereja - Part 3

Prinsip bergereja yang kedua adalah: 'relevan dengan kebutuhan hidup kita'. Prinsip ini lebih bersifat praktis ketimbang prinsip pertama (yang lebih filosofis), dan sebetulnya prinsip inilah yang menjadi wujud yang kelihatan dari bergereja.
Bagaimana bergereja Anda?
Bergereja yang benar seharusnya mempunyai 2 sisi: memberi dan menerima.
Bergereja yang hanya memberi seringkali membuat kita  terjebak pada 'sekedar melaksanakan tugas', sedangkan bergereja yang hanya menerima (bahkan menuntut) seringkali membuat kita kehilangan 'rasa bersyukur', ya 'musti kudu begini-begitu'.
Bergereja musti memberi dan menerima, ada kesediaan untuk berdinamika, nggak hanya mengikuti suatu pattern tertentu.
Kristen di Barat agaknya sudah merasa cukup bergereja dengan: membayar pajak (yaitu membantu orang lain), kerja jujur, tidak korupsi, tidak mengganggu atau mencampuri urusan orang lain. Mereka lupa bahwa bergereja juga berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka, seperti: teman bicara, perhatian, jawaban, hingga pemuasan hidup spiritualitas.
Di Indonesia keadaannya mungkin masih lebih baik. Orang masih senang bergereja, mungkin karena kehidupan kita disini masih bak 'di neraka dunia', nggak seperti di Barat yang semuanya serba baik, tertata dan terkelola dengan baik - bak di sorga dunia, tapi (sayangnya) tanpa Tuhan....
Namun harus kita perhatikan bahwa bergereja di Indonesia juga perlu dilakukan dengan memperhatikan relevansinya dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Bergereja bukan sekedar pelarian (seperti narkoba yang membuat kita terlupa sesaat dari beban hidup kita), namun betul-betul menjadi sebuah oase di tengah padang gurun yang mampu memuaskan dahaga kita.
Apakah kebutuhan hidup kita dan masyarakat disekitar kita? Dapatkah bergereja kita memberi solusi atas kebutuhan-kebutuhan itu?
Saya pikir bergereja yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia merupakan bergereja yang ideal, sekaligus menjadi sebuah jaminan bahwa gereja tetap dibutuhkan dan tidak ditinggalkan umatnya, bahkan masyarakat.
Sudahkah Anda bergereja yang relevan, baik bagi kehidupan Anda maupun bagi kebutuhan hidup kita (anda, saya, dan mereka)?

Salam berdaya!

2 Prinsip Bergereja - Part 2

Prinsip bergereja yang pertama adalah: 'relevan dengan kehidupan kita'.
Siapa bilang kalau bergereja sudah nggak relevan lagi untuk masa kini? Di Barat, gereja-gereja tradisional kini hanya dihuni oleh para lansia, sementara kaum mudanya lebih suka sesuatu yang lebih cocok dengan minat atau hobinya, yaitu nonton pertandingan bola. Jelas ini kekeliruan besar, karena seharusnya bergereja dan hidup sehari-hari saling berhubungan erat, sehingga saat salah satu ditinggalkan maka sebetulnya kita tengah mengalami kehidupan yang kurang sempurna, bahkan bisa membuat berkat-berkat Tuhan terhalang.
Saya yakin pemahaman ini sulit untuk diterima, namun setelah saya membaca Kitab Hagai 1:6-9, saya baru sadar bahwa keduanya (bergereja dan hidup sehari-hari) ternyata memang memiliki kaitan yang erat.
Bergereja pada hakikatnya adalah pembangunan Rumah Allah, dan Nabi Hagai jauh-jauh hari telah memperingatkan kita bahwa mengabaikan bergereja akan menimbulkan terhalangnya berkat-berkat Tuhan. Saat ini banyak orang malas bergereja karena sibuk mencari uang. Mengherankannya, begitu banyak orang yang sudah sibuk mencari uang (sampai-sampai nggak punya waktu untuk bergereja) namun kehidupannya ya begitu-begitu saja. Memang itulah akibatnya kalau bergereja kita abaikan!
Dengan jelas Tuhan menyuruh kita untuk: (1) naik ke atas gunung, (2) bawa kayu, dan (3) bangunlah Rumah itu. Ketiga hal ini akan saya ulas dalam bagian lain, tapi cukuplah saya sampaikan bahwa bergereja harusnya selalu relevan dengan kehidupan kita sehari-hari, karena melalui bergerejalah maka kehidupan kita bisa mengalami kebermaknaan, optimalisasi,  dan berkat Tuhan yang sejati.

2 Prinsip Bergereja - Part 1

Di sela2 meeting kantor saya beberapa tahun yl, panitia ternyata  telah menyisipkan sebuah acara training motivasi yang dibawakan oleh seorang motivator yang cukup terkenal. Saya nggak ingat keseluruhan materi training motivasi tsb, namun saya ingat satu poin yang saat ini ingin saya bagikan kepada Anda, yaitu tentang 'pengalaman'.
Penjelasan simpelnya begini:
Starbuck jual kopi, kedai warkop Bang Amin juga jual kopi.
Namun kedua penjual itu menjual kopi dengan cara yang berbeda: Warkop Bang Amin menjual kopi thok, sedang Starbuck menjual 'ngopi' alias pengalaman minum kopi (dan itu menjadi salah satu faktor yang membedakan Starbuck dengan Warkop Bang Amin)
Insight sederhana itu kini coba saya tarik ke ranah gereja.
Tentu saja gereja nggak bisa disamakan dengan kopi, sehingga kita nggak bisa menjual gereja seperti org menjual kopi. Bukan masalah jual-menjual, namun masalah 'pengalaman' yang menjadi sebuah nilai tambah bagi barang asalnya. 'Ngopi' merupakan 'pengalaman' yang menjadi nilai tambah bagi 'kopi', begitu pula 'Bergereja' merupakan 'pengalaman' yang menjadi nilai tambah dari 'gereja'.
Anda dpt menangkap maksud saya?
Saya di awal sekali telah memperkenalkan 'bergereja' sebagai istilah lokal dari ' ministry'. Mungkin bukan terjemahan yang terlalu baik, namun spiritnya adalah: ministry atau bergereja seharusnya merupakan aspek pengalaman dalam gereja yang membuat gereja memiliki nilai tambah. Dalam bahasa Pembangunan Jemaat: menjadi jemaat yang vital dan menarik.
Berangkat dari pemahaman inilah saya memperkenalkan 'dua prinsip bergereja', yaitu:
1. relevan dan
2. relevan

Selasa, 07 Desember 2010

My Dream for GKI

Boleh dong saya punya impian untuk GKI.
Saya bermimpi, GKI akan mengalami kejayaan kembali dalam tahun2 mendatang. Apa indikatornya?
1. GKI memiliki sebuah pegangan ajaran yang alkitabiah dan reformatoris, yang bisa jadi pegangan umatnya. Ajaran yang lebih setia kpd kehendak Tuhan ketimbang kehendak pasar atau lingkungan, shg dengan tegas dan jelas menyatakan posisinya sebagai Tubuh Kristus yang - perlu disadari konsekuensinya - memiliki perbedaan dengan dunia dan teologi agama lain, namun terbuka untuk berdialog demi kesepahaman, bukan kesamaan.
2. GKI memiliki pengerja yang betul-betul berasal dari SDM GKI yang terbaik, tulus mencintai GKI, dan memiliki idealisme untuk memajukan GKI, dan bukannya memiliki hidden agenda untuk memasukkan ajaran2 asing ke dalam GKI, atau sekedar 'numpang hidup'. Hal ini bisa diwujudkan dengan cara:
(a) keteladanan para existing pengerja dalam pastoralship yang betul-betul tulus dan fokus pada pemeliharaan jemaat
(b) pendirian GKI Seminary
(c) kesempatan jemaat awam yang potensial (dan mau belajar teologi kelas profesional) dalam pastoralship melalui jabatan-jabatan seperti Tenaga Kategorial atau Guru Injil
3. GKI memiliki ministry yang modern, yaitu bergereja yang relevan dengan konteks jaman dan umatnya. Bergereja bukan lagi menjadi sebuah 'kebiasaan' atau 'tradisi', namun menjadi sesuatu yang memang benar-benar 'dibutuhkan', karena match content dan context-nya. Modern ministry ini akan berbicara dlm spektrum yang sangat luas, seperti:
(a) mendefinisi ulang ttg 'pelayanan', baik motivasi, tujuan, jenis, dan bentuknya... 'do the right things' not 'do things right'
(b) mendefinisi ulang ttg 'kepemimpinan', bukan lagi berbentuk piramida atau setengah piramida, but really almost flat.... setiap orang adalah subyek atau pemain utama dalam gereja, pengerja dan penatua hanyalah fasilitator umat - Efesus 4:11-12
(c) mendefinisi ulang ttg 'struktur', dimana pemahaman 'gereja sebagai the center of activity' perlu diubah menjadi 'gereja sel' dimana wilayah-wilayah menjadi penyusun bangunan gereja, dan hal ini berimplikasi pada semakin besarnya peranan wilayah dalam pastoralship, seperti: persekutuan, pembinaan, dan perlawatan
(d) mendefinisi ulang ttg 'penjangkauan' dimana gereja tidak hanya puas menjadi 'jago kandang' dan hanya menjalankan maintenance ministry, namun perlu memandang keluar untuk melakukan: misi, penjangkauan jiwa/anggota baru, dan perintisan sebanyak mungkin Pos PI
(e) mendefinisi ulang ttg 'citra diri' dimana gereja perlu membuat sebuah positioning yang membuat GKI menjadi sebuah gereja yang 'jelas jati dirinya' (bagi eksternal) dan 'rumah yang bisa saya banggakan' (bagi internal jemaat GKI). Citra diri ini bisa dibangun melalui: publikasi (majalah, kaset, website, advertorial, dll), aksi sosial (bantuan bencana, pembangunan klinik, beasiswa sekolah, dll), bangunan fisik gereja yang terbaik (bagi jemaat yang kurang mampu harus dibantu oleh jemaat yang lebih mampu untuk mewujudkan sebuah Rumah Tuhan yang terbaik), hingga pada kualitas peribadatan yang terbaik (tata ibadah, musik, multimedia, kantoria, penyambutan, dll)

Sudah saatnya saya terbangun dari mimpi.... Tiga impian sudah cukup banyak, kalau semuanya terwujud, pasti GKI menjadi gereja yang luar biasa..... Apakah hal-hal itu akan menjadi impian Anda juga???
Mari kristalkan mimpi, bulatkan tekad untuk mewujudkannya, dan.... ambil langkah konkrit pertama.

Hai Anda semua yang concern, let's do! Ini bukan pekerjaan satu, dua, sepuluh, seratus orang.... Ini pekerjaan KITA SEMUA!!!

Salam berdaya!

Sabtu, 04 Desember 2010

GOT part 2

Beberapa minggu yl, selesai melayani ibadah pagi, saya dan istri cari makan di sebuah mal di bilangan Jakarta Barat yang berada dekat dengan lingkungan kampus, dan - pastinya - dekat dengan kost2an mahasiswa.
Gedung parkirnya penuh sekali, baru setelah naik turun beberapa kali akhirnya ada juga mobil yang keluar... Syukurlah, bisa parkir.
Tapi saya nggak mau share tentang 'pergumulan mencari tempat parkir'. Tapi ttg...
Saat saya turun dari mobil, ternyata dari mobil sebelah turun pula beberapa ABG, dengan pakaian trendy, yang bergegas memasuki mal dengan menenteng Alkitab... Mereka ternyata mau bergereja di mal, sekalian shopping atau makan2.
Keberadaan gereja di mal memang sudah lama menjadi pro dan kontra. Disatu sisi gereja membutuhkan tempat beribadah yang murah (nggak harus beli atau bangun), aman (nggak usah takut di grebek preman, krn sdh pasti dicegat diluar oleh security mal), dan strategis (pasti, namanya juga mal, tempat berkumpulnya manusia). Namun disisi lain gereja di mal akan menghadapi budaya 'manusia mal' yang cenderung mengikuti trend, kurang loyal, dan kurang mau terlibat.
Namun yang pasti, gereja mal telah menciptakan sebuah segmentasi bergereja yang baru, yaitu gereja generasi gaul yang memang memiliki life style dunia mal... Dan gereja mainstream kayaknya nggak melirik segmen ini. Mereka sudah cukup puas dengan me-maintain jemaat tradisional mereka, dan tidak melihat betapa generasi gaul di luar sana juga membutuhkan berita Injil keselamatan, yang akhirnya 'ditangkap' oleh gereja mal yang nggak jelas pengajarannya itu.
Saya pikir GKI sebagai gereja yang nggak tradisional2 amat musti berani menjangkau jiwa dengan cara2 yang non konvensional, membangun pos di mal misalnya, atau di apartemen2 dan CBD yang banyak bertumbuhan di kota-kota besar.
Saya pernah mendengar wacana pembangunan sebuah pos di salah satu mal terbesar di Jakarta Barat, yang idenya dicetuskan oleh salah seorang pendeta emiritus.
Anehnya, ide yang baik ini ternyata tidak direspons secara positif oleh sinode, bahkan menganggap ide ini sebagai ide yang melanggar aturan... Out of the rule...
Ternyata pembangunan gereja memang sulit, selain dihambat oleh preman, juga dihambat oleh birokrasi gereja ybs.
Lalu kapan GKI bisa lebih lincah dalam menangkap peluang untuk perkembangan gereja, terutama dalam penjangkauan kaum muda???
Atau memang GKI sudah positioned sebagai GOT yang lambat laun akan habis oleh sebab2 alamiah...?
Kalau GKI terus seperti ini, mungkin GKI akan mengikuti jejak leluhurnya, gereja2 di Belanda, yang benar2 gereja GOT yang nggak menarik dan nggak penting keberadaannya bagi generasi masa kini. Kasihan sekali.
Yuk kita mengambil inisiatif, dan jangan membiarkan hal itu terjadi atas gereja kita.
Salam berdaya!

GOT part 1

Beberapa saat sebelum ibadah pagi dimulai, kami (para penatua) beserta lektor dan perwakilan pemusik berkumpul di konsistori untuk berdoa. Minggu itu adalah minggu pertama, dan sesuai jadwal, pemusik yang bertugas adalah band.
Setelah 'amin' mendadak seorang penatua menyapa pemusik dengan perkataan: "Nanti mainnya jangan kenceng-kenceng ya, karena gereja ini adalah gereja orang tua..."
Saya pikir itu good advice bagi pemusik untuk dapat melayani dengan lebih baik. Namun di luar konteks itu, perkataan itu membuat saya bergumul berhari-hari: benarkah GKI adalah GOT (Gereja Orang Tua)???
Saya salah masuk dong!
Saya pikir tidak semua GKI adalah GOT, saya bisa menyebutkan BEBERAPA GKI yang banyak beranggotakan kaum muda. Tapi masalahnya ya itu, hanya 'beberapa'.... Harus diakui bahwa kebanyakan GKI memang GOT, dan kaum muda tampaknya makin menjauh dari GKI.
Saya amati kaum muda, terutama di kota-kota besar, lebih tertarik dengan gereja-gereja aliran kharismatik yang cara ibadahnya mungkin lebih sesuai dengan jiwa kaum muda. Dan gejala GOT ini ternyata tidak hanya terjadi di GKI atau gereja aliran mainstream lainnya. Gereja-gereja pentakosta yang sudah lama established ternyata juga mengalami hal yang sama, dimana kaum mudanya lebih senang ke gereja kharismatik lain yang lebih modern.
Namun, pada ekstrem lain saya juga melihat ada keberminatan kaum muda yang 'tampaknya lebih intelektual' yang suka bergereja di gereja betulnya 'bisa digolongkan mainstream' yaitu gereja-gereja aliran Injili seperti GRII atau GKY. Mengapa kaum muda itu kesana? Karena konon di gereja-gereja itu, aspek pengajarannya 'lebih kaya' ketimbang gereja mainstream yang sering dianggap ajarannya 'dangkal' dan 'nggak jelas'.
Tinggallah GKI yang pelan-pelan menemukan jatidirinya sebagai GOT.... 
Hmmm gejala apakah ini?
Apakah memang telah terbentuk segmentasi gereja sedemikian rupa sehingga ada GOT dan GOM (gereja orang muda)?
Ataukah penyebabnya karena gereja gagal mengembangkan sebuah ministry yang dapat merangkul segala golongan usia?
Jangan-jangan bukan masalah usia saja, jangan-jangan perbedaan status sosial, suku, pendidikan dll pun bisa membuat gereja terspesialisasi sedemikian rupa sehingga kesatuan gereja menjadi semakin jauh...